Sunday, March 19, 2006

Tiga Surat untuk Ibu Pengasuh
Rubrik Konsultasi Psikologi


1. KENAPA saya tak pernah bisa lagi menandai waktu-
waktu, Bu? Hari-hari terasa berhenti. Saya lihat kalender
hanya mencantumkan angka-angka nol dan nama-nama
hari yang tak penah saya kenali. Kenapa saya tak bisa
membedakan pagi, siang, petang, dan atau malam, Bu?
Kenapa waktu seperti berhenti, saya hanya merasakan
alam raya mengembang bersama saya. Semuanya
semakin nisbi, saya risau. Saya pernah menduga waktu
sudah mati, Bu. Alam raya kita akan jadi abadi. Saya
mengira - kalau pun tidak mati - waktu sudah sangat
letih, Bu. Saya jadi tak ingin melakukan apa-apa, Bu.
Saya merasa tak akan pernah mati. Saya merasa tidak
apa-apa menunda segalanya, toh segalanya tak akan pernah
pergi ke mana-mana? Segalanya terasa akan baka, Bu.
Saya tersiksa sekali, Bu. Saya paksakan diri saya untuk
menulis surat ini, setelah sekian lama menunda. Setelah
saya tulis pun saya malas sekali untuk mengirimkannya.
Kalau orang-orang lain ingin segera dapat jawaban, saya
sama sekali tidak punya keinginan itu, Bu.

2. KENAPA saya mual setiap kali bertemu huruf, Bu? Huruf
apa saja yang saya lihat bisa membuat perut saya bagai
dicahar. Padahal di kota besar seperti kota kita ini, mana
bisa kita tak berpapasan dengan huruf kan? Di kiri kanan
jalan tol ada baliho reklame, di jembatan penyeberangan
ada papan iklan, di baju kaus ada kata semboyan. Kata ibu
saya, saya sudah bisa membaca sejak lahir, Bu. Sebelum
saya bisa bicara. Apakah karena itu, Bu? Saya pernah
membuat huruf untuk saya sendiri, Bu. Huruf yang hanya
melambangkan bunyi yang saya mengerti sendiri. Bu, saya
selalu membayangkan hidup di sebuah tempat di mana
tak ada sehuruf pun tertulis di sana. Saya bayangkan di sana
kita akan berbahagia. Tapi, adakah tempat seperti itu,
Bu? Saya tersiksa sekali selama menulis surat ini, Bu. Tak
usah menjawab, Bu, saya mungkin tak akan sanggup lagi
membaca.

3. SAYA ingin sekali bisa sembunyi, Bu. Saya ingin hidup
sendiri. Saya ingin tidak bertemu siapa-siapa, Bu. Saya
ingin segalanya diatur sehingga saya bisa menerima
surat kabar, bahan makanan, tisu, tanpa harus menelepon
atau bertemu siapa pun. Saya percaya semuanya bisa beres
cukup dengan satu deret nomor rekening, dan ada sebuah
kartu yang bisa mengurus segalanya. Saya ingin kalau saya
sakit, misalnya, saya bisa mendiagnosa sendiri apa sebabnya.
Bukankah ada petunjuk untuk keperluan apa saja? Bukankah
memang itu gunanya buku-buku itu ditulis, Bu? Saya tidak
percaya sama orang lain. Saya percaya ada sebuah sistem
yang Mahasistem. Saya percaya semuanya bisa diatur sempurna.
Mungkin Ibulah orang terakhir yang saya percaya. Makanya
saya tulis dan kirim surat ini, Bu.