SEBAB puisi, "serpihan" dari hidup ini, barangkali akan ada harganya dengan lebih menyadarkan kita, bahwa kita bukanlah cuma sebuah jendela yang menangkap satu lanskap di luar sana.
* Goenawan Mohamad, Puisi yang Berpijak di Bumi Sendiri (27 April 1960) dalam buku Kesusasteraan dan Kekuasaan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.
PUISI dimulai dengan semangat dan kerinduan, dan berakhir dengan kerendahan hati. Mereka yang mencipta dengan sungguh-sungguh tahu bahwa kesenian merupakan merupakan usaha yang tak putus-putusnya. Jika seni merupakan proses dialektik -- manusia di satu pihak dan realitas di pihak lain -- dialektik itu tak kunjung habis. Hasil seni tak pernah sempurna, meskipun ia selalu ingin demikian.
* Goenawan Mohamad, Manakah yang Lebih Indah (29 Nopember 1963) dalam buku Kesusasteraan dan Kekuasaan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.
DI Indonesia, di mana pedusunan terbentang seperti laut dan kota-kota hanya pulau yang terserak-serak -- titik-titik merah yang ganjil pada peta -- penyair justru tidak datang ke desa-desa dan desa-desa tidak datang kepada para penyair. Kepenyairan hanyalah posisi yang tak jelas dari orang-orang kota.
* Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang dalam buku Kesusasteraan dan Kekuasaan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.