Sunday, March 12, 2006

Ke Medan dan Banyak Kemudian

      INI cuma sekejap kerjap, sesinggah langkah,
ia begitu terpesona dengan banyak kemudian.

      TAKDIR adalah tabir. Yang menyibak sendirian.
Telah ada panitia resmi, ada yang menguruskan,
seminar kehidupan, biro perjalanan, seperti
bagasi yang ia tunggu di ruang kedatangan.
Lalu lewat huruf yang berlari di layar televisi
ia dengar kabar bandara itu terbakar. Di kamar
hotel ia menyimpulkan: Ah, tengoklah, betapa
aku telah diselamatkan oleh sebuah kemudian.

      INI cuma sebentar antar, cuma sekerlip kerdip,
ia begitu percaya dengan banyak kemudian.

      NASIB adalah nasab. Yang menjumlah sendirian.
Ada yang sudah seperti itu saja: operasi aritmatika.
Kalkulator dengan tombol-tombol tak bernomor.
Ia hanya melihat angka-angka di layar monitor.
"Kami sudah kirim semuanya ke rekening Anda,
beritahu saja kalau sudah Anda manfaatkan,"
kata sebuah pesan. Dia balas saja sesegeranya
lewat surat elektronika: Wah, lihatlah, betapa
aku kini begitu percaya pada banyak kemudian.

      INI cuma sesakit secubit, setusuk ke rusuk,
ia begitu tersiksa dengan banyak kemudian.

      LANGKAH adalah tanda pangkah. Di formulir
petualangan. Pijak yang jadi jejak. "Adakah tabah
pada tubuh yang sisa darah? Atau telah menanah?"
Ia dengar gema, jazz mengapungi Selat Malaka,
deretan toko-toko menawarkan bika, aroma yang
menunjuk lorong pulang, artinya ke lolong panjang,
Sebab istana tak lagi menyimpan rempah. Ia tak
singgah, ia tak singgah. Hanya ingin ada sempat
menyimpulkan: Duh, bantulah, betapa aku kini,
kaki menjerat kaki, hati menambat hati, tersiksa
oleh yang tak tertebak kemudian.