Sunday, March 26, 2006

[Ruang Renung # 137] Tanda Kurung dan Garis Miring


PENYAIR adalah dia yang senantiasa berdiri di pojok tikungan bahasa itu. Tikungan yang penuh bahaya itu. Kenapa? Karena setiap bahasa memiliki tanda kurung dan garis miring. Itulah bahayanya. Itulah risiko orang yang sadar memilih tempat bediri di pojok tikungan bahasa.

KENAPA penyair memilih berdiri di tempat itu? Karena ada engkau yang berusaha menegakkan menara cahaya. Bila segalanya terang benderang, seperti dalam bahasa yang bukan sajak, penyair tak lagi menemukan gairah, tak lagi menemukan gelora bahasa. Karena itu ia lebih memilih menunggu di pojok tikungan bahasa, karena ia tahu di balik garis miring, ada seribu tanda kurung masih menunggu.

BAHKAN di gelora magma bahasa, penyair tak akan juga terbakar. Karena batu bahasa yang dipanas-panaskan hingga mencair menjadi magma yang menggelora, bagi penyair ternyata tak lebih panas daripada letik api sajak. Karena itu, penyair lebih memilih menyergap bayang-bayang yang patah warna. Karena ia tahu bahwa di pojok tikungan bahasa, tempat ia menunggu, ia sedang mendaki garis miring dalam tanda kurung.

ADA tanda ku rung di balik garis miring. Ada garing miring dalam tanda kurung. Garis miring dan tanda kurung, keduanya tanda baca yang tentu saja akrab dengan kita, menjadi metafor yang saya kira khas Jamal D Rahman. Setidaknya dalam sajak "Penyair di Balik Tikungan" ini. Sajak yang termuat dalam buku "Reruntuhan Cahaya" (Bentang, Yogyakarta, 2003) ini amat layak diperbincangkan dan direnungkan. Tiga alinea di atas adalah hasil renungan saya atas puisi itu, dan hasil perbincangan saya dengan puisi itu. Juga dua alinea berikut ini.

Kenapa garis miring? Garis miring adalah sebuah tanda pengatau. Sebuah tawaran untuk memilih. Sebuah alternatif yang bisa x dan bisa y. Garis miring adalah juga pembagi. Puisi sejatinya juga adalah sebuah garis miring. Kalau orang yang bukan penyair melihat x, maka penyair dengan puisinya bisa memberi sebuah atau yang lain. Sebuah y. Ketika makna hidup terlalu berat untuk direngkuh seluruhnya, maka penyair dengan puisinya yang bagai garis miring, membagi-bagi keseluruhan makna itu kedalam pemaknaan-pemaknaan kecil yang lebih punya daya sentuh.

Kenapa tanda kurung? Hakikatnya, tanda ini dipakai untuk membuat kesimpulan-kesimpulan kecil dalam sebuah perjalanan kalimat. Ia juga bisa diisi dengan semacam peringatan ringan agar kalimat-kalimat yang sedang berjalan tidak menyesatkan kita yang mengikutinya. Tanda kurung dengan demikian adalah metafora yang pas untuk puisi dalam kehidupan dan dalam bahasa.[]