II. Bersajak-sajak Dahulu
7. Saya sudah membaca puisi agak banyak. Saya tak tahu banyak itu ukurannya berapa. Saya sudah punya banyak pertanyaan untuk kita diskusikan.
Saya mau bilang bagus lagi, tapi nanti tidak puitis lagi, ya? He he. Ya, banyak itu tidak ada ukurannya. Berapa buku, atau berapa puisi, atau berapa penyair. Bacalah terus. Saya kira membaca puisi itu tak harus dihentikan bahkan kalau kelak kamu jadi penyair besar. Penyair besar mestinya harus lebih rakus lagi membaca puisi. Lebih membutuhkan banyak puisi untuk dinikmati.
8. Pertanyaan penting saya ini sebenarnya. Setelah membaca banyak puisi saya jadi ingin tahu perlukah falsafah puisi bagi seorang penyair? Perlukah penyair membuat semacam kredonya sendiri sebelum dia berkarya?
Ya, perlu. Konsep, falsafah, atau kredo puisi bisa jadi semacam pintu masuk bagi penjelajahan ke puisi-puisi yang kita tuliskan. Tapi tidak lalu seluruhnya dipertaruhkan pada konsep itu. Penyair boleh saja mencampakkan rumusan yang sebelumnya pernah ia agung-agungkan. Kredo juga tidak harus terumuskan. Biar saja dia menjadi tangan gaib yang membimbing proses persetubuhan ide-ide, kehamilan dan lalu kelahiran puisi. Duh, lihat saya mulai puitis kan?
9. He he. Ya terus? Maksud saya soal kredo tadi. Jadi ingat Sutardji Calzoum Bachri….
Ya, penyair Sutardji yang saya kira adalah penyair yang begitu populer dengan kredonya. Sampai-sampai banyak yang sok tahu dengan kredo itu walaupun tak pernah membacanya. Ia suatu hari pernah bilang, kredo itu diciptakan oleh penyairnya. Bukan kredo yang melahirkan penyair. Jadi, saran saya buat kamu: berkaryalah, dengan atau tanpa terlebih dahulu menyusun konsep puisimu.
Keduanya berisiko. Keduanya menantang. Kita bisa menulis sejumlah karya selama kurun waktu tertentu lalu merumuskan sendiri konsep apa yang bisa disusun untuk menghubungkan semua puisi itu. Atau menyusun sebuah konsep, kredo, kaidah bersyair kemudian kita bersyairlah dengan patuh pada konsep itu. Lalu suatu saat kelak kamu bisa menyusun konsep lain, membuat puisi yang lain.
10. Jadi malu nih. Jujur saja, saya belum baca kredonya Sutardji itu.
Nah, segera bacalah. Banyak yang bisa kita diskusikan dari sana. Kalau boleh mewajibkannya, saya akan mewajibkan siapa pun yang ingin menikmati puisi membaca kredo itu. Tapi jangan cuma membaca kredonya. Baca juga puisi-puisinya. Saya kira itu kredo yang paling banyak mengundang perdebatan. Nikmat sekali membacanya.
11. Oh ya. Tadi kamu bilang, marah pun bisa melahirkan puisi. Kok bisa?
Kok bisa, ya bisa. Saya mau cerita. Kawan bilang dia bisa bikin puisi kalau sedang marah. Kawan yang lain bilang: dia hanya bisa menulis puisi kalau sedang jatuh cinta. Lalu keduanya menyimpulkan seorang penyair adalah orang yang selalu marah dan terus menerus jatuh cinta.
12. Kalau jatuh cinta saya setuju. Kalau marah?
Begini. Penyair adalah manusia biasa yang bisa marah dan tentu juga boleh jatuh cinta. Ada persamaan antara keduanya – marah dan jatuh cinta - yaitu membuat manusia pada saat itu peka perasaannya. Puisi memerlukan itu. Kepekaan yang berlebih menangkap tanda yang dikirim yang datang yang mengusik yang mengganggu yang diburu yang sekecil apapun bahkan yang remeh tak berguna.
13. Hmmm kalau begitu perasaan apa saja bisa jadi puisi?
Rasa apa saja? Apa misalnya?
14. Wah, menguji ya? Ya, rasa apa saja. Sedih, lapar, letih, gembira, kesal, stres, putus asa, patah hati, haus …. perlu terus saya teruskan?
Cukup. Jadi, saya kira kamu bisa gampang mengerti sekarang kalau saya katakan bahwa kerja menyair yang bersungguh, sesungguhnya bukan hanya pada saat membuat syair, tapi bagaimana membuat perasaan kita terus menerus peka. Kepekaan itu berguna untuk menjemput tanda yang datang tadi, tanpa harus menunggu saat marah atau jatuh cinta. Yang entah bila entah dimana akan menyentuh hidup dan manusia lainnya.
15. Anggaplah sekarang perasaan saya sudah terlatih. Sudah peka. Saya ingin menulis puisi. Saya kan perlu ilham? Perlu ide?
Penyair bukanlah manusia yang dimanjakan alam, kata penyair Polandia peraih Nobel Sastra tahun 1996 Wislawa Szymborska. Inspirasi baginya datang dari ketidaktahuan yang terus menerus diulang. Dengan kata lain dari keingintahuan. Seperti Newton, katanya, yang bertanya kenapa apel jatuh. Peristiwa sederhana itu akhirnya membawa ke teori gravitasi. Tentu saja kamu harus mempersiapkan rasa itu tadi.
16. Sebentar, saya tidak ingin menyusun sebuah teori. Saya ingin menulis puisi.
Menyusun sebuah teori saya pada hakikatnya adalah sama dengan menulis puisi. Tapi yang kamu susun teorinya dalam puisi adalah pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dengan kaidah-kaidah perasaan. Puisi yang baik adalah sebuah teori kecil. Sebuah rumusan yang indah tentang sesuatu hal.
Jadi inspirasi puisi juga bisa datang dari keinginan untuk mengetahui atau niat memberi tahu. Kamu perlu memiliki kemauan dan keberanian untuk sedikit mengolah fikir dan rasa, menyelinap ke belakang panggung setiap peristiwa, sekecil atau sebesar apapun ia. Dan keinginan membangkitkan pertanyaan sendiri dan kemudian merumuskan jawaban bagi pertanyaan itu. Puisi bisa kita jadikan jawaban atau cara menjawab atas pertanyaan-pertanyaan yang juga datang pada diri kita. Penyair yang peka adalah dia yang terus-menerus-terus mengolah batin agar peka atas usikan-usikan peristiwa yang datang sebagai pertanyaan yang minta jawaban.
17. Kalau begitu, puisi tidak boleh salah? Harus benar?
Ini bukan perkara benar atau salah. Lagi pula, benar dan salah itu mengacu ke mana? Perasaan kita bisakah dibuat batasan benar salah? Mungkin ucapan Multatuli perlu dikutip dalam diskusi kita ini. Apa katanya? Dalam puisi ada kebenaran. Kamu yang tak menemukan kebenaran dalam puisi hanya akan menjadi penyair yang berdiri di luar kebenaran itu.
Tapi puisi bukan sebuah teori yang eksak, yang pasti. Jawabannya atas problem hidup tentu saja tak akan pernah tuntas. Bahkan sebaliknya bisa kembali membangkitkan pertanyaan lain. Tak henti-henti. Tak henti-henti.
18. Saya minta contoh. Agak bingung nih…
Pernah baca Sang Nabi Kahlil Gibran? Dalam syair itu dia ada merumuskan tentang anak. Anakmu bukanlah anakmu, begitulah katanya. Dia adalah anak-anak kehidupan, dan seterusnya. Ini kan rumus atau sebutlah teori baru tentang hubungan anak dan orang tua yang akhirnya jadi khazanah kebenaran di seluruh dunia. Karena rumusan itu, orang tua bisa bersikap lebih bijak kepada anaknya. Tanpa batasan iman, apa yang dirumuskan oleh Gibran mengandung kebenaran. Cukup contohnya?
19. Wow, contoh yang hebat. Saya bisa mengerti.
Ya, Gibran memang pujangga hebat. Dia mestinya sangat pantas untuk dapat hadiah Nobel Sastra. Tapi sayang hadiah itu tak diberikan kepada orang yang sudah meninggal.
Kamu boleh merumuskan kebesaran Gibran dalam puisimu.