I. Bukan Sekadar Pengantar
1. Wow, judul buku ini puitis juga ya?
Bagus, saya suka pertanyaan pertama ini. Kalau kamu bisa merasakan ada yang puitis pada sesuatu yang bukan puisi, itu pertanda kamu peka. Dan kepekaan rasa itu penting ketika bersuka-suka dengan puisi. Kepekaan itu penting untuk menikmati puisi. Menikmati dalam arti membacanya dan terlebih lagi menuliskannya.
2. Ya. Saya memang hendak menikmati puisi. Saya hendak menjadi pembaca puisi yang baik dan menulis puisi yang hebat. Saya harus mulai dari mana?
Sekali lagi saya harus mengucapkan: bagus! Niatmu hendak membaca dan menulis puisi itu sekaligus juga petunjuk bagimu. Ya, mulailah dengan membaca dan menulis puisi. Jangan tanya saya di mana kamu bisa dapat puisi. Karena saya akan menjawabnya tanpa kamu tanya. Kamu bisa beli surat kabar Minggu yang banyak memberi tempat khusus untuk puisi. Kamu bisa pinjam di perpustakaan terdekat. Kamu juga bisa berseluncur di internet. Atau kalau punya anggaran, belilah buku puisi.
3. Itu saja?
Kamu juga bisa pinjam buku temanmu. Atau mencuri buku seperti Chairil Anwar. Tapi ingat, dulu toko buku tidak dilengkapi kamera pengintai. Saya tidak mengajarimu menjadi pencuri. Saya menyebut Chairil yang mencuri itu bukan sebagai contoh sebuah tindak kriminal. Chairil mencuri karena ia pembaca yang rakus. Ia tidak bisa menahan diri untuk menunda membaca. Ia tak bisa dihalangi oleh kenyataan bahwa dompet dan sakunya sedang kosong. Itu yang harus kamu tiru. Semangat membacanya itu.
4. Baiklah, saya akan menjadi pembaca puisi yang rakus. Bagaimana dengan menulis puisi? Adakah jaminan saya akan jadi penulis yang bagus kalau sudah membaca banyak puisi?
Sabar, ini baru pengantar. Tapi, saya ingin mengingatkan kamu: luruskan dulu niatmu. Kamu kan ingin menikmati puisi? Ini penting. Lebih penting daripada keinginanmu menjadi penulis puisi atau penyair yang hebat. Jadi jangan menuntut garansi apa-apa. Jangan minta jaminan kalau kamu sudah membaca puisi yang baik dan banyak, maka kamu akan jadi penulis puisi yang baik. Meskipun ada hubungan antara si penyebab dan si terakibat di situ. Kalaupun kamu nanti tidak menulis puisi, kamu kan juga bisa jadi penelaah puisi yang tajam, jadi pengamat puisi yang jeli, jadi pemeta puisi yang teliti, jadi pembedah puisi yang piawai. Semuanya menjanjikan kenikmatan. Syukur kalau nanti bisa juga membagi-bagi kenikmatan itu pada orang lain.
5. Iya, ya. Tapi, jangan marah begitulah. Tidak puitis, he he he….
Siapa bilang? Puisi juga bisa lahir dari rasa marah.
6. Oh, ya?
Ya, tapi kita omongkan itu nanti. Pengantar ini cukup sampai di sini.