Oleh Hasan Aspahani
Acep Iwan Saidi pasti bukan sembarang orang. Dia pasti bukan juru peta gadungan, dan pasti bukan tukang sulap pinggir jalan. Ia dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia juga anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. Itulah keterangan di bawah namanya, tercantum di tulisannya.
Tetapi, lihatlah, orang sekualifikasi dia pun tak sanggup memahami sajak-sajak Nirwan Dewanto. Bacalah tulisannya di Kompas, Minggu, 14 Desemper 2008 "Mitos Bara Biru Nirwan Dewanto". Acep menutup tulisannya dengan kalimat begini: ...Kapankah pembaca seperti saya bisa memahami hamparan estetika tersebut? Barangkali kelak (HAH: Artinya sekarang belum!), setelah ujaran ND itu menjadi penanda yang menancap di sebuah anak tangga (HAH: Kapankah itu?).
Acep melanjutkan kesimpulannya, ... melalui Jantung Lebah Ratu ND tampak tengah mencipta mitos lain pada bahasa. Karena itu, dibutuhkan pengujaran yang terus-menerus (HAH: Oleh siapa? Dan bagaimana caranya, serta untuk apa?) sehingga menjadi seperangkat linguistik yang socialized. Dengannya kemudian kita tidak perlu lagi bertanya, mengapa bara itu biru, tak lagi merah menyala api!
Kalaulah itu syarat untuk sampai pada pemahaman atas sajak Nirwan, maka menurut saya, siapapun tidak akan pernah sampai, artinya sajak Nirwan "yang polos itu" tidak akan pernah terpahami. Kenapa?
Sebentar saya akan jelaskan, setelah saya lari sebentar ke hal lain. Cara Acep menyimpulkan bacaannya atas sajak Nirwan mengingatkan saya kesimpulan A. Teeuw atas sajak mantera Sutardji Calzoum Bachri ("Tergantung pada Kata", Pustaka Jaya, 1980). Bila Nirwan di mata Acep sedang menawarkan mitos lain pada bahasa, Sutardji kata Teeuw sedang merombak konvensi bahasa. Sampai akhirnya, Teeuw pun pasrah, baginya konvensi pribadi Sutardji akan sampai pada dua kemungkinan: diterima dan diwajarkan menjadi unsur bahasa, atau akan hilang sebagai angin lalu, setelah memberi kesegaran sebentar sebagai apa yang ia sebut fashion sastra!
Apa yang terjadi kini atas sajak-sajak Sutardji setelah 28 tahun "ramalan" Teeuw itu? Kedua kemungkinan yang ia sebutkan tidak terjadi. Bak pakaian, sajak Sutardji tidak menjadi pakaian kita sehari-hari, karena memang bukan untuk itu ia dirancang oleh si penyair. Sutardji menurut saya merancang dan membuat pakaian penobatannya sendiri, pakaian kebesaran.
Tetapi sajak Sutardji juga tidak berlalu sebagai fashion sastra, hanya sedap dipandang saat dilenggak-lenggokkan di panggung, lalu berlalu begitu saja. Sutardji tidak hendak bikin tren sesaat untuk ramai-ramai diekori, tetapi dengan amat sadar - baca kredonya yang jelas tegas itu - ia telah menawarkan sebuah karya puncak.
Saya tak dapat membayangkan bagaimana caranya "mitos-mitos" (seperti ditemukan Acep) yang ditawarkan Nirwan dalam sajak-sajaknya dipakai terus-menerus lalu menjadi sebuah kewajaran.
Apa yang ditawarkan Nirwan sejak awal sudah ditolak. Ia tidak percaya pada kemampuan pembaca sajak-sajaknya (baca tulisan saya 13 Cara Membaca Sajak Nirwan). Lagi pula siapa dan bagaimana caranya "mewajarkan" bahwa "bara itu biru"? Dengan cara menyebutnya terus-menerus? Aneh, sungguh aneh. Kita kelak mungkin tidak akan bertanya lagi tentangnya, bukan karena kita menerima, tapi karena kita sudah lupa. Artinya, sajak Nirwan tidak akan pernah dipahami. Untuk itu saya berani mempertaruhkan reputasi saya sebagai Juru Peta Gadungan, Tukang Sulap Tepi Jalan, dan (Aha! Ada satu lagi gelar kebanggaan saya) Penyebar Kebodohan di Milis-milis!
Dalam tulisannya di halaman Facebook-nya, Nirwan menegur orang yang entah siapa yang berkecenderungan melakukan - apa yang baru saya dengar dari dia - "name dropping", yakni mengutip sejumlah pendapat dari sejumlah nama untuk menguliti sajak-sajak - atau apapun namanya - di buku Nirwan.
Tapi apa daya, dengan tujuan yang beda, Acep, di tulisannya, pun melakukan hal yang sama. Baiklah, kita hargai upayanya untuk menempuh jalan berliku agar bisa memahami sajak Nirwan. Di enam alinea pertama Acep sudah mengutip Barthes, Berg, dan Louis Althusser. Dan di ujung tulisan Umberto Eco pun hadir. Itulah jalan yang disebut Acep ia pakai untuk mendekati sajak-sajak Nirwan. Meskipun hasilnya, Acep akhirnya sadar ia tak kunjung bisa mendekat. Ia sadar ia telah gagal. Satu-satunya hal yang bisa saya simpulkan dari tulisan Acep adalah betapa beban bayang-bayang Nirwan akan semakin panjang dan berat.