Untuk Sepasang Penumpang
di Gerbong Kereta Nomor 5
Jangan dulu kau pulang.
Ini stasiun kosong,
aku masih ingin ketinggalan,
sendirian, di pangkuan bangku tunggu.
Kayu tua. Setua jaring laba-laba pertama
di mulut guha.
Aku memang menunggu keberangkatan,
tapi masih ada yang ingin kusembunyikan.
Jangan dulu kau pulang.
Pada yang terakhir singgah
cuma seorang trubadur ganti kereta.
Kami tak sempat bertukar sapa,
dia pasti tahu aku masih di sana,
tapi ia pergi lagi bergegasan
dijemput dongeng penghabisan:
cerita yang hendak ia selesaikan.
Jangan dulu kau pulang.
Aku sudah siapkan berkas imigrasi. Dan puisi.
Ada ribuan perbatasan negeri yang hendak kulintasi.
Sendiri. Tapi, tunggulah nanti,
bila aku sudah mahir tidak menjawab dengan tangan kiri,
menyorongkan jawaban yang paling mereka mengerti.
Semacam kata kunci. Semacam isyarat sandi.
Jangan dulu kau pulang.
Aku di bangku tunggu penumpang.
Ini stasiun kosong. Tenang.
Masih sedap jauh dikenang.
* Claude Monet (1840-1926), Saint-Lazare Train Station, 1877.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, July 31, 2004
Friday, July 30, 2004
[Kelas Puisi #2] Aliterasi hingga Asonansi
Aliterasi:
Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Alusi:
Satu ragam atau jenis gaya bahasa perbandingan yang merujuk secara tidak Iangsung kepada sesuatu peristiwa, tokoh-tokoh atau karya sastera yang terkenal.
Ambiguiti:
Makna kata/perkataan atau ungkapan dalam puisi yang mernpunyai pelbagai kemungkinan tafsiran, yaitu lebih daripada satu makna atau tafsiran. Dengan demikian, ambiguiti disebut juga ketaksaan. Puisi yang seperti ini memang agak sukar untuk diselami maknanya secara tepat atau jelas tetapi dianggap sebagai puisi yang kuat dan segi isi atau pemikirannya.
Anafora:
Satu ragam atau jenis gaya bahasa pengulangan, yaitu kedudukan pengulangan satu kata/perkataan atau lebih pada awal baris-baris puisi.
Asonansi:
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan begini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi.
Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Alusi:
Satu ragam atau jenis gaya bahasa perbandingan yang merujuk secara tidak Iangsung kepada sesuatu peristiwa, tokoh-tokoh atau karya sastera yang terkenal.
Ambiguiti:
Makna kata/perkataan atau ungkapan dalam puisi yang mernpunyai pelbagai kemungkinan tafsiran, yaitu lebih daripada satu makna atau tafsiran. Dengan demikian, ambiguiti disebut juga ketaksaan. Puisi yang seperti ini memang agak sukar untuk diselami maknanya secara tepat atau jelas tetapi dianggap sebagai puisi yang kuat dan segi isi atau pemikirannya.
Anafora:
Satu ragam atau jenis gaya bahasa pengulangan, yaitu kedudukan pengulangan satu kata/perkataan atau lebih pada awal baris-baris puisi.
Asonansi:
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan begini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi.
Thursday, July 29, 2004
[Ruang Renung # 84] Diksi atau Pilihan Kata
BAHKAN ketika kita berbicara pun kita harus memilih kata. Bahkan dalam bahasa lisan pun kita kadang-kadang bisa mengidentikkan seseorang karena pilihan kata-kata yang sering diucapkannya, sering diulang-ulangnya, bahkan dalam kalimatnya kata itu seperti memiliki makna sendiri.
APATAH lagi di dalam puisi. Pilihan kata juga menjadi pertaruhan bagi keunggulan puisi. Penyair-penyair kuat bisa kita identikkan - antara lain - dengan kekhasan pilihan kata-kata dalam puisinya. Terdedah - barah - luka - air mata adalah sebagian dari serangkaian kata yang kerap dan amat disukai oleh Sutardji Calzhoum Bachri. Lindap - bersijingkat - menjelma - adalah sebagian dari sejumlah kata yang mendapatkan tempat dan pemaknaan yang maksimal dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Kalau Joko Pinurbo lain lagi. Dia suka menghadirkan kata kuburan - celana - burung - ibu - ranjang. Cobalah perhatikan lagi kata-kata apa yang kerap dipilih oleh penyair siapa. Afrizal apalagi, pilihan katanya sangat khas dan mengejutkan. Kata-kata yang tampaknya tidak puitis bisa disulapnya jadi puisi yang teramat tipikal Afrizal. Demikian juga kata puisi-puisi lama tentu bisa berbeda dengan puisi-puisi karya penyair mutakhir.
BAGAIMANA kita bisa memilih kata kalau kita tak kenal banyak kata? Itulah masalahnya. Kita mesti berkenalan dulu dengan banyak kata. Menyimpannya di gudang perbendaharaan di kepala kita, membiarkannya tinggal di sana, mungkin suatu suatu saat ia menggoda-goda kita minta dipuisikan, atau suatu ketika kita ketemu benih puisi yang mesti melibatkan kata-kata yang sudah kita simpan tadi. Tetapi, kalau kita sadar memilih kata-kata yang biasa saja, kata-kata yang tidak istimewa, maka itupun sebuah pilihan. Sebuah upaya untuk menidakbiasakan kata yang biasa-biasa saja dan mengistimewakan kata yang di mata yang bukan penyair tidak istimewa.
SESUNGGUHNYA tidak ada kata yang tidak puitis. Semua kata berhak menyusun komposisi puisi. Semua kata berhak ikut serta dalam membangun sebuah puisi.
TAPI, puisi bukan sekadar menyusun kalimat dengan kata-kata yang aneh. Kita harus sekaligus menyusun batu-batu bagi jalan setapak agar pembaca bisa sampai pada makna. Tidak, kita tidak mengarahkan. Kita sedang menulis puisi. Biarlah petunjuk itu jadi semacam saran halus, semacam bisikan. Orang kelak boleh mengambil makna yang kena bagi dirinya sendiri. Bukan makna yang kita kalengkan jadi instan dalam puisi kita. Kiranya, dengan demikian puisi kita jadi lebih nilainya, upaya kita memilih kata-kata tidak sia-sia jadinya.
TANTANGANNYA sekarang: ayo cari kata-kata khas untuk kita. Rampas, rampok, ambil, jadikan semua yang membaca sajak-sajak kita kelak diam-diam atau terbuka mengakui bahwa kata-kata itu adalah syah milik kita. Saya belum ketemu. Saya juga masih berburu. Maaf, saya harus buru-buru.[hah]
APATAH lagi di dalam puisi. Pilihan kata juga menjadi pertaruhan bagi keunggulan puisi. Penyair-penyair kuat bisa kita identikkan - antara lain - dengan kekhasan pilihan kata-kata dalam puisinya. Terdedah - barah - luka - air mata adalah sebagian dari serangkaian kata yang kerap dan amat disukai oleh Sutardji Calzhoum Bachri. Lindap - bersijingkat - menjelma - adalah sebagian dari sejumlah kata yang mendapatkan tempat dan pemaknaan yang maksimal dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Kalau Joko Pinurbo lain lagi. Dia suka menghadirkan kata kuburan - celana - burung - ibu - ranjang. Cobalah perhatikan lagi kata-kata apa yang kerap dipilih oleh penyair siapa. Afrizal apalagi, pilihan katanya sangat khas dan mengejutkan. Kata-kata yang tampaknya tidak puitis bisa disulapnya jadi puisi yang teramat tipikal Afrizal. Demikian juga kata puisi-puisi lama tentu bisa berbeda dengan puisi-puisi karya penyair mutakhir.
BAGAIMANA kita bisa memilih kata kalau kita tak kenal banyak kata? Itulah masalahnya. Kita mesti berkenalan dulu dengan banyak kata. Menyimpannya di gudang perbendaharaan di kepala kita, membiarkannya tinggal di sana, mungkin suatu suatu saat ia menggoda-goda kita minta dipuisikan, atau suatu ketika kita ketemu benih puisi yang mesti melibatkan kata-kata yang sudah kita simpan tadi. Tetapi, kalau kita sadar memilih kata-kata yang biasa saja, kata-kata yang tidak istimewa, maka itupun sebuah pilihan. Sebuah upaya untuk menidakbiasakan kata yang biasa-biasa saja dan mengistimewakan kata yang di mata yang bukan penyair tidak istimewa.
SESUNGGUHNYA tidak ada kata yang tidak puitis. Semua kata berhak menyusun komposisi puisi. Semua kata berhak ikut serta dalam membangun sebuah puisi.
TAPI, puisi bukan sekadar menyusun kalimat dengan kata-kata yang aneh. Kita harus sekaligus menyusun batu-batu bagi jalan setapak agar pembaca bisa sampai pada makna. Tidak, kita tidak mengarahkan. Kita sedang menulis puisi. Biarlah petunjuk itu jadi semacam saran halus, semacam bisikan. Orang kelak boleh mengambil makna yang kena bagi dirinya sendiri. Bukan makna yang kita kalengkan jadi instan dalam puisi kita. Kiranya, dengan demikian puisi kita jadi lebih nilainya, upaya kita memilih kata-kata tidak sia-sia jadinya.
TANTANGANNYA sekarang: ayo cari kata-kata khas untuk kita. Rampas, rampok, ambil, jadikan semua yang membaca sajak-sajak kita kelak diam-diam atau terbuka mengakui bahwa kata-kata itu adalah syah milik kita. Saya belum ketemu. Saya juga masih berburu. Maaf, saya harus buru-buru.[hah]
Dunia Hanya Kamar*
Matsnawi IV: 809-811
Syair Jalaluddin Rumi
Bila engkau lahir dari Adam, duduklah seperti dia
dan saksikan seluruh anak bercuru yang kau turunkan.
Apakah yang ada di teko yang tak ada di sungai itu?
Apakah yang ada di rumah yang tak ada juga di kota itu?
Dunia ini cuma teko, dan sang jiwa adalah deras sungai;
Dunia ini hanya kamar, dan sang jiwa adalah kota kekaguman.
If you are born of Adam, sit like him
and behold all his progeny within yourself.
What is in the jar that is not also in the river?
What is in the house that is not also in the city?
This world is a jar, and the heart-spirit is like the river;
this world is the chamber, and the spirit is the wondrous city.
Version by Camille and Kabir Helminski
"Rumi: Jewels of Remembrance"
Threshold Books, 1996
(Persian transliteration courtesy of YahyĆ” Monastra)
* Judul dari HAH.
Syair Jalaluddin Rumi
Bila engkau lahir dari Adam, duduklah seperti dia
dan saksikan seluruh anak bercuru yang kau turunkan.
Apakah yang ada di teko yang tak ada di sungai itu?
Apakah yang ada di rumah yang tak ada juga di kota itu?
Dunia ini cuma teko, dan sang jiwa adalah deras sungai;
Dunia ini hanya kamar, dan sang jiwa adalah kota kekaguman.
If you are born of Adam, sit like him
and behold all his progeny within yourself.
What is in the jar that is not also in the river?
What is in the house that is not also in the city?
This world is a jar, and the heart-spirit is like the river;
this world is the chamber, and the spirit is the wondrous city.
Version by Camille and Kabir Helminski
"Rumi: Jewels of Remembrance"
Threshold Books, 1996
(Persian transliteration courtesy of YahyĆ” Monastra)
* Judul dari HAH.
Wednesday, July 28, 2004
Penyair Lahir dan Mati
dalam Rahim Perang
PERANG tidak hanya melahirkan nama-nama yang jadi pahlawan, angka-angka statistika korban dan kisah-kisah kekalahan dan kemenangan. Perang juga melahirkan seorang penyair. Rupert Chawner Brooke adalah penyair yang lahir dari rahim Perang Dunia I. Penyair Inggris ini berhasil mengekspresikan rasa dan jiwa patriotik generasi pada masanya. Terutama lewat sajak tunggal yang banyak dibaca, dan diambil semangatnya: "The Soldier".
The Soldier
If I should die, think only this of me:
That there's some corner of a foreign field
That is for ever England. There shall be
In that rich earth a richer dust concealed;
A dust whom England bore, shaped, made aware,
Gave, once, her flowers to love, her ways to roam,
A body of England's, breathing English air,
Washed by the rivers, blest by suns of home.
And think, this heart, all evil shed away,
A pulse in the eternal mind, no less
Gives somewhere back the thoughts by England given;
Her sights and sounds; dreams happy as her day;
And laughter, learnt of friends; and gentleness,
In hearts at peace, under an English heaven.
Rupert Brooke, begitulah ia lebih masyur disapa, lahir sebagai anak seorang kepala sekolah di Rugby, 3 Agustus 1887. Brooke memang dikenang lewat sajak patriotik tersebut. Tetapi, sepanjang usia berkaryanya yang pendek itu dia menulis ratusan puisi lain dengan beraneka tema. Selalu saja, ia semakin dikenali, semakin dibaca karyanya, maka semakin besar pula kekaguman dan kebesarannya sebagai penyair, lebih dari yang semula selintas diduga. Sementara WB Yeats menyebutnya lelaki paling ganteng se-Inggris Raya.
Sejak di sekolah dan universitas, Brooke sudah jadi sosok yang menonjol. Dia terlibat dalam gerakan seperti Fabian Society. Dan reputasinya juga tumbuh sebagai penyair yang ganteng, menarik dan intelek semasa tahun-tahunnya di Cambridge. Inilah sejumlah jejak-jejak awal yang kemudian membawanya menjadi penyair yang banyak dipuja. Brooke bersahabat dengan Frances Darwin. Cucu perempuan naturalis Charles Darwin ini menjulukinya '"Apollo Muda, Berambut Kencana".
Pengakuan resmi bagi Brooke sebagai penyair tidak ia raih hingga tahun 1911. Ketika itu "Poems 1911" buku kumpulan puisi pertamanya terbit. Pada tahun itu juga ia menerbitkan buku puisi karya berdua sahabatnya Edward Marsh, "Georgian Poetry". Marsh juga yang kelak menulis memoar bagi sang sahabat.
Tapi Brooke tidak berhenti. Dia risau dan melakukan pencarian untuk menemukan dunia yang menawarkan sensasi untuk ditulis. Dia menggelandang ke Jerman dan Italia di tahun 1913. Lalu penjelajahannya juga merambah ke Amerika, Kanada, melintas samudera selatan hingga ke Selandia Baru. Selama itu pula dia menjadi koresponden untuk surat kabar Inggris dan rutin mengirimkan laporan. Dalam pengembaraan itu pula dia bertemu dengan gadis Samoa bernama Taatamata. Kepada gadis itulah ia mempersembahkan cinta dan sebuah puisi berjudul "Tierre Tahiti".
Di awal kehidupan barunya sebagai penulis puisi dan prosa yang mulai membaik, babak baru bagi memoar hidupnya kelak pun mulai dituliskan. Inilah bagian paling memukau dalam hidupnya. Perang Dunia I pecah. Saat itu dia sedang berdinas di Angkatan Laut Inggris dan berpangkat di bawah letnan. Tahun 1914 kala itu, September bulannya. Sebulan penuh ia menjalani latihan bersama pasukan Inggris dan terutama lebih banyak dalam peran-peran yang tidak melibatkannya dalam tempur senjata (non-combatant) di Antwerp. Saat itulah dia menjadi saksi mata pelarian orang-orang Belgia.
Tahun berikutnya, baru menginjak bulan Februari, Brooke sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda sakit, tapi karena panggilan perang dia berlayar juga bersama pasukan Mediterranean Expeditionary dengan misi bertempur melawan tentara Turki di Dardanelles. Brooke dalam surat-suratnya kepada Frances tampaknya menerima titah nasib terlibat dalam pertempuran itu. Dia membayangkan perang Troya dan memimpikan penaklukan atas kota Konstantinopel. Tapi, ia tak pernah sampai pada adu senjata. Ia hanya sempat menulis dan mengirimkan sejumlah puisi.
Pukul 4:46 sore, 23 April 1915, Brooke tewas karena keracunan darah, dalam usia muda: 28 tahun. Dia tewas di rumah sakit kapal Prancis yang berjangkar di Pulau Skyros, Yunani. Ia dimakamkan di tempat yang ia kunjungi beberapa hari sebelumnya. Ia komentari kecantikan tempat itu sebelumnya. Pukul 11 malam, hari itu juga Brooke dimakamkan. Iring-iringan duka melintasi sungai kering, batu marmer putih dan merah jambu terhampar, aroma zaitun, bunga-bunga popi liar.
Beberapa hari berselang, kabar kematiannya sampai juga di Inggris. Dan segera saja ia menjadi sosok yang hidup dalam mitos, tambah meruap dipanasi api perang dunia. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pun menambah sosok sang penyair lebih melegenda, ketika ia berkata, "Sebuah suara sudah diperdengarkan, sebuah catatan sudah ditorehkan, lebih sejati, lebih menggetarkan hati, lebih mampu mengupayakan keadilan bagi kemuliaan usia muda kita dalam tangan-tangan yang terlibat dalam perang saat ini, lebih dari apapun lainnya...."
Ada sajak terakhir yang ditemukan dalam buku catatan ketika ia meninggal.
I strayed about the deck, an hour, to-night
Under a cloudy moonless sky; and peeped
In at the windows, watched my friends at table,
Or playing cards, or standing in the doorway,
Or coming out into the darkness. Still
No one could see me.
I would have thought of them-
Heedless, within a week of battle - in pity,
Pride in their strength and in the weight and firmness
And link’d beauty of bodies, and pity that
This gay machine of splendour`ld soon be broken,
Though little of, pashed, scattered . . .
Only, always,
I could but see them - against the lamplight - pass
Like coloured shadows, thinner than filmy glass,
Slight bubbles, fainter than the wave’s faint light,
That broke to phosphorous out in the night,
Perishing things and strange ghosts - soon to die
To other ghosts - this one, or that, or I.
dalam Rahim Perang
PERANG tidak hanya melahirkan nama-nama yang jadi pahlawan, angka-angka statistika korban dan kisah-kisah kekalahan dan kemenangan. Perang juga melahirkan seorang penyair. Rupert Chawner Brooke adalah penyair yang lahir dari rahim Perang Dunia I. Penyair Inggris ini berhasil mengekspresikan rasa dan jiwa patriotik generasi pada masanya. Terutama lewat sajak tunggal yang banyak dibaca, dan diambil semangatnya: "The Soldier".
The Soldier
If I should die, think only this of me:
That there's some corner of a foreign field
That is for ever England. There shall be
In that rich earth a richer dust concealed;
A dust whom England bore, shaped, made aware,
Gave, once, her flowers to love, her ways to roam,
A body of England's, breathing English air,
Washed by the rivers, blest by suns of home.
And think, this heart, all evil shed away,
A pulse in the eternal mind, no less
Gives somewhere back the thoughts by England given;
Her sights and sounds; dreams happy as her day;
And laughter, learnt of friends; and gentleness,
In hearts at peace, under an English heaven.
Rupert Brooke, begitulah ia lebih masyur disapa, lahir sebagai anak seorang kepala sekolah di Rugby, 3 Agustus 1887. Brooke memang dikenang lewat sajak patriotik tersebut. Tetapi, sepanjang usia berkaryanya yang pendek itu dia menulis ratusan puisi lain dengan beraneka tema. Selalu saja, ia semakin dikenali, semakin dibaca karyanya, maka semakin besar pula kekaguman dan kebesarannya sebagai penyair, lebih dari yang semula selintas diduga. Sementara WB Yeats menyebutnya lelaki paling ganteng se-Inggris Raya.
Sejak di sekolah dan universitas, Brooke sudah jadi sosok yang menonjol. Dia terlibat dalam gerakan seperti Fabian Society. Dan reputasinya juga tumbuh sebagai penyair yang ganteng, menarik dan intelek semasa tahun-tahunnya di Cambridge. Inilah sejumlah jejak-jejak awal yang kemudian membawanya menjadi penyair yang banyak dipuja. Brooke bersahabat dengan Frances Darwin. Cucu perempuan naturalis Charles Darwin ini menjulukinya '"Apollo Muda, Berambut Kencana".
Pengakuan resmi bagi Brooke sebagai penyair tidak ia raih hingga tahun 1911. Ketika itu "Poems 1911" buku kumpulan puisi pertamanya terbit. Pada tahun itu juga ia menerbitkan buku puisi karya berdua sahabatnya Edward Marsh, "Georgian Poetry". Marsh juga yang kelak menulis memoar bagi sang sahabat.
Tapi Brooke tidak berhenti. Dia risau dan melakukan pencarian untuk menemukan dunia yang menawarkan sensasi untuk ditulis. Dia menggelandang ke Jerman dan Italia di tahun 1913. Lalu penjelajahannya juga merambah ke Amerika, Kanada, melintas samudera selatan hingga ke Selandia Baru. Selama itu pula dia menjadi koresponden untuk surat kabar Inggris dan rutin mengirimkan laporan. Dalam pengembaraan itu pula dia bertemu dengan gadis Samoa bernama Taatamata. Kepada gadis itulah ia mempersembahkan cinta dan sebuah puisi berjudul "Tierre Tahiti".
Di awal kehidupan barunya sebagai penulis puisi dan prosa yang mulai membaik, babak baru bagi memoar hidupnya kelak pun mulai dituliskan. Inilah bagian paling memukau dalam hidupnya. Perang Dunia I pecah. Saat itu dia sedang berdinas di Angkatan Laut Inggris dan berpangkat di bawah letnan. Tahun 1914 kala itu, September bulannya. Sebulan penuh ia menjalani latihan bersama pasukan Inggris dan terutama lebih banyak dalam peran-peran yang tidak melibatkannya dalam tempur senjata (non-combatant) di Antwerp. Saat itulah dia menjadi saksi mata pelarian orang-orang Belgia.
Tahun berikutnya, baru menginjak bulan Februari, Brooke sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda sakit, tapi karena panggilan perang dia berlayar juga bersama pasukan Mediterranean Expeditionary dengan misi bertempur melawan tentara Turki di Dardanelles. Brooke dalam surat-suratnya kepada Frances tampaknya menerima titah nasib terlibat dalam pertempuran itu. Dia membayangkan perang Troya dan memimpikan penaklukan atas kota Konstantinopel. Tapi, ia tak pernah sampai pada adu senjata. Ia hanya sempat menulis dan mengirimkan sejumlah puisi.
Pukul 4:46 sore, 23 April 1915, Brooke tewas karena keracunan darah, dalam usia muda: 28 tahun. Dia tewas di rumah sakit kapal Prancis yang berjangkar di Pulau Skyros, Yunani. Ia dimakamkan di tempat yang ia kunjungi beberapa hari sebelumnya. Ia komentari kecantikan tempat itu sebelumnya. Pukul 11 malam, hari itu juga Brooke dimakamkan. Iring-iringan duka melintasi sungai kering, batu marmer putih dan merah jambu terhampar, aroma zaitun, bunga-bunga popi liar.
Beberapa hari berselang, kabar kematiannya sampai juga di Inggris. Dan segera saja ia menjadi sosok yang hidup dalam mitos, tambah meruap dipanasi api perang dunia. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pun menambah sosok sang penyair lebih melegenda, ketika ia berkata, "Sebuah suara sudah diperdengarkan, sebuah catatan sudah ditorehkan, lebih sejati, lebih menggetarkan hati, lebih mampu mengupayakan keadilan bagi kemuliaan usia muda kita dalam tangan-tangan yang terlibat dalam perang saat ini, lebih dari apapun lainnya...."
Ada sajak terakhir yang ditemukan dalam buku catatan ketika ia meninggal.
I strayed about the deck, an hour, to-night
Under a cloudy moonless sky; and peeped
In at the windows, watched my friends at table,
Or playing cards, or standing in the doorway,
Or coming out into the darkness. Still
No one could see me.
I would have thought of them-
Heedless, within a week of battle - in pity,
Pride in their strength and in the weight and firmness
And link’d beauty of bodies, and pity that
This gay machine of splendour`ld soon be broken,
Though little of, pashed, scattered . . .
Only, always,
I could but see them - against the lamplight - pass
Like coloured shadows, thinner than filmy glass,
Slight bubbles, fainter than the wave’s faint light,
That broke to phosphorous out in the night,
Perishing things and strange ghosts - soon to die
To other ghosts - this one, or that, or I.
[Tentang Puisi] Puisi tanpa Petunjuk
PUISI yang terbagus tidak memberi petunjuk. Puisi yang terbagus hanya menghidupkan potensi yang baik dalam diri seseorang, pada saat ia tersentuh membacanya: potensi untuk bisa merasakan keindahan belibis terbang dan kata-kata berdesis, potensi untuk bisa merasakan kesuraman sel yang pengap, atau sunyinya malam setelah seorang anak menghilang tiba-tiba.
* Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir I, Seorang Presiden dan Sebuah Sajak.
[Tentang Puisi] Bersama Menemukan Makna
APAPUN bentuknya, kesusasteraan bisa menahan seorang pejuang dari kemungkinan menjadi pahlawan, setelah dipenjara, institusi yang sia-sia itu, menganiayanya. Karena kesusasteraan bukan sabda seorang yang menjadi agung setelah melewati masa pertapaan, melainkan sebuah proses yang mengakui kebutuhan untuk sama-sama menemukan sejumlah makna, dan dengan demikian saling bicara.
* Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir 4, Bui.
PUISI yang terbagus tidak memberi petunjuk. Puisi yang terbagus hanya menghidupkan potensi yang baik dalam diri seseorang, pada saat ia tersentuh membacanya: potensi untuk bisa merasakan keindahan belibis terbang dan kata-kata berdesis, potensi untuk bisa merasakan kesuraman sel yang pengap, atau sunyinya malam setelah seorang anak menghilang tiba-tiba.
* Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir I, Seorang Presiden dan Sebuah Sajak.
[Tentang Puisi] Bersama Menemukan Makna
APAPUN bentuknya, kesusasteraan bisa menahan seorang pejuang dari kemungkinan menjadi pahlawan, setelah dipenjara, institusi yang sia-sia itu, menganiayanya. Karena kesusasteraan bukan sabda seorang yang menjadi agung setelah melewati masa pertapaan, melainkan sebuah proses yang mengakui kebutuhan untuk sama-sama menemukan sejumlah makna, dan dengan demikian saling bicara.
* Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir 4, Bui.
Monday, July 26, 2004
[Tentang Puisi] Drama Pengalihbahasaan Puisi
Syukurlah, saya bukan penyair, karena persoalan menjadi lebih dramatis dalam penerjemahan puisi - seni dimana gagasan diperjelaskan dengan kata-kata, maka ketika kau mengubah bahasanya, maka kau mengubah gagasannya. Belum ada contoh penerjamahan puisi yang cemerlang yang dihasilkan dari kerja sama pengarang dan penerjemahnya.
......
Mungkin Bahasa Sejati tak pernah ada, tetapi mencari kesesuaian antara satu bahasa dengan bahasa lain adalah sebuah petualangan yang mengasyikkan. Dan penerjemahan itu tak penting mesti benar, seperti kata orang Italia bahwa seorang penerjemah senantiasa juga seorang pengkhianat. Maka, siapkan tempat bagi si pengarangnya untuk ikut juga dalam pengkhianatan itu.
Dari Esai Umberto Eco, A Rose by Any Other Name
[Diterjemahkan dari Bahasa Italia ke Bahasa Inggris
oleh William Weaver untuk Guardian Weekly,
January 16, 1994]
Sunday, July 25, 2004
[Tentang Puisi] Efek Umberto
"SAYA hendak mendefinisikan efek puitik sebagai kemampudayaan yang ditunjukkan oleh sebuah teks untuk berterus-terusanan dalam pembacaan khalayak yang berbeda=beda, tanpa pernah tercerna sepenuhnya."
- Umberto Eco, profesor semiotik, novelis Italia.
- Umberto Eco, profesor semiotik, novelis Italia.
Saturday, July 24, 2004
[Ruang Renung # 83] Menjadi Siapa dalam Puisi?
Memang benar sih sajak akan lebih bermakna dan indah kalau ia dibiarkan bercerita tentang keadaan atau situasi sendiri tanpa harus diverbalkan. Tetapi saya kok sering sekali masih tergoda untuk menuliskannya. Masalahnya ketika aku menulis sajak aku selalu berkata sebagai seorang yang bercerita dan sering tidak bisa melepaskan dari menuliskan keadaan itu. Adakah cara berlatih agar tidak tergoda lagi. [Randiananto - di buku tamu SEJUTA PUISI]
Ya itu masalahnya. Kita tidak harus selalu menempatkan diri kita sebagai orang yang bercerita kepada pembaca. Kita bisa membayangkan ada dua orang - kita dan entah siapa - yang sedang bercakap-cakap dan puisi merekamnya. Kita bisa membayangkan kita adalah orang lain yang sedang mengamati diri kita sendiri, dan ke dalam puisi pengamatan itu dicatatkan. Kita bahkan bisa menempatkan diri kita sebagai batu, angin, air, atau apa saja. Kita bisa keluar masuk diri kita sendiri. Atau bahkan kita bisa bukan apa-apa dalam puisi kita. Kita bisa jadi dalang sekaligus wayang dan sesekali jadi penonton dalam pertunjukan puisi kita sendiri.
Tetapi, ketika kita hanya ingin bercerita lewat puisi, toh itu juga bukan perkara terlarang. Hanya berceritalah dengan memberdayakan semaksimalnya seluruh perangkat puisi yang mungkin kita pakai.
Ayo kita berlatih. Saya setelah ini juga dirudung risau dan sedang dituntut mengamalkan omongan saya di atas.[hah]
Ya itu masalahnya. Kita tidak harus selalu menempatkan diri kita sebagai orang yang bercerita kepada pembaca. Kita bisa membayangkan ada dua orang - kita dan entah siapa - yang sedang bercakap-cakap dan puisi merekamnya. Kita bisa membayangkan kita adalah orang lain yang sedang mengamati diri kita sendiri, dan ke dalam puisi pengamatan itu dicatatkan. Kita bahkan bisa menempatkan diri kita sebagai batu, angin, air, atau apa saja. Kita bisa keluar masuk diri kita sendiri. Atau bahkan kita bisa bukan apa-apa dalam puisi kita. Kita bisa jadi dalang sekaligus wayang dan sesekali jadi penonton dalam pertunjukan puisi kita sendiri.
Tetapi, ketika kita hanya ingin bercerita lewat puisi, toh itu juga bukan perkara terlarang. Hanya berceritalah dengan memberdayakan semaksimalnya seluruh perangkat puisi yang mungkin kita pakai.
Ayo kita berlatih. Saya setelah ini juga dirudung risau dan sedang dituntut mengamalkan omongan saya di atas.[hah]
[Ruang Renung # 82] Dua Sajak Puntung Rokok
Baca ini:
puntung rokok mengepung sepatuku
asap masih tebal mengawan di mataku
aku berharap kau yang menawarkan api
ketika batang terakhir kupersiapkan lagi
Bandingkan dengan ini:
Sudah sebungkus rokok kuhabiskan
puntung rokok bertebaran
mataku pun pedih karena asap
tapi kau belum juga datang,
aku masih sabar menunggu, dengan
sebatang rokok terakhirku.
MARI kita lihat kenapa puisi yang pertama lebih bernilai daripada yang kedua. Tema kedua puisi sama: kesabaran si aku menunggu si engkau, seseorang itu. Puisi yang pertama berhasil membangun suasana menunggu itu dengan pilihan kata yang nyaris sama dengan puisi kedua. Ada puntung rokok, asap. Tetapi pada puisi yang pertama tak ada satupun terucap kata menunggu itu sendiri. Di situlah letak kelebihannya. Tema itu dibangun suasananya sehingga bisa dirasakan oleh pembaca tanpa harus diverbalkan.
KITA masih bisa mengggali lebih banyak kesimpulan dari dua bait puisi pertama itu. Dari baris ... puntung rokok mengepung sepatuku..... kita bisa simpulkan bahwa si aku dalam puisi itu adalah orang yang sabar (lagi-lagi tanpa harus menghadirkan kata itu seperti dalam puisi kedua). Sabar, tapi kesedihan juga diam-diam hadir terasakan dari baris ...asap masih tebal mengawan di mataku. Tetapi si aku masih menunggu, masih mau bertahan, masih berharap si engkau itu datang. Meskipun mungkin itu harapan terakhir. Tersirat dari baris penutup ....ketika batang terakhir kupersiapkan lagi. Ada ironi di baris itu. Ironi antara kata "terakhir" dan "kupersiapkan lagi".
PUISI kedua juga sedikit bermain-main dengan bunyi. Ada upanya menyamakan bunyi di ujung baris. Upaya yang tidak sia-sia. Karena dengan itu, seluruhnya menjadi lebih puisi. Karena perangkat-perangkat puisi, sebagian sudah dipakai dalam puisi dua bait empat baris itu. Itu yang membuatnya lebih dalam bermakna dibandingkan puisi kedua.[hah]
puntung rokok mengepung sepatuku
asap masih tebal mengawan di mataku
aku berharap kau yang menawarkan api
ketika batang terakhir kupersiapkan lagi
Bandingkan dengan ini:
Sudah sebungkus rokok kuhabiskan
puntung rokok bertebaran
mataku pun pedih karena asap
tapi kau belum juga datang,
aku masih sabar menunggu, dengan
sebatang rokok terakhirku.
MARI kita lihat kenapa puisi yang pertama lebih bernilai daripada yang kedua. Tema kedua puisi sama: kesabaran si aku menunggu si engkau, seseorang itu. Puisi yang pertama berhasil membangun suasana menunggu itu dengan pilihan kata yang nyaris sama dengan puisi kedua. Ada puntung rokok, asap. Tetapi pada puisi yang pertama tak ada satupun terucap kata menunggu itu sendiri. Di situlah letak kelebihannya. Tema itu dibangun suasananya sehingga bisa dirasakan oleh pembaca tanpa harus diverbalkan.
KITA masih bisa mengggali lebih banyak kesimpulan dari dua bait puisi pertama itu. Dari baris ... puntung rokok mengepung sepatuku..... kita bisa simpulkan bahwa si aku dalam puisi itu adalah orang yang sabar (lagi-lagi tanpa harus menghadirkan kata itu seperti dalam puisi kedua). Sabar, tapi kesedihan juga diam-diam hadir terasakan dari baris ...asap masih tebal mengawan di mataku. Tetapi si aku masih menunggu, masih mau bertahan, masih berharap si engkau itu datang. Meskipun mungkin itu harapan terakhir. Tersirat dari baris penutup ....ketika batang terakhir kupersiapkan lagi. Ada ironi di baris itu. Ironi antara kata "terakhir" dan "kupersiapkan lagi".
PUISI kedua juga sedikit bermain-main dengan bunyi. Ada upanya menyamakan bunyi di ujung baris. Upaya yang tidak sia-sia. Karena dengan itu, seluruhnya menjadi lebih puisi. Karena perangkat-perangkat puisi, sebagian sudah dipakai dalam puisi dua bait empat baris itu. Itu yang membuatnya lebih dalam bermakna dibandingkan puisi kedua.[hah]
[Kelas Puisi #1] Puisi Lama
Ada baiknya, kita tahu bagaimana bentuk-bentuk "puisi lama" - ini juga istilah yang menjadi semacam pembekuan dan pengalengan dari puisi yang sebenarnya hidup. Lama dan baru. Itu soal waktu. Kalau bentuk-bentuk "lama" itu kita pakai untuk puisi bertema sekarang, apakah dia puisi lama juga namanya?
Tapi, untuk sekadar tahu. Puisi "lama" merupakan bentuk karya sastra yang terikat oleh jumlah bait, jumlah larik tiap bait, jumlah suku kata tiap larik, dan rima. Mantra dan pantun adalah bentuk puisi lama asli Melayu; sedangkan syair berasal dari Arab, dan gurindam berasal dari Tamil atau India.
Mantra
Merupakan salah satu bentuk puisi asli Indonesia terdiri atas beberapa bait dengan rangkaian kata yang benilai ritmis. Bahasa mantra dianggap mengandung kekuatan magis, oleh karenanya tidak semua orang dizinkan membacanya kecuali ahlinya, yaitu pawang.
Pasu jantan, pasu rencana
Tutup pasu, penolak pasu
Kau menantang pada aku
Terjantang mataku
Jantungku sudah kugantung
Hati kau sudah kurantai
Sipulut namanya usar
Berderailah daun selasih
Aku tutup hati yang besar
Aku gantung lidah yang fasik
Jantungku sudah kugantung
Hatiku sudah kurantai
Rantai Allah, rantai Muhammad
Rantai Baginda Rasulallah
Pantun
Bentu puisi asli Melayu yang biasanya tiap bait terdiri atas empat baris yang dibagi atas dua baris pertama meerupakan sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. Rimanya adalah a b a b.
Berburu ke padang datar
mendapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
bagai bunga kembang tak jadi
Karmina atau Pantun kilat
(Pantun 2 larik; I sampiran dan 1 isi)
Sudah gaharu cendana pula
Sudah tahu bertanya pula
Talibun
(6 larik: 3 sampiran, 3 isi)
Kalau anak pergi ke lepau0
Hiu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi merantau
lbu cari sanak pun cari
lnduk semang cari dahulu
Seloka atau Pantun Berkait
(Ada pertalian antarbait)
Lurus jalan ke Payakumbuh
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tidak akan rusuh
Ibu mati bapak berjalan
Kayu jati bertimbal jalan
turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan
kemana untung diserahkan
Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India). Tiap bait terdiri alas dua baris, berisi nasihat. Pengarang gurindam yang terkenal adalah Raja Ali Haji dengan karyanya yang berjudul Gurindam Dua Belas.
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu akan tersesat
Barang siapa tinggalkan sembahyang
Bagai rumah tiada bertiang
Jika suami tak berhati lurus
Istripun kelak memadi kurus
Syair
Merupakan puisi lama yang berasal dari Arab. Tiap bait terdiri atas empat baris. Tiap baris biasanya mempunyai delapan sampai dua belas suku kata. Isinya cerita dan rimanya adalah a a a a.
Bulan purnama cahaya terang
bintang seperti intan di karang
Pungguk merawan seorang-orang
Berahikan bulan di amah seberang
Pungguk becinta pagi dan petang
melihat bulan di pagar bintang
Terselap merindu dendamnya datang
dari saujana pungguk menentang.
Tapi, untuk sekadar tahu. Puisi "lama" merupakan bentuk karya sastra yang terikat oleh jumlah bait, jumlah larik tiap bait, jumlah suku kata tiap larik, dan rima. Mantra dan pantun adalah bentuk puisi lama asli Melayu; sedangkan syair berasal dari Arab, dan gurindam berasal dari Tamil atau India.
Mantra
Merupakan salah satu bentuk puisi asli Indonesia terdiri atas beberapa bait dengan rangkaian kata yang benilai ritmis. Bahasa mantra dianggap mengandung kekuatan magis, oleh karenanya tidak semua orang dizinkan membacanya kecuali ahlinya, yaitu pawang.
Pasu jantan, pasu rencana
Tutup pasu, penolak pasu
Kau menantang pada aku
Terjantang mataku
Jantungku sudah kugantung
Hati kau sudah kurantai
Sipulut namanya usar
Berderailah daun selasih
Aku tutup hati yang besar
Aku gantung lidah yang fasik
Jantungku sudah kugantung
Hatiku sudah kurantai
Rantai Allah, rantai Muhammad
Rantai Baginda Rasulallah
Pantun
Bentu puisi asli Melayu yang biasanya tiap bait terdiri atas empat baris yang dibagi atas dua baris pertama meerupakan sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. Rimanya adalah a b a b.
Berburu ke padang datar
mendapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
bagai bunga kembang tak jadi
Karmina atau Pantun kilat
(Pantun 2 larik; I sampiran dan 1 isi)
Sudah gaharu cendana pula
Sudah tahu bertanya pula
Talibun
(6 larik: 3 sampiran, 3 isi)
Kalau anak pergi ke lepau0
Hiu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi merantau
lbu cari sanak pun cari
lnduk semang cari dahulu
Seloka atau Pantun Berkait
(Ada pertalian antarbait)
Lurus jalan ke Payakumbuh
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tidak akan rusuh
Ibu mati bapak berjalan
Kayu jati bertimbal jalan
turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan
kemana untung diserahkan
Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India). Tiap bait terdiri alas dua baris, berisi nasihat. Pengarang gurindam yang terkenal adalah Raja Ali Haji dengan karyanya yang berjudul Gurindam Dua Belas.
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu akan tersesat
Barang siapa tinggalkan sembahyang
Bagai rumah tiada bertiang
Jika suami tak berhati lurus
Istripun kelak memadi kurus
Syair
Merupakan puisi lama yang berasal dari Arab. Tiap bait terdiri atas empat baris. Tiap baris biasanya mempunyai delapan sampai dua belas suku kata. Isinya cerita dan rimanya adalah a a a a.
Bulan purnama cahaya terang
bintang seperti intan di karang
Pungguk merawan seorang-orang
Berahikan bulan di amah seberang
Pungguk becinta pagi dan petang
melihat bulan di pagar bintang
Terselap merindu dendamnya datang
dari saujana pungguk menentang.
Friday, July 23, 2004
Adegan pada Babak ke Sekian
Picture by Ian McFarlane
Ini kamar, kita belum saling bayar,
pintu tertutup longgar. Katamu, "biar!"
Di luar kuikuti helikopter hingar berputar.
Kau tidak curiga pada wangi ketumbar.
Pada kaca jendela, bekas bayangan samar,
entah bayangku, entah bayangmu. Samar.
Setelah itu, kita tak saling tahu: tertukar.
Antara lantai bergetar dan dinding pijar:
pintu terkatup sebentar. Kataku, "keluar!
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal C
cengang : nah, inilah. Aku yang menatap ke diri sendiri
tak habis heran. Tak berjawab, semua pertanyaan.
Inilah. Aku yang meraba ke jejak sendiri. Tak jelas
arahan, tak tentu tujuan. Pun tak pulang jadi niatan,
sebab Rumah sendiri beralamat di entah. Kemungkinan,
cuma di pembuangan.
cendala : bahkan dalam hidup yang tak berkasta, aku
tak pantas ada dalam tingkat yang paling sudera.
Apa yang hendak kau tanya? "Ah," itu jawabku cuma.
cenduai : kukira, apa yang acap mereka ucap, adalah
mantra tersanggup. Memikat seluruh huruf, jadi
kehendak terkalimatkan lengkap, bersubyek aku,
berpredikat inginku, berobyek kau yang kuburu. Kukira.
Hanya kukira begitu.
cempera : yang telah kuletakkan, satuan per satuan,
berpecahan, berhamburan, berceraian, berberaian.
Yang telah kumengerti. Dihantam lagi, datang pertanyaan.
Dan, inilah aku. Berjalan. Tak berbimbingan.
tak habis heran. Tak berjawab, semua pertanyaan.
Inilah. Aku yang meraba ke jejak sendiri. Tak jelas
arahan, tak tentu tujuan. Pun tak pulang jadi niatan,
sebab Rumah sendiri beralamat di entah. Kemungkinan,
cuma di pembuangan.
cendala : bahkan dalam hidup yang tak berkasta, aku
tak pantas ada dalam tingkat yang paling sudera.
Apa yang hendak kau tanya? "Ah," itu jawabku cuma.
cenduai : kukira, apa yang acap mereka ucap, adalah
mantra tersanggup. Memikat seluruh huruf, jadi
kehendak terkalimatkan lengkap, bersubyek aku,
berpredikat inginku, berobyek kau yang kuburu. Kukira.
Hanya kukira begitu.
cempera : yang telah kuletakkan, satuan per satuan,
berpecahan, berhamburan, berceraian, berberaian.
Yang telah kumengerti. Dihantam lagi, datang pertanyaan.
Dan, inilah aku. Berjalan. Tak berbimbingan.
Thursday, July 22, 2004
[Ruang Renung # 81] Mencintai, Memamahi, Menghayati (1)
KETIKA seorang wanita meninggal, dan di laci kerja di kamarnya ditemukan rapi sejilid berisi ribuan puisi, pasti ada sesuatu pada Puisi itu sehingga si wanita begitu karib menggaulinya. Ketika puisi-puisi tersebut kemudian digemari banyak orang, dan jejak si wanita begitu dalam membekas dalam ingatan pembaca, maka pasti ada sesuatu pada Puisi itu sehingga dia bisa "membayar" utang jasa kepada si wanita yang telah ikhlas menuliskannya.
KITA tahu, wanita itu bernama Emily Dickinson. Penyair klasik wanita yang dipunyai negeri Inggris.
YANG bisa kita simpulkan adalah Emily pasti begitu mencintai puisi. Tanpa cinta, tak mungkin, dia bisa terus-terusan meski tak terang-terangan berterus terang membukakan seluruh rahasia rasa hatinya kepada Puisi. Kita tahu, Emily masih dipanggil Nona ketika dia meninggal. Dia seorang pencinta sesama wanita, begitu kata penafsir setelah menelaah puisi dan surat-suratnya. Tentulah, menjadi wanita dengan orientasi seks yang tak lazim diterima pada masanya itu, bukan perkara enteng.
KARENA itukah Emily lari mengadu ke Puisi? Mungkin. Tapi, kenapa puisi? Kenapa tidak ke bentuk ekspresi lain? Jadi, tetap saja, apapun pendorong seseorang berdekat-dekat dengan puisi, pasti cinta juga yang membuat seseorang itu tunak di sisi Sang Puisi. Dalam hal Emily, cinta itu ia wujudkan ia buktikan ia ejawantahkan dengan menulis, menulis dan menulis saja. Dia tak peduli apakah puisinya disukai orang, juga tak mau menjajal apakah puisinya cocok dengan selera redaktur surat kabar atau majalah saat itu. Semasa hidupnya tak lebih dari hitungan jari dua tangan puisinya dipublikasikan. Itupun tanpa setahu dia, cuma ulah iseng sahabatnya.
YA, cintai puisi dengan menuliskannya, mempercayainya dengan mengekspresikan pikiran, perasaan ke dalamnya. Adakah cara lain? Adakah jalan lain menujunya?[hah]
KITA tahu, wanita itu bernama Emily Dickinson. Penyair klasik wanita yang dipunyai negeri Inggris.
YANG bisa kita simpulkan adalah Emily pasti begitu mencintai puisi. Tanpa cinta, tak mungkin, dia bisa terus-terusan meski tak terang-terangan berterus terang membukakan seluruh rahasia rasa hatinya kepada Puisi. Kita tahu, Emily masih dipanggil Nona ketika dia meninggal. Dia seorang pencinta sesama wanita, begitu kata penafsir setelah menelaah puisi dan surat-suratnya. Tentulah, menjadi wanita dengan orientasi seks yang tak lazim diterima pada masanya itu, bukan perkara enteng.
KARENA itukah Emily lari mengadu ke Puisi? Mungkin. Tapi, kenapa puisi? Kenapa tidak ke bentuk ekspresi lain? Jadi, tetap saja, apapun pendorong seseorang berdekat-dekat dengan puisi, pasti cinta juga yang membuat seseorang itu tunak di sisi Sang Puisi. Dalam hal Emily, cinta itu ia wujudkan ia buktikan ia ejawantahkan dengan menulis, menulis dan menulis saja. Dia tak peduli apakah puisinya disukai orang, juga tak mau menjajal apakah puisinya cocok dengan selera redaktur surat kabar atau majalah saat itu. Semasa hidupnya tak lebih dari hitungan jari dua tangan puisinya dipublikasikan. Itupun tanpa setahu dia, cuma ulah iseng sahabatnya.
YA, cintai puisi dengan menuliskannya, mempercayainya dengan mengekspresikan pikiran, perasaan ke dalamnya. Adakah cara lain? Adakah jalan lain menujunya?[hah]
Dongeng Negeri Empat Musim
Ada empat musim di negeri itu.
Pertama, musim berdusta,
Kedua musim berjanji,
Ketiga musim berpura-pura,
Keempat musim lupa.
Sebaiknya kau datang ke sana,
sebagai pelancong saja, cari hiburan.
Dan jangan lupa, kalau pulang nanti bawalah
oleh-oleh topeng yang paling manis nyengirnya.
Soalnya itulah cindera mata yang selalu tersedia,
sepanjang tahun di negeri itu.
Tak peduli apapun musimnya.
Pertama, musim berdusta,
Kedua musim berjanji,
Ketiga musim berpura-pura,
Keempat musim lupa.
Sebaiknya kau datang ke sana,
sebagai pelancong saja, cari hiburan.
Dan jangan lupa, kalau pulang nanti bawalah
oleh-oleh topeng yang paling manis nyengirnya.
Soalnya itulah cindera mata yang selalu tersedia,
sepanjang tahun di negeri itu.
Tak peduli apapun musimnya.
Ketika Tertidur
ketika dia tertidur,
selalu saja
seperti didengarnya
suara pintu itu,
langkah kaki itu,
mendekat ke sisian ranjang
merapat ke tepian kenang
lalu terasa ada
bayang yang
jatuh di tubuhnya
pandang yang
teduh ke matanya.
selalu saja
ketika dia tertidur,
dia tak ingin membuka mata
dan membiarkan
langkah kaki itu,
suara pintu itu,
menyelinap ke balik kelam
mengendap ke bilik silam
hingga tersisa
bau tubuh
gema subuh
jejak-jejak
yang minta ditebak.
selalu saja
seperti didengarnya
suara pintu itu,
langkah kaki itu,
mendekat ke sisian ranjang
merapat ke tepian kenang
lalu terasa ada
bayang yang
jatuh di tubuhnya
pandang yang
teduh ke matanya.
selalu saja
ketika dia tertidur,
dia tak ingin membuka mata
dan membiarkan
langkah kaki itu,
suara pintu itu,
menyelinap ke balik kelam
mengendap ke bilik silam
hingga tersisa
bau tubuh
gema subuh
jejak-jejak
yang minta ditebak.
Wednesday, July 21, 2004
Dongeng Tukang Foto Keliling
Hampir semua orang di negeri itu
pernah dipotretnya, baik yang baru mati,
atau yang baru lahir. Baik yang baru nikah
atau pun yang baru saja jadian. "Buat kenang-kenangan...
Siapa tahu, besok jadi orang gedean. Kan foto-foto ini
bisa dilampirkan..." begitulah kalimat para pelanggan
yang selalu diucapkan.
Dia mengangguk-angguk saja,
sama sekali tanpa beban, tanpa keinginan.
Beberapa pelanggan, akhirnya memang jadi orang gedean,
bikin buku biografi dan foto jepretannya ikut dicantumkan.
Dengar-dengar ada juga yang jadi calon presiden.
Sayang, namanya tidak dicantumkan, d bawah foto cuma
dituliskan: dokumen pribadi. "Ah, tak apa, saya toh
cuma seorang tukang foto keliling, bukan?"
Dia mengangguk-angguk saja,
tanpa gugatan, sama sekali tanpa keberatan.
Di era informasi ini, si tukang foto keliling makin sepi pelanggan.
orang-orang lebih suka memotret dengan kamera digital, "biar gampang,
kalau mau dikirim lewat e-mail, tak perlu lagi repot di-scan...."
Begitulah, kalimat para pelanggan
yang dipakai sebagai kalimat penolakan.
Dia mengangguk-angguk saja,
sepenuhnya mengerti, menerima perubahan zaman.
Yang bikin si tukang foto bersedih adalah soal warisan.
Soalnya, tak ada seorang pun anaknya yang mau meneruskan.
Anak-anaknya ada yang jadi perawat di klinik bersalin,
ada yang bekerja di kamar mayat, ada juga yang menjadi
penjaga perpustakaan. Maka, setiap kali melihat kamera tuanya,
si tukang foto selalu dibuat geleng-geleng kepala.....
Akhirnya, sampai juga azal menjemput si tukang foto tua,
Pelanggan-pelanggannya ramai datang melayat. Anak-anaknya,
pun berkumpul membicarakan harta peninggalan. Kamera
tua diputuskan untuk dimuseumkan.
Sementara itu ribuan foto pelayat yang dipernah dijepret
dibagikan sebagai souvenir terakhir, tanda perpisahan.
Dan yang membuat mereka tersentak adalah ternyata selama ini,
si tukang foto itu tak pernah memotret dirinya sendiri.
pernah dipotretnya, baik yang baru mati,
atau yang baru lahir. Baik yang baru nikah
atau pun yang baru saja jadian. "Buat kenang-kenangan...
Siapa tahu, besok jadi orang gedean. Kan foto-foto ini
bisa dilampirkan..." begitulah kalimat para pelanggan
yang selalu diucapkan.
Dia mengangguk-angguk saja,
sama sekali tanpa beban, tanpa keinginan.
Beberapa pelanggan, akhirnya memang jadi orang gedean,
bikin buku biografi dan foto jepretannya ikut dicantumkan.
Dengar-dengar ada juga yang jadi calon presiden.
Sayang, namanya tidak dicantumkan, d bawah foto cuma
dituliskan: dokumen pribadi. "Ah, tak apa, saya toh
cuma seorang tukang foto keliling, bukan?"
Dia mengangguk-angguk saja,
tanpa gugatan, sama sekali tanpa keberatan.
Di era informasi ini, si tukang foto keliling makin sepi pelanggan.
orang-orang lebih suka memotret dengan kamera digital, "biar gampang,
kalau mau dikirim lewat e-mail, tak perlu lagi repot di-scan...."
Begitulah, kalimat para pelanggan
yang dipakai sebagai kalimat penolakan.
Dia mengangguk-angguk saja,
sepenuhnya mengerti, menerima perubahan zaman.
Yang bikin si tukang foto bersedih adalah soal warisan.
Soalnya, tak ada seorang pun anaknya yang mau meneruskan.
Anak-anaknya ada yang jadi perawat di klinik bersalin,
ada yang bekerja di kamar mayat, ada juga yang menjadi
penjaga perpustakaan. Maka, setiap kali melihat kamera tuanya,
si tukang foto selalu dibuat geleng-geleng kepala.....
Akhirnya, sampai juga azal menjemput si tukang foto tua,
Pelanggan-pelanggannya ramai datang melayat. Anak-anaknya,
pun berkumpul membicarakan harta peninggalan. Kamera
tua diputuskan untuk dimuseumkan.
Sementara itu ribuan foto pelayat yang dipernah dijepret
dibagikan sebagai souvenir terakhir, tanda perpisahan.
Dan yang membuat mereka tersentak adalah ternyata selama ini,
si tukang foto itu tak pernah memotret dirinya sendiri.
Tuesday, July 20, 2004
Dongeng Tukang Buat Dingklik
/1/
Sambil duduk lesehan, dia membayangkan
dingklik-dingklik yang pernah dia ciptakan.
"Semoga saja, mereka tak lupa dan terus mengerti
bahwa menjadi dingklik adalah menerima takdir
untuk direndahkan...." gumamnya dalam sendiri.
Dia ingat dulu pesan yang selalu dibisikkannya
kepada semua dingklik yang pernah dia ciptakan,
"Kemuliaan bagi sebuah dingklik adalah pasrah diduduki..."
/2/
Sambil baring-baring di tikar anyaman, dikenangnya,
dulu ketika dia pertama kali berkenalan dengan dingklik.
"Ah, jangan terlalu berlebihan, aku cuma sebuah
dingklik. Tak ada apa-apanya dibanding kursi atau...."
Itulah benda pertama yang dikenalnya sebagai perabotan.
Sebuah dingklik sederhana yang sering dipakai ibunya
sebagai penggilasan kalau mencuci di sumur.
Sebuah Dingklik yang sering jadi talenan
kalau dia menyiangi ikan hasil pancingan.
Sebuah dingklik yang juga didudukinya
ketika meraut bambu jadi layangan.
/3/
Lalu nasib mendudukkannya di sebuah bengkel kusen.
Di sisa-sisa waktunya, dengan sisa-sisa kayu
dibuatnya beragam dingklik-dingklikan.
Dengan sepenuh cinta, dingklik itu diberinya warna
dan kalimat-kalimat seadanya,
seperti: "jangan lihat penampilan, yang penting kegunaan,"
atau begini: "this is a recycle dingklik!"
kadang-kadang begini, "dingklik is furniture for nature..."
dan bisa juga begini, "berdingklik-dingklik dahulu,
bersenang-senang kemudian."
/4/
Tak disangka, dingkliknya banyak peminatnya.
Mula-mula dia memberikannya saja kalau ada yang meminta.
Lama-lama, orang rela membayar sekadarnya.
Dia pun terus berkarya dan tak henti berpesan:
"Kemuliaan bagi sebuah dingklik adalah pasrah diduduki..."
/5/
Pada suatu ketika, ketika tiduran di bale-bale,
dia bermimpi bertemu dengan dingklik-dingklik ciptaannya.
Betapa sedih hatinya, mendengar keluh mereka.
"Entah kami harus bangga atau berduka,
di rumah orang-orang kaya yang membeli kami,
kami ini dijadikan hiasan belaka..."
Entah, dia pun tak tahu harus bangga atau berduka.
Tapi, dia masih terus saja memproduksi dingklik,
mungkin untuk selama-lama. "Kemuliaan...," ujarnya
tanpa meneruskan hingga kalimatnya itu tertuntaskan.
Sambil duduk lesehan, dia membayangkan
dingklik-dingklik yang pernah dia ciptakan.
"Semoga saja, mereka tak lupa dan terus mengerti
bahwa menjadi dingklik adalah menerima takdir
untuk direndahkan...." gumamnya dalam sendiri.
Dia ingat dulu pesan yang selalu dibisikkannya
kepada semua dingklik yang pernah dia ciptakan,
"Kemuliaan bagi sebuah dingklik adalah pasrah diduduki..."
/2/
Sambil baring-baring di tikar anyaman, dikenangnya,
dulu ketika dia pertama kali berkenalan dengan dingklik.
"Ah, jangan terlalu berlebihan, aku cuma sebuah
dingklik. Tak ada apa-apanya dibanding kursi atau...."
Itulah benda pertama yang dikenalnya sebagai perabotan.
Sebuah dingklik sederhana yang sering dipakai ibunya
sebagai penggilasan kalau mencuci di sumur.
Sebuah Dingklik yang sering jadi talenan
kalau dia menyiangi ikan hasil pancingan.
Sebuah dingklik yang juga didudukinya
ketika meraut bambu jadi layangan.
/3/
Lalu nasib mendudukkannya di sebuah bengkel kusen.
Di sisa-sisa waktunya, dengan sisa-sisa kayu
dibuatnya beragam dingklik-dingklikan.
Dengan sepenuh cinta, dingklik itu diberinya warna
dan kalimat-kalimat seadanya,
seperti: "jangan lihat penampilan, yang penting kegunaan,"
atau begini: "this is a recycle dingklik!"
kadang-kadang begini, "dingklik is furniture for nature..."
dan bisa juga begini, "berdingklik-dingklik dahulu,
bersenang-senang kemudian."
/4/
Tak disangka, dingkliknya banyak peminatnya.
Mula-mula dia memberikannya saja kalau ada yang meminta.
Lama-lama, orang rela membayar sekadarnya.
Dia pun terus berkarya dan tak henti berpesan:
"Kemuliaan bagi sebuah dingklik adalah pasrah diduduki..."
/5/
Pada suatu ketika, ketika tiduran di bale-bale,
dia bermimpi bertemu dengan dingklik-dingklik ciptaannya.
Betapa sedih hatinya, mendengar keluh mereka.
"Entah kami harus bangga atau berduka,
di rumah orang-orang kaya yang membeli kami,
kami ini dijadikan hiasan belaka..."
Entah, dia pun tak tahu harus bangga atau berduka.
Tapi, dia masih terus saja memproduksi dingklik,
mungkin untuk selama-lama. "Kemuliaan...," ujarnya
tanpa meneruskan hingga kalimatnya itu tertuntaskan.
Dongeng Penyair
Jangan dipisahkan penyair dan kesepian,
nanti tak bisa lagi dia ciptakan kehangatan dari lebat hujan.
Jangan dijauhkan penyair dan kepedihan,
nanti tak dapat lagi dia sulap air mata jadi harapan.
Jangan diceraikan penyair dan kehampaan,
nanti tak mampu lagi dia isi hari dengan kegembiraan.
Jangan dibiarkan penyair iseng sendirian,
nanti dia tak bisa bikin puisi alias kehabisan bahan.
Jangan pernah percaya penyair itu utusan Tuhan
sebab syair itu cuma permainan iseng-iseng mengasyikkan.
Jangan diasingkan penyair dari kehidupan,
nanti kalau dia mati tak ada yang menguburkan.
nanti tak bisa lagi dia ciptakan kehangatan dari lebat hujan.
Jangan dijauhkan penyair dan kepedihan,
nanti tak dapat lagi dia sulap air mata jadi harapan.
Jangan diceraikan penyair dan kehampaan,
nanti tak mampu lagi dia isi hari dengan kegembiraan.
Jangan dibiarkan penyair iseng sendirian,
nanti dia tak bisa bikin puisi alias kehabisan bahan.
Jangan pernah percaya penyair itu utusan Tuhan
sebab syair itu cuma permainan iseng-iseng mengasyikkan.
Jangan diasingkan penyair dari kehidupan,
nanti kalau dia mati tak ada yang menguburkan.
Monday, July 19, 2004
Dongeng Tukang Duplikat Kunci
Di negeri itu hiduplah
seorang tukang bikin duplikat kunci.
Suatu ketika
datang kepadanya seorang
yang ingin tahu segalanya
dan dia berkata:
"Tuan, buatkah saya sebuah duplikat kunci
yang bisa membuka semua pintu buku."
Si tukang kunci lalu mengambil sesuatu
dari pikiran si pemesan lalu menempanya
menjadi kunci berbentuk Tanda Tanya,
lalu berkata:
"Nah, ini Kunci untukmu..."
Sambil pulang berjalan
si pemesan menggerutu sendirian,
"buat apa aku dikasih kunci beginian?"
lalu dia pun terheran-heran,
ada yang terbuka pada pintu kepalanya.
"memangnya, saya ini buku apaan?"
katanya kemudian, masih tak habis heran.
seorang tukang bikin duplikat kunci.
Suatu ketika
datang kepadanya seorang
yang ingin tahu segalanya
dan dia berkata:
"Tuan, buatkah saya sebuah duplikat kunci
yang bisa membuka semua pintu buku."
Si tukang kunci lalu mengambil sesuatu
dari pikiran si pemesan lalu menempanya
menjadi kunci berbentuk Tanda Tanya,
lalu berkata:
"Nah, ini Kunci untukmu..."
Sambil pulang berjalan
si pemesan menggerutu sendirian,
"buat apa aku dikasih kunci beginian?"
lalu dia pun terheran-heran,
ada yang terbuka pada pintu kepalanya.
"memangnya, saya ini buku apaan?"
katanya kemudian, masih tak habis heran.
[Ruang Renung # 80] Mari Bikin Cuaca Kita Sendiri
PUISI yang baik harus memaksimalkan frasa. Karena pada kemampuan mengolah frasa inilah, dan kemudian mengatur asosiasi antarfrasa-frasa yang tercipta, terletak ujian bagi penyair mutakhir.... dst. Puisi yang baik harus membangkitkan imaji berlapis-lapis, ketika dibaca dan masih menimbulkan efek yang sama ketika dibaca ulang,.....dst. Puisi yang baik adalah puisi yang....dst.
Kalimat-kalimat di atas akan banyak ditemukan di ulasan kesusasteraan akhir tahun atau dalam laporan dari sebuah kompetisi sastra wabilkhusus puisi. Yang berbicara seperti itu biasanya kritikus atau salah seorang dari tim juri. Mereka harus berbicara seperti itu sebagai pertanggungjawaban dari klausul perlombaan: "dewan juri tidak dapat diganggu gugat keputusannya".
Haruskah kita pedomani bahasan itu ketika kita berkarya? Tidak harus. Kecuali kalau kita ingin ikut lomba, ingin jadi pemenang dan kita tahu, sang juri sedang begitu seleranya. Bila iklim, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, curah hujan sudah ditentukan oleh sang peramal cuaca, maka tidak harus kita mencocok-cocokkan diri dengan keadaan itu saja. Tidak harus, karena itu bukan satu-satunya pilihan. Bila mereka bisa meramal seolah ramalan adalah suatu keniscayaan, maka mestinya kita bisa bikin cuaca seperti yang kita inginkan. Biarkan kemudian para pembaca cuaca itu yang mencatat ada yang khusus dalam cuaca yang kita ciptakan itu.[hah]
Kalimat-kalimat di atas akan banyak ditemukan di ulasan kesusasteraan akhir tahun atau dalam laporan dari sebuah kompetisi sastra wabilkhusus puisi. Yang berbicara seperti itu biasanya kritikus atau salah seorang dari tim juri. Mereka harus berbicara seperti itu sebagai pertanggungjawaban dari klausul perlombaan: "dewan juri tidak dapat diganggu gugat keputusannya".
Haruskah kita pedomani bahasan itu ketika kita berkarya? Tidak harus. Kecuali kalau kita ingin ikut lomba, ingin jadi pemenang dan kita tahu, sang juri sedang begitu seleranya. Bila iklim, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, curah hujan sudah ditentukan oleh sang peramal cuaca, maka tidak harus kita mencocok-cocokkan diri dengan keadaan itu saja. Tidak harus, karena itu bukan satu-satunya pilihan. Bila mereka bisa meramal seolah ramalan adalah suatu keniscayaan, maka mestinya kita bisa bikin cuaca seperti yang kita inginkan. Biarkan kemudian para pembaca cuaca itu yang mencatat ada yang khusus dalam cuaca yang kita ciptakan itu.[hah]
Sunday, July 18, 2004
[Tentang Puisi] Seniman = Perintis Jalan
TIAP seniman harus seorang perintis jalan, adik. Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak-bertepi, seniman adalah tanda hidup yang melepas-lepas.
Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, bersendiri!
Bukan, bukan, sekali-kali bukan! Mungkin yang begini akibatnya mati sendiri, dan tak ada yang akan menguburkan. Hanya kemauan, inti hidup, itu yang merdeka.
.....
PENDEKNYA kita tidak boleh lagi alat musik dari penghidupan. Kita pemain dari lagu penghidupan, membikin kita selamanya lurus berenang. Karena keberanian, kesadaran, kepercayaan dan pengetahuan kita punya.
* Pidato Chairil Anwar di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1943; dimuat dalam Zenith Th 1 No. 2 Februari 1951, dan dibukukan oleh GRANIT dalam Pulanglah Si Anak Hilang.
Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, bersendiri!
Bukan, bukan, sekali-kali bukan! Mungkin yang begini akibatnya mati sendiri, dan tak ada yang akan menguburkan. Hanya kemauan, inti hidup, itu yang merdeka.
.....
PENDEKNYA kita tidak boleh lagi alat musik dari penghidupan. Kita pemain dari lagu penghidupan, membikin kita selamanya lurus berenang. Karena keberanian, kesadaran, kepercayaan dan pengetahuan kita punya.
* Pidato Chairil Anwar di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1943; dimuat dalam Zenith Th 1 No. 2 Februari 1951, dan dibukukan oleh GRANIT dalam Pulanglah Si Anak Hilang.
Dongeng Tukang Bikin Robot
Si tukang bikin robot itu tertidur kecapean.
Ditunggu-tunggu lama sekali, tak juga siuman,
Robot-robot ciptaannya jadi bingung berpandangan.
"Pijitin tuh, kasihan kan?" kata robot pemadam kebakaran
kepada robot seksi yang dipesan seorang pejabat kesepian.
"Ah, memangnya saya robot apaan..." kata si robot seksi,
"mendingan kau bangunkan saja," lanjutnya kepada robot
yang suaranya paling bising yang asyik mendengarkan
dirinya sendiri. "Hei, kau pasti tidak mendengar kan?"
"Eh, biarkan saja dia tidur. Mendingan kita minggat, saja,
ini kan kesempatan. Mumpung dia belum bikin kita tidak karuan,
diprogram macam-macam...." kata robot yang penuh dendam
yang matanya selalu jelalatan.
"Wah, asyik juga. Tapi, mau kabur kemana?
"Iya, kabur kemana?"
"Kemana sajalah," kata sebuah suara. "Aku juga sudah
bosan di sini kelamaan...." ah, rupanya itu suara robot
yang janggut dan botaknya mirip dengan si pembuat robot
yang masih juga tertidur: mungkin sedang mimpi bercumbu
dengan salah seorang robot yang paling dirindukannya.
Ditunggu-tunggu lama sekali, tak juga siuman,
Robot-robot ciptaannya jadi bingung berpandangan.
"Pijitin tuh, kasihan kan?" kata robot pemadam kebakaran
kepada robot seksi yang dipesan seorang pejabat kesepian.
"Ah, memangnya saya robot apaan..." kata si robot seksi,
"mendingan kau bangunkan saja," lanjutnya kepada robot
yang suaranya paling bising yang asyik mendengarkan
dirinya sendiri. "Hei, kau pasti tidak mendengar kan?"
"Eh, biarkan saja dia tidur. Mendingan kita minggat, saja,
ini kan kesempatan. Mumpung dia belum bikin kita tidak karuan,
diprogram macam-macam...." kata robot yang penuh dendam
yang matanya selalu jelalatan.
"Wah, asyik juga. Tapi, mau kabur kemana?
"Iya, kabur kemana?"
"Kemana sajalah," kata sebuah suara. "Aku juga sudah
bosan di sini kelamaan...." ah, rupanya itu suara robot
yang janggut dan botaknya mirip dengan si pembuat robot
yang masih juga tertidur: mungkin sedang mimpi bercumbu
dengan salah seorang robot yang paling dirindukannya.
Dongeng Penyair Mati
dan Penjaga Kuburan
Akhirnya, penjaga kuburan itu
bisa juga tertawa.
Soalnya, hari itu ada sekumpulan penyair
menggandeng jenazah rekan seprofesi mereka,
yang semalam mati saat membaca puisi sendiri.
Sepanjang jalan, mereka tertawa-tawa: ha ha ha ha!
Sialan kau, Penyair Kesayangan. "Matimu seperti mati betulan..."
Lalu setelah jasad itu dicampakkan ke liang lahat
mereka pun membaca puisi bergantian...
"Dan kematian, semakin akrab...." kata penyair pertama
"Aku mau hidup seribu tahun lagi..." sambut penyair kedua
"Apa yang abadi pada sebuah poci? ..."sahut penyair lainnya
"Selamat nongkrong di kuburan..." timpal penyair berikutnya.
Begitulah, penyair-penyair itu membaca puisi,
mula-mula bergantian, lalu berebutan,
akhirnya semakin tidak karuan, dan makin lama
mereka tertawa cekakakan, seakan mau berkata:
"Rasain kau, kawan....siapa suruh kau mati duluan."
Akhirnya, penjaga kuburan itu
bisa juga tertawa, setelah menyaksikan
ribuan prosesi pemakaman yang selalu
memainkan lakon duka penuh kepura-puraan.
Ketika penguburan itu dianggap selesai,
si penjaga kuburan buru-buru berpesan:
"Sering-sering ziarah kemari ya, wahai Tuan-tuan..."
"Oke, Pak Kuburan, jangan khawatir,
kami sudah janjian kok, bakal mati bergantian,"
kata salah seorang penyair yang paling kolokan.
dan Penjaga Kuburan
Akhirnya, penjaga kuburan itu
bisa juga tertawa.
Soalnya, hari itu ada sekumpulan penyair
menggandeng jenazah rekan seprofesi mereka,
yang semalam mati saat membaca puisi sendiri.
Sepanjang jalan, mereka tertawa-tawa: ha ha ha ha!
Sialan kau, Penyair Kesayangan. "Matimu seperti mati betulan..."
Lalu setelah jasad itu dicampakkan ke liang lahat
mereka pun membaca puisi bergantian...
"Dan kematian, semakin akrab...." kata penyair pertama
"Aku mau hidup seribu tahun lagi..." sambut penyair kedua
"Apa yang abadi pada sebuah poci? ..."sahut penyair lainnya
"Selamat nongkrong di kuburan..." timpal penyair berikutnya.
Begitulah, penyair-penyair itu membaca puisi,
mula-mula bergantian, lalu berebutan,
akhirnya semakin tidak karuan, dan makin lama
mereka tertawa cekakakan, seakan mau berkata:
"Rasain kau, kawan....siapa suruh kau mati duluan."
Akhirnya, penjaga kuburan itu
bisa juga tertawa, setelah menyaksikan
ribuan prosesi pemakaman yang selalu
memainkan lakon duka penuh kepura-puraan.
Ketika penguburan itu dianggap selesai,
si penjaga kuburan buru-buru berpesan:
"Sering-sering ziarah kemari ya, wahai Tuan-tuan..."
"Oke, Pak Kuburan, jangan khawatir,
kami sudah janjian kok, bakal mati bergantian,"
kata salah seorang penyair yang paling kolokan.
[Ruang Renung # 79] Mencurigai Diri Sendiri
BILA suatu ketika, puisi begitu mudah mengalir dari dirimu, curigailah. Bukan berarti puisi harus dilahirkan dengan susah berdarah-darah. Tetapi, sesuatu yang datang terlalu mudah, tak menawarkan banyak hal, tak lebih banyak daripada dia yang datang setelah kau rindukan, kau cari, kau buru dan kau tunggu bahkan sesekali mungkin pernah sempat kau ragukan kedatangannya.
BILA suatu ketika, puisi begitu mudah mengalir dari dirimu, sebaiknya kau bendung saja dahulu. Tunggu, sampai aliran itu membobol deras pertahanan bendungan yang kau bangun itu.
BILA suatu ketika, sesekali harus begitulah adanya.[hah]
BILA suatu ketika, puisi begitu mudah mengalir dari dirimu, sebaiknya kau bendung saja dahulu. Tunggu, sampai aliran itu membobol deras pertahanan bendungan yang kau bangun itu.
BILA suatu ketika, sesekali harus begitulah adanya.[hah]
Sunday, July 11, 2004
Membuat Sajak Melihat Lukisan
Oleh Chairil Anwar
[Tulisan ini dimuat dalam Internasional, No. 8 Juni 1949; dimuat juga dalam berita, 27 Juni 1949 dengan judul "Membaca Sajak, Melihat Lukisan"]
SAJAK terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung dan sebagainya. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kwalitet cat dan kain atau batu pualam sebagai soal yang penting, soal yang pokok. Bukankah bahan-bahan yang dipakai yang penting; yang penting adalah hasil yang tercapai.
"HASIL" ini pada umumnya "terbagi" dalam bentuk dan isi. Tetapi "pembatasan" yang sangat nyata dan terang antara bentuk dan isi tidak pula bisa dikemukakan, sebab dalam kesenian, bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama. mereka gonta-ganti tutup menutupi. Karena hanyalah perasaan-perasaan si seniman yang benar-benar jadi bentuk dan caranya menyatakan yang istimewa, tersendiri yang sanggup membikin si penglihat, pembaca atau pendengar terharu - melambung atau terhenyak.
JIKA dua orang pelukis sama-sama melukiskan suatu bagian dari kota, bisa jadi kejadian yang lukisan satu mengagumkan kita, sedangkan lukisan yang lain kita rasa jelek. Perbedaan bukankah jadinya terletak pada "pokok", karena di sini pokok adalah sama. Perbedaan terletak dalam perasaan-persaan yang mengiringi pemandangan di kota tadi, dan dalam cara bagaimana perasaan-perasaan itu mencapai pernyataannya.
SEBAGAIMANA suatu pokok bisa mengesankan pada dua orang pelukis, begitu juga sebaliknya, dua bagai pokok bisa meninggalkan keterharuan yang sama pada seorang pelikis. Lukisan yang sederhana dari sepasang sepatu tua bisa "sebagus" lukisan satu pot kembang yang berbagai warna. Karena yang tampak oleh kita bukanlah semata-mata sepatu tua itu, tapi adalah sepatu tua yang "terasa bagus" - dan karena si seniman sanggup menyatakan sepenuhnya dengan garis dan bentuk, karena itu pula maka bisa dia memaksa kita mengakui hasil keseniannya.
JADI yang penting ialah: si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga perasaan-perasaannya. Perkakas-perkakas yang bisa dipakai oleh si penyair untuk menyatakan adalah bahan-bahan bahasa, yang dipakainya dengan cara intuitif. Dengan "memakaikan" tinggi-rendah dia bisa mencapai suatu keteraturan, dan dalam keteraturan ini diusahakannya variasi: irama dari sajaknya dipakainya sebagai perkakas untuk menyatakan. Lagu dari kata-katanya bisa pula dibentuknya sehingga bahasanya menjadi berat dan lamban atau menjadi cepat dan ringan. Dia bisa memilih kata-kata dan hubungan-kata yang tersendiri, ditimbang dengan saksama atau kata-kata itu menyatakan apa yang dimaksudnya. Bentuk kalimatnya bisa dibikinnya menyimpang dari biasa, dengan begitu mengemukakan dengan lebih halus, lebih pelik apa yang hidup dalam jiwanya.
Dengan irama dan lagu, dengan kalimat dan pilihan kata yang tersendiri dan dengan perbandingan-perbandingan si penyair menciptakan sajaknya dan hanya jika si pembaca sanggup memperhatikan dengan teliti "keistimewaan" yang tercapai oleh si penyair, bisalah si pembaca mengertikan dan merasakan sesuatu sajak dengan sepenuhnya. Merasa sebuah sajak bagus tidaklah harus didasarkan atas suatu atau beberapa dari "perkakas" bahasa yang disebut tadi, tapi harus didasarkan atas kerja sama dan perhubungannya yang sama dengan "pokok".
BAHWASANYA pokok tidak menentukan nilai hasil kesenian, bukanlah berarti bahwa semua pokok bisa membawa keterharuan yang sama pada penyair. Sebaliknya malahan: sudah tentu saja bahwa berbagai peristiwa dalam alam dan dalam kehidupan manusia tidak kita hiraukan, karena dia tidak menduduki tempat yang "penting" dalam kehidupan kita. Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari dan bulan, ketuhanan - inilah pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman.
* Tulisan ini disalin dari buku Chairil Anwar, Pulanglah Dia Si Anak Hilang, Kumpulan Terjemahan dan Esai, Granit, Jakarta, 2003.
Saturday, July 10, 2004
[Tentang Puisi] Bersahabat dengan Puisi
SAYA dan puisi cukup mesra, dekat dan sangat bersahabat Ya, seperti suami-istri selama ini kami saling menolong, dalam suka dan duka. Puisi ternyata tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari.
* Acep Zamzam Noor, dalam Jalan Menuju Rumahmu, Grasindo, Jakarta, 2004.
* Acep Zamzam Noor, dalam Jalan Menuju Rumahmu, Grasindo, Jakarta, 2004.
[Tentang Puisi] Intuisi Vs Inteligensi
KALAU kemampuan bersyair itu bukan suatu inteligensi, pasti intuisilah yang bekerja padanya.
* Kuntowijoyo, dalam kata penutup untuk buku D Zawawi Imron, Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.
* Kuntowijoyo, dalam kata penutup untuk buku D Zawawi Imron, Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.
[Tentang Puisi] Dua Upaya untuk Puisi
PADA dasarkan kita dapat melakukan dua hal dalam rangka memberikan sumbangan kepada dunia perpuisian kita itu. Pertama, sikap positif terhadap puisi. Hendaknya kita dapat memelihara keyakinan bahwa puisi adalah bagian yang vital dalam kehidupan kita, dan bahwa kalau dapat mengapresiasinya secara tepat, puisi dapat memberikan hal yang berharga bagi kehidupan kita sebagai pribadi dan bagi masyarakat secara keseluruhan. Kedua, kita harus memelihara keyakinan bahwa ada cara mengapresiasi yang tepat terhadap puisi dan kita dapat menguasai cara yang tepat itu.
* Saini KM dalam catatan untuk buku puisi Acep Zamzam Noor, Jalan Menuju Rumahmu, Grasindo, Jakarta, 2004.
* Saini KM dalam catatan untuk buku puisi Acep Zamzam Noor, Jalan Menuju Rumahmu, Grasindo, Jakarta, 2004.
[Tentang Puisi] Yang Bersyair itu sebenarnya....
SAYA sebenarnya bukan penyair, yang bersyair sebenarnya alam, kemanusiaan, dan jeritan yang secuil sempat singgah ke dalam hati.
* D Zawawi Imron, dalam Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.
* D Zawawi Imron, dalam Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.
Friday, July 9, 2004
GEMA-GEMA
Sajak William Ernest Henley
XL
Musim semi itu, kasihku,
bukan lagi musim kita dahulu.
Nyanyi si burung hitam itu,
samakah juga lagunya tahun lalu?
Langit yang tua, langit yang biru
warna yang ada sejak lama itu?
Atau mungkin kau dan aku
sudah pula jadi membeku?
Karena hidup bisa jadi berganti
nyaris tak tertanggung lagi
Ketika udara yang manis
terasa mendesak dan asing.
Sumbang di luar irama,
Mempertegas kau dan aku...
Dan mati lebih baik kini,
mati yang tak tertunda lagi!
XL
The spring, my dear,
Is no longer spring.
Does the blackbird sing
What he sang last year?
Are the skies the old
Immemorial blue?
Or am I, or are you,
Grown cold?
Though life be change,
It is hard to bear
When the old sweet air
Sounds forced and strange.
To be out of tune,
Plain You and I . . .
It were better to die,
And soon!
XL
Musim semi itu, kasihku,
bukan lagi musim kita dahulu.
Nyanyi si burung hitam itu,
samakah juga lagunya tahun lalu?
Langit yang tua, langit yang biru
warna yang ada sejak lama itu?
Atau mungkin kau dan aku
sudah pula jadi membeku?
Karena hidup bisa jadi berganti
nyaris tak tertanggung lagi
Ketika udara yang manis
terasa mendesak dan asing.
Sumbang di luar irama,
Mempertegas kau dan aku...
Dan mati lebih baik kini,
mati yang tak tertunda lagi!
XL
The spring, my dear,
Is no longer spring.
Does the blackbird sing
What he sang last year?
Are the skies the old
Immemorial blue?
Or am I, or are you,
Grown cold?
Though life be change,
It is hard to bear
When the old sweet air
Sounds forced and strange.
To be out of tune,
Plain You and I . . .
It were better to die,
And soon!
Thursday, July 8, 2004
[Tentang Puisi] Membaca Puisi....
SAYA pikir satu definisi yang mungkin dari budaya modern adalah 90 persen dari intelektual kita sekarang tidak membaca puisi.
* Randall Jarrell (1914 - 1965)
MANUSIA harus mendengar sedikit musik, membaca satu dua bait puisi, dan melihat sebuah gambar yang baik setiap hari sepanjang hidupnya, agar urusan duniawi tidak menggusur naluri akan keindahan yang sudah ditanamkan di dalam jiwa oleh Tuhan.
* Johann Wolfgang von Goethe (1749 - 1832)
Pada Sebuah Jendela, Pada Suatu Pagi
Sajak TS Eliot
Berdentangan piring, mereka sarapan di dapur
pun di sepanjang tepi jalan terinjak lalu lalang
aku jatuh peduli pada jiwa lembab para pesuruh
bertunasan berhancuran di pintu gerbang.
gelombang kelabu kabut berjudi denganku
wajah-wajah kemerut bangkit dari dasar jalanan,
Terenggut dari si pelintas lalu - lumpur pada baju
Senyum hambar melayang di awang-awang
lalu menghilang di langit setinggi bumbung rumah.
Morning at the Window
They are rattling breakfast plates in basement kitchens,
And along the trampled edges of the street
I am aware of the damp souls of housemaids
Sprouting despondently at area gates.
The brown waves of fog toss up to me
Twisted faces from the bottom of the street,
And tear from a passer-by with muddy skirts
An aimless smile that hovers in the air
And vanishes along the level of the roofs.
Berdentangan piring, mereka sarapan di dapur
pun di sepanjang tepi jalan terinjak lalu lalang
aku jatuh peduli pada jiwa lembab para pesuruh
bertunasan berhancuran di pintu gerbang.
gelombang kelabu kabut berjudi denganku
wajah-wajah kemerut bangkit dari dasar jalanan,
Terenggut dari si pelintas lalu - lumpur pada baju
Senyum hambar melayang di awang-awang
lalu menghilang di langit setinggi bumbung rumah.
Morning at the Window
They are rattling breakfast plates in basement kitchens,
And along the trampled edges of the street
I am aware of the damp souls of housemaids
Sprouting despondently at area gates.
The brown waves of fog toss up to me
Twisted faces from the bottom of the street,
And tear from a passer-by with muddy skirts
An aimless smile that hovers in the air
And vanishes along the level of the roofs.
Eliot, Peraih Nobel Sastra 1948
THOMAS Stearns Eliot 1888 - 1965. Dialah kritikus dan penyair Amerika berdarah Inggris kelahiran St Louis, Negara Bagian Misouri. Tak hanya penting di negeri kelahirannya, Eliot juga sosok penting dalam khazanah sastra dunia. Tahun 1948 dia dianugerahi Hadiah Nobel Sastra.
Eliot mengkaji ilmu di sejumlah perguruan tinggi penting, Harvard, Sorbonne dan Oxford. Tahun 1914 dia menetap di London dan tahun 1927 menjadi warna negara Inggris.
Setelah bekerja sebagai guru dan juru hitung di sebuah bank dia memulai karir di bidang penerbitan. Sepanjang tahun 1917-1919 dia menjadi asisten editor di majalah Egoist. Lalu tahun 1922 hingga 1939 menerbitkan berkala empat bulanan yang ia upayakan sendiri.
Pada tahun 1925, Eliot bekerja di rumah penerbitan Faber and Faber, lalu setahap setapak di penerbitan itu ia menjadi direktur.
Pernikahan pertamanya dengan Viviene Haigh-Wood pada tahun 1915 berakhir dengan perceraian. Eliot kemudian jauh lebih berbahagia dalam pernikahannya yang kedua dengan Valerie Fletcher pada tahun 1957.
Pada karya-karya awal Eliot— Prufrock and Other Observations (1917), Poems (1920), dan The Waste Land (1922)—terbaca kedukaan yang dalam dan ketandusan jiwa manusia dalam kehidupan modern. Juga keterpencilan diri, terutama terpantul dari tema-tema kegagalan cinta.
The Waste Land — yang saat terbit disunting dengan sangat baik oleh sahabatnya Ezra Pound — memancing perhatian dan mengundang banyak kritik. Sajak-sajak awal Eliot serentak memanfaatkan mitos, simbol-simbol keagamaan, dan kiasan, sangat jauh berkelok dari tradisi persajakan abad 19. Rujukan sajak-sajak Eliot adalah penyair metafisikal Dante, drama ala Jacobean, dan penyair simbolis Prancis. Bentuknya pun melebar dari yang liris hingga bentuk bercakapan.
Pada sajak-sajak terakhirnya terutama pada Ash Wednesday (1930) dan Four Quartets (1935-1942), Eliot berpaling dari keterpencilan spiritual kepada harapan bagi keselamatan manusia. Dia percaya spirit agama adalah solusi bagi dilema kemanusiaan dan dia pun menjadi penyerta Katolik Anglikan pada tahun 1927.
Eliot juga seorang kritikus luar biasa yang sangat berpengaruh. Beberapa buku kumpulan esainya terbit dalam The Sacred Wood (1920), For Lancelot Andrewes (1928), Selected Essays, 1917–1932 (1932), The Use of Poetry and the Use of Criticism (1933), Elizabethan Essays (1934), Essays Ancient and Modern (1936), dan Notes towards a Definition of Culture (1948).
Karya drama Eliot mengajukan penyegaran kembali pada syair drama dan biasanya bertema sama dengan sajak-sajaknya. Dramanya yang banyak diterjemahkan di seluruh dunia adalah Murder in the Cathedral (1935). Di Indonesia karya ini dialihbahasakan oleh Sapardi Djoko Damono. Lalu The Family Reunion (1939); The Cocktail Party (1950); The Confidential Clerk (1954);dan The Elder Statesman (1959). Karya drama dan sajaknya lengkap terbit pada 1969, menyusul surat-surat pentingnya pada tahun 1988. Dan pada tahun 1996, terbit sejumlah sajaknya yang sebelumnya belum pernah dipublikasikan sejak tahun 1909 hingga 1917.[hah]
Eliot mengkaji ilmu di sejumlah perguruan tinggi penting, Harvard, Sorbonne dan Oxford. Tahun 1914 dia menetap di London dan tahun 1927 menjadi warna negara Inggris.
Setelah bekerja sebagai guru dan juru hitung di sebuah bank dia memulai karir di bidang penerbitan. Sepanjang tahun 1917-1919 dia menjadi asisten editor di majalah Egoist. Lalu tahun 1922 hingga 1939 menerbitkan berkala empat bulanan yang ia upayakan sendiri.
Pada tahun 1925, Eliot bekerja di rumah penerbitan Faber and Faber, lalu setahap setapak di penerbitan itu ia menjadi direktur.
Pernikahan pertamanya dengan Viviene Haigh-Wood pada tahun 1915 berakhir dengan perceraian. Eliot kemudian jauh lebih berbahagia dalam pernikahannya yang kedua dengan Valerie Fletcher pada tahun 1957.
Pada karya-karya awal Eliot— Prufrock and Other Observations (1917), Poems (1920), dan The Waste Land (1922)—terbaca kedukaan yang dalam dan ketandusan jiwa manusia dalam kehidupan modern. Juga keterpencilan diri, terutama terpantul dari tema-tema kegagalan cinta.
The Waste Land — yang saat terbit disunting dengan sangat baik oleh sahabatnya Ezra Pound — memancing perhatian dan mengundang banyak kritik. Sajak-sajak awal Eliot serentak memanfaatkan mitos, simbol-simbol keagamaan, dan kiasan, sangat jauh berkelok dari tradisi persajakan abad 19. Rujukan sajak-sajak Eliot adalah penyair metafisikal Dante, drama ala Jacobean, dan penyair simbolis Prancis. Bentuknya pun melebar dari yang liris hingga bentuk bercakapan.
Pada sajak-sajak terakhirnya terutama pada Ash Wednesday (1930) dan Four Quartets (1935-1942), Eliot berpaling dari keterpencilan spiritual kepada harapan bagi keselamatan manusia. Dia percaya spirit agama adalah solusi bagi dilema kemanusiaan dan dia pun menjadi penyerta Katolik Anglikan pada tahun 1927.
Eliot juga seorang kritikus luar biasa yang sangat berpengaruh. Beberapa buku kumpulan esainya terbit dalam The Sacred Wood (1920), For Lancelot Andrewes (1928), Selected Essays, 1917–1932 (1932), The Use of Poetry and the Use of Criticism (1933), Elizabethan Essays (1934), Essays Ancient and Modern (1936), dan Notes towards a Definition of Culture (1948).
Karya drama Eliot mengajukan penyegaran kembali pada syair drama dan biasanya bertema sama dengan sajak-sajaknya. Dramanya yang banyak diterjemahkan di seluruh dunia adalah Murder in the Cathedral (1935). Di Indonesia karya ini dialihbahasakan oleh Sapardi Djoko Damono. Lalu The Family Reunion (1939); The Cocktail Party (1950); The Confidential Clerk (1954);dan The Elder Statesman (1959). Karya drama dan sajaknya lengkap terbit pada 1969, menyusul surat-surat pentingnya pada tahun 1988. Dan pada tahun 1996, terbit sejumlah sajaknya yang sebelumnya belum pernah dipublikasikan sejak tahun 1909 hingga 1917.[hah]
Pada Sepoi Malam: Sebuah Rhapsody
TS Eliot - Rhapsody of a Windy Night
Pukul dua belas, tepat.
Sepanjang rengkuhan jalan
Bertahan pada sintesa bulan,
Bisik mantra-mantra bulan
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi jelas kini,
Segala memisah, mempertegas diri,
Setiap lelampu jalan yang kulintas
Berdentum bagai tambur kematian,
Tengahmalam menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.
30 menit dari pukul satu,
Lelampu jalan memercik
Lelampu jalan berkata,
"Beri hormat itu perempuan
Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu
pintu yang membuka padanya seperti seringai.
Kau lihat, ujung gaunnya
koyak berlumur pasir
dan kau lihat sudut matanya
mengerling bagai lencana yang dipakai miring.
Kenangan melambung, tinggi dan kering
Kerumun dari yang terpintal-terjalin
Jalinan cecabang di senarai pantai
Terasa hambar dan berkilau
Seperti yang dunia serahkan
Rahasia tulang kerangka
putih dan keras
Selingkar pegas di halaman pabrik
Karat yang merekat, tak lagi ada kuat
Keras melengkung, siap didentang-dentang.
Aku melihat ada kosong di lorong mata bocah itu.
Aku sudah melihat mata di jalan itu
Menatap tajam menembus benderang jendela,
Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam,
Seekor ketam tua, kepah di punggungnya,
Mencengkeram ujung tongkat yang kugenggam.
Pukul tiga, tiga puluh menit,
Lelampu memercik,
Lelampu memberengut dalam gelap.
Lelampu yang bergumam:
"Beri hormat bulan itu,
La lune ne garde aucune rancune*,
Bulan mengerdip, matanya redup,
Bulan tersenyum, ke pencil sudut-sudut.
Bulan mengelus lembut rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah kehilangan kenangan.
Parut cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan menata mawar kertas,
yang menebar aroma debu dan Cologne apak,
Bulan sendiri, dengan seluruh aroma malam
Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenangan pun tiba-tiba tiba
Dari Geranium yang kering di teduh matahari,
Dan menabur di celah karang,
Aroma chesnut menebar di jalan-jalan
Dan aroma perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok di koridor
Dan uap koktail di bar."
Lelampu berkata,
"Pukul empat,
Inilah nomor pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya kuncinya,
Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka; sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,
bersiap untuk hidup esok lagi."
Liuk terakhir sang pisau.
* Bulan tak pernah menahan amarah?
Pukul dua belas, tepat.
Sepanjang rengkuhan jalan
Bertahan pada sintesa bulan,
Bisik mantra-mantra bulan
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi jelas kini,
Segala memisah, mempertegas diri,
Setiap lelampu jalan yang kulintas
Berdentum bagai tambur kematian,
Tengahmalam menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.
30 menit dari pukul satu,
Lelampu jalan memercik
Lelampu jalan berkata,
"Beri hormat itu perempuan
Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu
pintu yang membuka padanya seperti seringai.
Kau lihat, ujung gaunnya
koyak berlumur pasir
dan kau lihat sudut matanya
mengerling bagai lencana yang dipakai miring.
Kenangan melambung, tinggi dan kering
Kerumun dari yang terpintal-terjalin
Jalinan cecabang di senarai pantai
Terasa hambar dan berkilau
Seperti yang dunia serahkan
Rahasia tulang kerangka
putih dan keras
Selingkar pegas di halaman pabrik
Karat yang merekat, tak lagi ada kuat
Keras melengkung, siap didentang-dentang.
Aku melihat ada kosong di lorong mata bocah itu.
Aku sudah melihat mata di jalan itu
Menatap tajam menembus benderang jendela,
Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam,
Seekor ketam tua, kepah di punggungnya,
Mencengkeram ujung tongkat yang kugenggam.
Pukul tiga, tiga puluh menit,
Lelampu memercik,
Lelampu memberengut dalam gelap.
Lelampu yang bergumam:
"Beri hormat bulan itu,
La lune ne garde aucune rancune*,
Bulan mengerdip, matanya redup,
Bulan tersenyum, ke pencil sudut-sudut.
Bulan mengelus lembut rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah kehilangan kenangan.
Parut cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan menata mawar kertas,
yang menebar aroma debu dan Cologne apak,
Bulan sendiri, dengan seluruh aroma malam
Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenangan pun tiba-tiba tiba
Dari Geranium yang kering di teduh matahari,
Dan menabur di celah karang,
Aroma chesnut menebar di jalan-jalan
Dan aroma perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok di koridor
Dan uap koktail di bar."
Lelampu berkata,
"Pukul empat,
Inilah nomor pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya kuncinya,
Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka; sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,
bersiap untuk hidup esok lagi."
Liuk terakhir sang pisau.
* Bulan tak pernah menahan amarah?
[Ruang Renung # 80] Potret Penyair Sebagai Petani
PETANI yang baik adalah dia yang mencintai tanah sawahnya. Saat berkubang lumpur bukan sesuatu yang kotor. Pupuk yang diberikannya ke tanah bukan untuk si tanah itu, tetapi untuk si tanaman yang kelak ditumbuhkan oleh sang petani di tanah itu. Tanah ikhlas menerima perannya, petani senang menjalankan tugasnya. Kelak ada bagian dari tanaman yang kembali ke tanah sebagai hara untuk tanaman berikutnya.
Petani yang baik adalah penyair yang mencintai bahasa dan kehidupan. Dia cermat mengolah bahasa, dan memperkaya dan meneliti seluruh sisi terkecil kehidupannya. Dia memberi pupuk dengan perenungan-perenungan dan kelak memetik buah nilai-nilai di dalam puisi.
Mari, jadi petani.[hah]
* Vincent van Gogh, Farmer Sitting on Fireside, Reading, 1881, watercolour.
Petani yang baik adalah penyair yang mencintai bahasa dan kehidupan. Dia cermat mengolah bahasa, dan memperkaya dan meneliti seluruh sisi terkecil kehidupannya. Dia memberi pupuk dengan perenungan-perenungan dan kelak memetik buah nilai-nilai di dalam puisi.
Mari, jadi petani.[hah]
* Vincent van Gogh, Farmer Sitting on Fireside, Reading, 1881, watercolour.
Wednesday, July 7, 2004
Petani Puisi
: MG Soetopo
/1/
Pagi-pagi sekali, kau berangkat ke sawah, sambil
membaca puisi, "siapa bilang tanah kita tanah surga?"
Sore-sore kembali, kau pulang ke rumah, sambil
membaca puisi, "...kayu dan batu bisa disulap jadi tanaman?"
Diam-diam kau suka bangga sendiri dan berkata dalam hati:
Ah, aku sudah menjawab tanya dalam puisiku sendiri....
/2/
Kau paling suka berjalan di pematang. Sebab kau merasa
seperti nyasar sendirian di awan, bung-bunga semangka tanpa biji
di matamu seperti bintang kecil di langit yang biru.
"Oh, indah sekali, siapa yang dulu mengajariku jadi petani...."
Kadang kau merasa seperti sedang melangkah ke gerbang
menuju istana: bunga-bunga ketimun seperti sayap-sayap
kupu-kupu kuning, mengiringmu menjemput permaisuri.
Sebuah kalimat seperti puisi sudah kau persiapkan rapi sekali:
Belahan jiwaku, izinkan aku bertahta di hatimu. "Ah, basa basi..."
katamu dalam hati.
Kau paling suka berjalan di pematang. Sambil menggoda diri
sendiri, melihat tomat-tomat yang segarnya ...ah, seperti
kecurigaan yang makin lama makin kau curigai sendiri:
"Saya kira, Tuhan sedang senang hati ketika menciptakan
buah yang kalau tua merah dan kalau muda hijau ini...."
/3/
Malam hari dia suka mengaso sendiri,
sambil mengenang rasa kopi, mengisi buku diari,
kau menulis harapan: ....ah, seandainya, manusia
semua cukup makan, petani hidup berkecukupan,
anak-anaknya bisa sekolah dan kuliah pertanian,
harga sayuran tidak dipermainkan, pedagang culas
tidak main gula seludupan....
kau juga menulis tentang kenangan:...bertani adalah
memanen matahari - ini definisi atau puisi? kau
bertanya-tanya sendiri - dan semakin lama semakin
arif memahami, benih-benih cinta itu sudah lama
kau semaikan di hati, kini kau membiarkan daunnya
berguguran....ikhlas mendaur ulang diri sendiri.
lalu tersenyum dalam ngelindur tidur:
Tuhan sudah menjawab doaku selama ini....
/1/
Pagi-pagi sekali, kau berangkat ke sawah, sambil
membaca puisi, "siapa bilang tanah kita tanah surga?"
Sore-sore kembali, kau pulang ke rumah, sambil
membaca puisi, "...kayu dan batu bisa disulap jadi tanaman?"
Diam-diam kau suka bangga sendiri dan berkata dalam hati:
Ah, aku sudah menjawab tanya dalam puisiku sendiri....
/2/
Kau paling suka berjalan di pematang. Sebab kau merasa
seperti nyasar sendirian di awan, bung-bunga semangka tanpa biji
di matamu seperti bintang kecil di langit yang biru.
"Oh, indah sekali, siapa yang dulu mengajariku jadi petani...."
Kadang kau merasa seperti sedang melangkah ke gerbang
menuju istana: bunga-bunga ketimun seperti sayap-sayap
kupu-kupu kuning, mengiringmu menjemput permaisuri.
Sebuah kalimat seperti puisi sudah kau persiapkan rapi sekali:
Belahan jiwaku, izinkan aku bertahta di hatimu. "Ah, basa basi..."
katamu dalam hati.
Kau paling suka berjalan di pematang. Sambil menggoda diri
sendiri, melihat tomat-tomat yang segarnya ...ah, seperti
kecurigaan yang makin lama makin kau curigai sendiri:
"Saya kira, Tuhan sedang senang hati ketika menciptakan
buah yang kalau tua merah dan kalau muda hijau ini...."
/3/
Malam hari dia suka mengaso sendiri,
sambil mengenang rasa kopi, mengisi buku diari,
kau menulis harapan: ....ah, seandainya, manusia
semua cukup makan, petani hidup berkecukupan,
anak-anaknya bisa sekolah dan kuliah pertanian,
harga sayuran tidak dipermainkan, pedagang culas
tidak main gula seludupan....
kau juga menulis tentang kenangan:...bertani adalah
memanen matahari - ini definisi atau puisi? kau
bertanya-tanya sendiri - dan semakin lama semakin
arif memahami, benih-benih cinta itu sudah lama
kau semaikan di hati, kini kau membiarkan daunnya
berguguran....ikhlas mendaur ulang diri sendiri.
lalu tersenyum dalam ngelindur tidur:
Tuhan sudah menjawab doaku selama ini....
Tuesday, July 6, 2004
William Ernest Henley (1849-1930)
Oleh Hasan Aspahani
APA yang dilakukan oleh penyair ketika terbaring 20 bulan di rumah sakit? Penyair klasik Inggris William Ernest Henley mengisi waktu menjemukan itu dengan menulis puisi. Tahun-tahun itu antara 1873-1875 syair bebas tak lazim, tapi bentuk itulah yang dipilihnya. Dengan bahasa syairnya yang impresionistis, Henley mencatat dan menanggapi kehidupan di rumah sakit.
Hasilnya? Sebuah buku puisi A Book of Verses (1888), kemudian terbit The Song of the Sword (1892), London Voluntaries(1893), For England’s Sake (1900) dan In Hospital (1903), yang memperkenalkan namanya sebagai penyair besar Inggris.
Dua syairnya yang sangat popular adalah England, My England dan Invictus. Sajak terakhir itu dikenang lewat dua baris termahsyur: Akulah penentu sendiri takdir hidupku;//Bagi jiwa bebasku, akulah nahkodaku.
Selain dikenang sebagai penyair Henley juga seorang penulis, kritikus dan editor. Jurnal yang dikelolanya banyak memperkenalkan karya-karya awal penyair besar di tahun 1890-an.
Henley mengabdikan hidupnya sebagai editor. Termasuk karirnya yang paling cemerlang ketika menjadi editor untuk jurnal Scots Observer of Edinburg sejak tahun 1889. Jurnal tersebut akhirnya beralih markas ke London pada tahun 1891 dan bersalin nama menjadi National Observer. Meski berpandangan politik konservatif, Henley dikenal sangat liberal dalam selera sastra. Di jurnal itulah karya-karya awal Thomas Hardy, George Bernard Shaw, HG Wells, James Barrie, WB Yeats dan Rudyard Kipling bercungulan. Nama-nama itu kemudian mengenang Henley sebagai penyunting yang jeli melihat bakat, mengangkat nama penyair tanpa pilih kasih kecuali kualitas karya. Nalurinya kemudian terbukti benar.
Henley juga cermat menulis tinjauan seni dan literatur yang kemudian dibukukan dalam buku View dan Review (1890). Berkolaborasi dengan sahabat karibnya Robert Louis Stevenson, Henley menulis empat lakon drama. Sang sahabat juga menjadikan Henley sebagai model karakter Long John Silver dalam karyanya Treasure Island. Henley juga bekerja sama J. S. Farmer menyusun Dictionary of Slang and Its Analogues (1894-1904).
Dari mana kepenyairan Henley itu berpunca? Beruntunglah Henley mendapat pendidikan di Crypt School. Di sekolah itu dia terinspirasi mencintai sastra karena kepala sekolahnya dalah penyair Thomas Edward Brown. Henley sejak itu menjadi pegiat sastra yang bersemangat, dan sangat produktif. Mungkin untuk melawan penyakit yang sejak kecil dideritanya. Osteomyelitis --- sejenis tuberkulosis yang menyerang tulang --- penyakit itu, bahkan menyebabkan satu kakinya harus diamputasi.
Bersama T.F. Henderson, Henley menyunting buku peringatan seratus tahun Robert Burns. Henley memberi pengantar biografis atas buku itu. Catatan itu penting sebab Henley memaparkan sisi-sisi liar dalam karakter Burns yang menentang kecenderungan mengidealkan sang penyair yang merebak saat itu.
Tahun-tahun terakhir hidupnya dimurungkan oleh merenggangnya hubungan persahabatannya dengan Stevenson. Dan anak perempuan satu-satunya yang lahir setelah sepuluh tahun perkawinannya pun meninggal mendahuluinya.[hah]
APA yang dilakukan oleh penyair ketika terbaring 20 bulan di rumah sakit? Penyair klasik Inggris William Ernest Henley mengisi waktu menjemukan itu dengan menulis puisi. Tahun-tahun itu antara 1873-1875 syair bebas tak lazim, tapi bentuk itulah yang dipilihnya. Dengan bahasa syairnya yang impresionistis, Henley mencatat dan menanggapi kehidupan di rumah sakit.
Hasilnya? Sebuah buku puisi A Book of Verses (1888), kemudian terbit The Song of the Sword (1892), London Voluntaries(1893), For England’s Sake (1900) dan In Hospital (1903), yang memperkenalkan namanya sebagai penyair besar Inggris.
Dua syairnya yang sangat popular adalah England, My England dan Invictus. Sajak terakhir itu dikenang lewat dua baris termahsyur: Akulah penentu sendiri takdir hidupku;//Bagi jiwa bebasku, akulah nahkodaku.
Selain dikenang sebagai penyair Henley juga seorang penulis, kritikus dan editor. Jurnal yang dikelolanya banyak memperkenalkan karya-karya awal penyair besar di tahun 1890-an.
Henley mengabdikan hidupnya sebagai editor. Termasuk karirnya yang paling cemerlang ketika menjadi editor untuk jurnal Scots Observer of Edinburg sejak tahun 1889. Jurnal tersebut akhirnya beralih markas ke London pada tahun 1891 dan bersalin nama menjadi National Observer. Meski berpandangan politik konservatif, Henley dikenal sangat liberal dalam selera sastra. Di jurnal itulah karya-karya awal Thomas Hardy, George Bernard Shaw, HG Wells, James Barrie, WB Yeats dan Rudyard Kipling bercungulan. Nama-nama itu kemudian mengenang Henley sebagai penyunting yang jeli melihat bakat, mengangkat nama penyair tanpa pilih kasih kecuali kualitas karya. Nalurinya kemudian terbukti benar.
Henley juga cermat menulis tinjauan seni dan literatur yang kemudian dibukukan dalam buku View dan Review (1890). Berkolaborasi dengan sahabat karibnya Robert Louis Stevenson, Henley menulis empat lakon drama. Sang sahabat juga menjadikan Henley sebagai model karakter Long John Silver dalam karyanya Treasure Island. Henley juga bekerja sama J. S. Farmer menyusun Dictionary of Slang and Its Analogues (1894-1904).
Dari mana kepenyairan Henley itu berpunca? Beruntunglah Henley mendapat pendidikan di Crypt School. Di sekolah itu dia terinspirasi mencintai sastra karena kepala sekolahnya dalah penyair Thomas Edward Brown. Henley sejak itu menjadi pegiat sastra yang bersemangat, dan sangat produktif. Mungkin untuk melawan penyakit yang sejak kecil dideritanya. Osteomyelitis --- sejenis tuberkulosis yang menyerang tulang --- penyakit itu, bahkan menyebabkan satu kakinya harus diamputasi.
Bersama T.F. Henderson, Henley menyunting buku peringatan seratus tahun Robert Burns. Henley memberi pengantar biografis atas buku itu. Catatan itu penting sebab Henley memaparkan sisi-sisi liar dalam karakter Burns yang menentang kecenderungan mengidealkan sang penyair yang merebak saat itu.
Tahun-tahun terakhir hidupnya dimurungkan oleh merenggangnya hubungan persahabatannya dengan Stevenson. Dan anak perempuan satu-satunya yang lahir setelah sepuluh tahun perkawinannya pun meninggal mendahuluinya.[hah]
Monday, July 5, 2004
Vita Nuova*
Oscar Wilde
Berdiri, bersisi laut yang tak tertebak, hingga
basah ombak memercik menguyupi rambut dan wajah;
Merah api memanjang dari hari yang mati
terbakar di barat; angin mengalir suram sendiri;
Burung camar hingar meninggalkan daratan:
"Duh!" aku berseru, "nestapa memenuhi hidupku,
Lalu siapa bisa menyimpan buah atau bijih emas
dari padang kosong ini gigih kerja takterhentikan!"
Jaringku menganga karena robek dan koyak,
Tidak kulemparkan juga, perjudian terakhir,
ke laut itu, lalu menanti apa yang terjadi.
Dan, tiba tiba-tiba, keberuntungan seketika!
Air yang hitam kulihat: siksa masa laluku
Belimpahan kilatan putih cecabang menaik mendaki!
* Hidup Baru (Bhs. Italia)
Vita Nuova
I stood by the unvintageable sea
Till the wet waves drenched face and hair with spray;
The long red fires of the dying day
Burned in the west; the wind piped drearily;
And to the land the clamorous gulls did flee:
'Alas!' I cried, 'my life is full of pain,
And who can garner fruit or golden grain
From these waste fields which travail ceaselessly!'
My nets gaped wide with many a break and flaw,
Nathless I threw them as my final cast
Into the sea, and waited for the end.
When lo! a sudden glory! and I saw
From the black waters of my tortured past
The argent splendour of white limbs ascend!
Berdiri, bersisi laut yang tak tertebak, hingga
basah ombak memercik menguyupi rambut dan wajah;
Merah api memanjang dari hari yang mati
terbakar di barat; angin mengalir suram sendiri;
Burung camar hingar meninggalkan daratan:
"Duh!" aku berseru, "nestapa memenuhi hidupku,
Lalu siapa bisa menyimpan buah atau bijih emas
dari padang kosong ini gigih kerja takterhentikan!"
Jaringku menganga karena robek dan koyak,
Tidak kulemparkan juga, perjudian terakhir,
ke laut itu, lalu menanti apa yang terjadi.
Dan, tiba tiba-tiba, keberuntungan seketika!
Air yang hitam kulihat: siksa masa laluku
Belimpahan kilatan putih cecabang menaik mendaki!
* Hidup Baru (Bhs. Italia)
Vita Nuova
I stood by the unvintageable sea
Till the wet waves drenched face and hair with spray;
The long red fires of the dying day
Burned in the west; the wind piped drearily;
And to the land the clamorous gulls did flee:
'Alas!' I cried, 'my life is full of pain,
And who can garner fruit or golden grain
From these waste fields which travail ceaselessly!'
My nets gaped wide with many a break and flaw,
Nathless I threw them as my final cast
Into the sea, and waited for the end.
When lo! a sudden glory! and I saw
From the black waters of my tortured past
The argent splendour of white limbs ascend!
GEMA-GEMA
Sajak William Ernest Henley
II
Hidup itu getir. Menantang seluruh tahun-tahun,
Muda dan renta, mengelam oleh gigihkerja dan airmata.
Haruskah berjaga hanya untuk kerja, letih lalu tersedu?
Pada matahari, di antara dedauan, pada bunga-bunga,
Terlelap diam, impian maut , saat-saat memberat...
Tabik, izinkan aku tidur.
Si kaya menang memperolok si tua, tahun tak berdaya;
Si mahsyur mutiara sembunyi di laut airmata;
Cinta mesti memudar juga, atau hidup sendiri dan nelangsa.
Di sinar matahari, menembus dedaunan, melintasi bunga,
Ketika kita lelap, maut mendekat menembus waktu....
Tabik, izinkan aku tidur.
ECHOES
II
Life is bitter. All the faces of the years,
Young and old, are grey with travail and with tears.
Must we only wake to toil, to tire, to weep?
In the sun, among the leaves, upon the flowers,
Slumber stills to dreamy death the heavy hours . . .
Let me sleep.
Riches won but mock the old, unable years;
Fame's a pearl that hides beneath a sea of tears;
Love must wither, or must live alone and weep.
In the sunshine, through the leaves, across the flowers,
While we slumber, death approaches though the hours! . . .
Let me sleep.
1872
Sajak William Ernest Henley
II
Hidup itu getir. Menantang seluruh tahun-tahun,
Muda dan renta, mengelam oleh gigihkerja dan airmata.
Haruskah berjaga hanya untuk kerja, letih lalu tersedu?
Pada matahari, di antara dedauan, pada bunga-bunga,
Terlelap diam, impian maut , saat-saat memberat...
Tabik, izinkan aku tidur.
Si kaya menang memperolok si tua, tahun tak berdaya;
Si mahsyur mutiara sembunyi di laut airmata;
Cinta mesti memudar juga, atau hidup sendiri dan nelangsa.
Di sinar matahari, menembus dedaunan, melintasi bunga,
Ketika kita lelap, maut mendekat menembus waktu....
Tabik, izinkan aku tidur.
ECHOES
II
Life is bitter. All the faces of the years,
Young and old, are grey with travail and with tears.
Must we only wake to toil, to tire, to weep?
In the sun, among the leaves, upon the flowers,
Slumber stills to dreamy death the heavy hours . . .
Let me sleep.
Riches won but mock the old, unable years;
Fame's a pearl that hides beneath a sea of tears;
Love must wither, or must live alone and weep.
In the sunshine, through the leaves, across the flowers,
While we slumber, death approaches though the hours! . . .
Let me sleep.
1872
GEMA-GEMA
Sajak William Ernest Henley
X
Laut penuh seluruh busa yang melayah jauh,
Langit dikepung awan berlarian;
Ada yang tak berhenti di benakku, menjelajah...
Malam pun gelap, malam pun hingar.
Mana saat-saat yang datang kepadaku
saat yang indah, saat yang cerah?
Angin liar mengguncang laut terlebih liar....
O, gelapnnya, O hingarnya malam!
1876
ECHOES
X
The sea is full of wandering foam,
The sky of driving cloud;
My restless thoughts among them roam . . .
The night is dark and loud.
Where are the hours that came to me
So beautiful and bright?
A wild wind shakes the wilder sea . . .
O, dark and loud's the night!
1876
Sajak William Ernest Henley
X
Laut penuh seluruh busa yang melayah jauh,
Langit dikepung awan berlarian;
Ada yang tak berhenti di benakku, menjelajah...
Malam pun gelap, malam pun hingar.
Mana saat-saat yang datang kepadaku
saat yang indah, saat yang cerah?
Angin liar mengguncang laut terlebih liar....
O, gelapnnya, O hingarnya malam!
1876
ECHOES
X
The sea is full of wandering foam,
The sky of driving cloud;
My restless thoughts among them roam . . .
The night is dark and loud.
Where are the hours that came to me
So beautiful and bright?
A wild wind shakes the wilder sea . . .
O, dark and loud's the night!
1876
Sunday, July 4, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal L
linang : aku mencari makna itu di matamu;
      aku menemukan makna kata itu ketika
      kau menahan isak dan kudengar --- "Lihat!
      aku tak menangis, bukan?" kau menggigiti bibir,
      membikin semacam senyum, aku mengangguk
      dan semakin percaya pada bahasa air mata.
lindih : semuanya lalu serata hamparan senyap sepi,
      ditindih duka digilas nyeri diburu keinginan-keinginan
      yang hanya mengenal sejenak jeda, sejenak koma;
      Aku berusaha mengerti, maka kubilang, "Ya,......"
      Kau tak ingin memaksa diri, lalu berkata, "Tapi...."
      Lalu kita berjalan bersama dengan arah yang berbeda,
      di antaranya jarak makin tabah mendengar keluh langkah.
lintuh : sejauh ini, sudah aku berlari; mencari makna
      pada apa yang bahkan tak aku tahu adakah atau entah;
      sejauh ini, sudah aku kehilangan satu per satu kekuatan,
      sejauh ini, sudah aku akhirnya hanya semakin fasih
      membaca dongeng pada jejak-jejak sendiri. Letih sendiri.
licak : pada akhirnya, hanya padang lumpur semata kaki,
      selapis pasir menajam terasah telapak kita sendiri;
      aku tergelincir berkali-kali, dan semakin mengerti
      -- kenapa dulu kau relakan saja aku pergi. Sendiri.
      aku menemukan makna kata itu ketika
      kau menahan isak dan kudengar --- "Lihat!
      aku tak menangis, bukan?" kau menggigiti bibir,
      membikin semacam senyum, aku mengangguk
      dan semakin percaya pada bahasa air mata.
lindih : semuanya lalu serata hamparan senyap sepi,
      ditindih duka digilas nyeri diburu keinginan-keinginan
      yang hanya mengenal sejenak jeda, sejenak koma;
      Aku berusaha mengerti, maka kubilang, "Ya,......"
      Kau tak ingin memaksa diri, lalu berkata, "Tapi...."
      Lalu kita berjalan bersama dengan arah yang berbeda,
      di antaranya jarak makin tabah mendengar keluh langkah.
lintuh : sejauh ini, sudah aku berlari; mencari makna
      pada apa yang bahkan tak aku tahu adakah atau entah;
      sejauh ini, sudah aku kehilangan satu per satu kekuatan,
      sejauh ini, sudah aku akhirnya hanya semakin fasih
      membaca dongeng pada jejak-jejak sendiri. Letih sendiri.
licak : pada akhirnya, hanya padang lumpur semata kaki,
      selapis pasir menajam terasah telapak kita sendiri;
      aku tergelincir berkali-kali, dan semakin mengerti
      -- kenapa dulu kau relakan saja aku pergi. Sendiri.
[Tentang Puisi] Momen Penyair, Lelehan Puisi
PENYAIR itu seperti pelempar bola bisbol. Keduanya menunggu momen yang tepat. Selang waktu sebelum momen itu sesuatu yang teramat sulit.
SEPERTI sebongkah es di atas kompor panas, puisi harus berlari mengapung di atas lelehan dirinya sendiri.
* Robert Frost
[Tentang Puisi] ...yang Diam Dibisikkan
APA yang saya sukai dari pengarang yang baik bukan apa yang mereka katakan, tetapi apa yang diam-diam dia bisikkan.
* Logan Pearsall Smith
[Tentang Puisi] ...yang Melampaui Logika
ADA sesuatu tentang puisi yang melampaui logika prosa, ada misteri disitu, misteri yang bukan untuk dijelaskan tetapi untuk dikagumi.
* Edward Young.
APA yang saya sukai dari pengarang yang baik bukan apa yang mereka katakan, tetapi apa yang diam-diam dia bisikkan.
* Logan Pearsall Smith
[Tentang Puisi] ...yang Melampaui Logika
ADA sesuatu tentang puisi yang melampaui logika prosa, ada misteri disitu, misteri yang bukan untuk dijelaskan tetapi untuk dikagumi.
* Edward Young.
Friday, July 2, 2004
Sebelum 5 Juli Tahun Ini
podium sudah kosong, panggung telah ditinggalkan,
jam kosong kosong waktu Indonesia bukan bagian kita
sepi dan gelap berdebat, dingin menyela sesekelebat
ada yang benar-benar minta diingat: serangkaian jikalau,
sebarisan andaikata, sepasukan rayuan, dan janji-janji
yang mengeras menjadi tulang, tajam terasah lidah,
kelak menusuk jantungmu, apabila hendak menolak!
sepi dan gelap berdebat, dingin menyela sesekelabat
jam kosong kosong waktu Indonesia menjadi bagian kita,
podium sudah disiapkan, kursi di panggung bersedia..
jam kosong kosong waktu Indonesia bukan bagian kita
sepi dan gelap berdebat, dingin menyela sesekelebat
ada yang benar-benar minta diingat: serangkaian jikalau,
sebarisan andaikata, sepasukan rayuan, dan janji-janji
yang mengeras menjadi tulang, tajam terasah lidah,
kelak menusuk jantungmu, apabila hendak menolak!
sepi dan gelap berdebat, dingin menyela sesekelabat
jam kosong kosong waktu Indonesia menjadi bagian kita,
podium sudah disiapkan, kursi di panggung bersedia..
Subscribe to:
Posts (Atom)