Monday, March 13, 2006

Tiba-tiba Aku Amat Curiga Kau Sedang
Bersiasat Menyusun Sejumlah Tiba-tiba


Puisi Resensi Puisi Oleh Hasan Aspahani

Judul: Hujan Rintih-tintih
Penulis: M Aan Mansyur
Penerbit: Ininnawa, Makassar
Cetakan Pertama, Januari 2005

    AKU sedang dan selalu menunggu di rumah bersalin puisi,
tempat yang cemas dan nyaman menunggu harapan. --- rumah sakit yang
kubangun lama dengan cinta, dengan rindu -- ketika sebuah buku
datang, mengandung 45 puisi, dan setelah itu aku harus segera
ke kantor catatan sipil membuat akte kelahiran, di mataku lahirlah
engkau: Penyair M Aan Mansyur. Kelahiran yang sebenarnya
telah lama diramalkan. Aku seperti mengikutinya sejak datang bulan
terakhir perempuan yang mengandungnya.

    SEBUAH buku datang, membawa 45 puisimu. Aku percaya kau
telah mengandungnya cukup bulan. Kau adalah penyetubuh yang jantan.
Kau punya sperma kata-kata yang sehat dan lincah gerak.

Jika tidak, bagaimanakah bisa kau peranakkan:

kecemasan sebagai hujan rintih-rintih

cuaca selalu datang sepanas pemilu sejak subuh

gerimis tumbuh menderas,
kami tersesat di hutan-hutan hujan
mencari 'tidak', entah sampai kapan.

seorang yang tak melihat di bawah cahaya,
akan membunuh segala yang silau.


    PENYAIR itu, Aan, adalah dia yang tak nyaman hanya melihat usaran arus di muara. Ia adalah orang yang rela menempuh perjalanan seberat apapun perjalanan itu, pergi mengusut ke hulu. Ke asal segala berasal.

    PENYAIR itu, Aan, adalah dia yang membuat panggung dari puisinya lalu di panggung itu kalimat-kalimat menari, kata-kata riang berbunyi, bahkan kata yang tak paling pemalu pun tergoda untuk ikut - setidaknya mengetukkan kaki.

    PENYAIR itu, Aan, adalah dia yang tak pernah melepaskan badik dari tangan. Badik itu adalah puisi. Badik itu adalah tongkat sihir yang mengubah setiap apa yang ia tikam berubah menjadi puisi, badik itu adalah tongkat komando yang dipatuhi oleh apa pun yang ia tuding dengan perintah. Badik itu juga adalah etangkai mawar yang meluluhkan hati apa pun yang ia rayu cukup dengan sebuah sodoran lembut, bahkan juga meluluhkan hatinya sendiri. Badik itu pula yang ia tikamkan tepat ke pusat jantungnya sendiri. Lalu ia berkata, "beginilah aku memelihara tajamnya..."

    PUISIMU, Aan akhirnya di tangan pembaca yang gatal bermain, menjelma bagai plastisin. Ia bisa dibentuk jadi apa saja. Ia menawarkan permainan yang riang. Aku membayangkan sebuah bis pariwisata. Pemandu tur yang jenaka.

bis tiba-tiba berhenti,
tetapi ketika kau ingin turun tiba-tiba berjalan kembali
dan kau harus duduk lagi melanjutkan mengunyah bubblegum

siapa yang mengirim begitu banyak tiba-tiba pada
perjalanan ini, .....

    AKU suka tiba-tibamu, tiba-tiba saja. Kelak di buku-buku sajakmu berikutnya, kirimilah aku tiba-tiba sebanyak-banyaknya. Ya, tiba-tiba saja, aku semakin curiga, kau sedang bersiasat menyusun sekian banyak tiba-tiba. []