Salam sejahtera, Tuan Nirwan. Jangan terkejut atas surat ini. Saya merasa perlu membalas surat kertas hijau lumut yang Tuan tulis itu. Meskipun saya tahu itu tidak ditujukan pada saya. Saya merasa ada beberapa bagian yang ada kena mengena dengan saya, dan karena itu saya harus membalasnya. Anggap saja saya ini kegeeran saja. Besar kepala.
Di surat itu Tuan bilang agar diri Tuan dan tulisan-tulisan Tuan jangan dilebih-lebihkan. Tuan tampaknya jengkel diberi julukan macam-macam. Tuan merasa aneh sebab Tuan mengaku Tuan sendiri suka meremehkan diri-sendiri, tetapi orang lain menganggap diri Tuan begitu penting. Saya termasuk orang yang menganggap Tuan adalah orang penting. Nama Tuan dulu melejit bak komet, dan saya membaca kabar Tuan dengan kagum campur bangga. Intelektual muda, itulah dulu yang kami bayangkan tentang Tuan. Dan itulah kenyataannya bukan? Baru-baru ini Majalah Tempo mendaftar makalah Tuan sebagai salah satu dari 100 naskah penting dalam sejarah negeri ini. Wah, itu luar biasa, lo, TUan. Cemerlang, dan saya yang masih amat muda kala itu jadi punya harapan dan semangat untuk menggosok diri juga agar bisa secemerlang Tuan.
Tuan kok mengelak dari sebuan kritikus sastra? Saya termasuk orang yang menganggap Tuan begitu. Saya mengikuti analisa-analisa tuan di surat kabar dan majalah. Seringkali Tuan menulis di edisi akhir tahun Kompas atau majalah Tempo. Saya menjadikan analisa Tuan itu sebagai rujukan. Apakah kini sebutan itu jadi beban? Kenapa Tuan menolak sebutan itu sekarang?
Nama Tuan memang menjulang tinggi. Dan karena tuan berada di pentas utama sastra di negeri ini, lalu disorot oleh puluhan lampu, maka bayang-bayang Tuan pun menjadi panjang, amat panjang, bahkan bercabang-cabang, membayang ke berbagai arah. Ini risiko Tuan. Saya kira Kompas dan Tempo tidak sedang mengejek Tuan ketika mereka meminta Tuan menulis tinjauan untuk diterbitkan, kan?
Tuan, bahkan di surat Tuan itu saya masih menemukan banyak hal untuk saya jadikan pedoman. Misalnya di situ Tuan bilang., "...Sebab puisi itu kerap menjadi topeng belaka bagi ketidakmampuan menulis." Nah, bagaimana Tuan mau mengelak dari kenyataan bahwa Tuan adalah nama penting, menjulang dan berbayang-bayang panjang di negeri ini? Tapi, baiklah, saya menunggu saja bila Tuan jelaskan kenapa Tuan mengelak dari sebutan kritikus.
Saya, hakkulyakin, adalah dua jenis pembaca yang Tuan sebut itu. Saya adalah juru peta gadungan sekaligus tukang sulap pinggir jalan. Maka, kitab sajak Tuan yang Tuan bilang polos itu pun tak sanggup saya baca. Nyatanya, kitab itu kita tahu nasibnya cemerlang, dan saya jadi belajar membacanya lagi. Jangan-jangan ada yang tak betul dalam proses belajar saya mendalami puisi selama ini. Jangan-jangan saya cuma sok tahu, dan Tuan, saya bahkan sedang berusaha menolkan pengetahuan saya lalu mulai belajar ladi. Sungguh. Sebelumnya entah kenapa dengan serta-merta saya teringat dengan apa-apa yang Tuan tuliskan dulu di tulisan-tulisan penting itu, saat membaca sajak di buku Tuan yang polos itu.
Saya menemukan petuah penting lagi di surat Tuan. Tuan bilang, "Jangan meliuk-liuk, kalau Tuan belum bisa nulis kalimat yang biasa-biasa saja." Nah, bagaimana saya tidak menganggap Tuan penting?
Sesungguhnya saya sedih membaca surat Tuan. Tuan tampak sedih di surat itu. Tuan seperti menyandang beban berat dan ingin lepas dari beban itu. Saya jadi seperti membaca sambil diiringi lagu Slank "Bimbim, Bimbim Jangan Menangis". Dengan maaf pada mereka saya ingin juga mengutip judul itu seraya menggantikan dengan nama Tuan: "Nirwan, Nirwan Jangan Menangis". Jangan menangis, ya, Tuan...
Salam dari Batam,
Hasan Aspahani