Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, December 30, 2007
[Pencerahan # 013 dari 365] Sebuah Kredo
"Tidak. Buat apa? Menulis sajak sajalah, buat apa lagi kita harus menulis sebuah kredo untuk setiap sebuah puisi yang kita tulis?" jawab Penyair Guru.
"Oh, jadi kapan saya perlu menuliskan kredo puisi saya?" tanya Penyair Ragu.
"Sudah berapa banyak kau tulis puisi? Adakah kau bisa dan perlu menyusun satu rumusan umum yang bisa memandu pembaca untuk masuk berpetualang ke dunia sajak-sajakmu? Dan dengan sajak-sajakmu itu bisakah kau menegaskan sikap menyairmu, pandanganmu terhadap kata dan bahasa yang unik yang berbeda yang bisa menuntun pembaca ke pintu memasuki sajak-sajakmu?" kata Penyair Guru.
[Pencerahan # 012 dari 365] Puisi Sedih
"ADA dan banyak, tidak terbatas. Semua kata yang kau tahu bisa dengan bagus untuk kau jadikan puisi bernada sedih. Juga bisa menjadi puisi bernada lain: riang, marah, gembira, pasrah. Itulah tugasmu dan sekaligus sumber kegembiraanmu sebagai penyair. Nah, bergembiralah!" []
Saturday, December 29, 2007
Tren Puisi 2008
1. Zen Hae (Jakarta): Wah, kiranya itu bisa juga ditanyakan kepada Mama Laurent, tapi menurut hemat kami bayang-bayang Goenawan Mohamad dan Sapardi masih kuat juga, hanya penyair yang menengok dunia luarlah yang bisa selamat dari itu semua.
2. Sitok Srengenge (Jakarta): Sedikit penyair 'mapan' bertahan dan lebih matang, beberapa nama yang terlanjur terkenal terbukti lesu darah, beberapa nama baru membawa kesegaran.
3. T.S. Pinang (Yogyakarta): Kata Mbah Mardjuki tahun 2008 akan bermunculan generasi penyair angkatan baru. Penyair-penyair non-jakarta akan bersinar. Terutama dari Makassar dan Batam. He he he...
4. Wayan Sunarta (Denpasar): Tahun depan dikuasai penyair genit. Ha ha ha.
5. Sapardi Djoko Damono (Jakarta): Kok nomornya ganti? Puisi kita akan baik-baik saja. Akan semakin banyak yang menulis puisi.
6. Acep Zam-zam Noor (Ciamis): Aku gak tahu juga soal tren. He he he.
7. Iyut Fitra (Padang): Bagaimana kalau coba tanya ke Permadi?
8. Gus tf (Payakumbuh): Itulah, Hasan. Aku kan cuma penyair, bukan peramal.
9. Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta): Harapan saya, semoga puisi tak punya tren, yang membuatnya niscaya berbeda dengan busana atau gaya rambut. Jika Mama Laurent tak tahu puisi, saya tak mau tahu tren puisi. Begitu, he he he...
10. Joko Pinurbo (Yogyakarta): Ha ha... Gimana ya? Mungkin puisi berpola narasi akan berkembang, puisi lirik yang romantis-sentimentil untuk sementara akan surut. Yang jelas karya para penyair generasi baru/muda akan tambah semarak dan menggairahkan. Tapi, para penyair terdahulu juga akan meramaikan gelanggang. Dan puisi akan makin digemari. Seru deh. Kita cukup memiliki cukup banyak penyair perempuan berbakat. Ini belum pernah terjadi di era-era sebelumnya. Mereka akan makin "menggila". Karya mereka justru jauh dari warna sentimental-cengeng-lembek. Ha ha...
11. Binhad Nurohmat (Jakarta): Kayaknya yang tren masih rata kanan. Mereka mabuk sajakku. Aku sedang garap sajak-sajak yang lebih dahsyat. Tunggulah tayangnya. Mereka bakal kepayang.
Friday, December 28, 2007
Selepas Orgasmaya; Show of Force Pertama HAH
Dari kecenderungan yang tampak pada bagian ketiga dan kedua, saya sok-simpulkan bahwa bang Hasan memiliki semacam hasrat untuk memberikan kebaruan gaya ungkap dalam puisinya (mungkin ketika menulis puisi-puisi di kedua bagian tersebut bang Hasan sudah lama menceburi puisi dan ingin sesuatu yang tidak begitu-begitu saja. Dan muncullah gaya-gaya ungkap sedemikian rupa.
.: Selengkapnya baca BERBAGI MIMPI
[Pencerahan # 011 dari 365] Layak Penyair
"Seperti orang yang menebang pohon disebut penebang, maka ketika engkau menulis puisi engkau boleh disebut atau menyebut diri sebagai penyair. Tapi, kenapa kau ingin disebut penyair? Engkau tahu, sebutan itu seringkali disebut dengan sinis oleh orang yang bukan penyair dan oleh para penyair sendiri, dan banyak sekali beban yang harus disandang kalau engkau disebut penyair. Seharusnya memang tidak begitu, Murid Jauhku."
"Jadi layakkah saya disebut penyair, Guru?"
"Menulis puisi sajalah. Penyair yang sejati, tidak akan pernah bertanya seperti itu, wahai Murid Jauhku!"
[Pencerahan # 010 dari 365] Guru dan Murid
"...dan mengajar, Guru?" Akhirnya ada juga Penyair Murid yang bertanya.
"Tidak. Bagi saya tidak!"
"Kenapa, Guru?"
"Tidak ada Guru dan Murid apabila tidak ada peristiwa belajar. Dan belajar tidak perlu harus bergantung pada seorang guru, apalagi Guru yang tak jelas Keguruannya seperti saya ini. Engkau bisa belajar dari diam dan marahnya alam. Engkau bisa belajar dari pasang dan surut air laut. Engkau bisa belajar dari ketakukan dan kesalahanmu sendiri. Engkau bisa berguru pada apa saja juga pada dirimu sendiri."
"Tapi guru itu kan tugasnya memang mengajar, Guru?"
"Tidak. Bagi saya tidak. Ketika saya mengajar, saya sesungguhnya sedang belajar, saya sesungguhnya lebih banyak mengajari diri saya sendiri, atau mengulangi pelajaran yang sudah saya pelajari lebih dahulu."
[Pencerahan # 009] Nasihat Hari Ini
"Ada baiknya, sesekali tahanlah pertanyaanmu, simpan dan jangan ajukan dulu. Ada baiknya sesekali tundalah keinginanmu meminta nasihat dari siapapun..."
[Pencerahan # 008] Jalan Puisi
"Engkau bisa mulai dengan berpantun."
"Pantun? Maksud Guru apa?"
"Jurus-jurus pantun sebenarnya bagus sekali untuk mempermahir jurus-jurus puitikmu. Ketika berpantun dan engkau ingin menciptakan pantun yang baik, maka engkau harus punya bekal kosa kata yang cukup, engkau harus menentukan apa yang hendak engkau sampaikan dalam dua larik isi, dan kemudian menyusun dua larik pembayang, engkau harus mengatur rima, engkau harus mencari diksi yang pas, engkau harus menyusun logika kalimat di dua pasang larik itu..."
"Puisi kan tidak begitu, Guru?"
"Puisi pada hakikatnya adalah seperti pantun juga, tapi Engkau tidak berpikir untuk membagi apa yang engkau sampaikan ke dalam sampiran dan isi. Tiap bait adalah sampiran sekaligus juga isi."
Thursday, December 27, 2007
[Pencerahan # 006] Baik dan Buruk
"Betul."
"Jadi, Guru. Tidak relevan lagi membicarakan sajak baik atau buruk. Sebagaimana juga tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik, bukan?"
"Tidak betul."
"Lho, kok begitu?"
"Sajak yang buruk adalah orang yang tak punya apa-apa tetapi angkuh. Dia pamer menyombongkan apa yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Sajak yang baik adalah orang memiliki banyak hal tetapi ia memilih tampil rendah hati, atau kalaupun ia sedikit bergaya, maka ia memilih gaya yang pas yang tetap mengesankan kerendahhatian: dia tak menyorong-nyorongkan, juga tidak sengaja menutup-nutupi apa-apa yang ia punya itu. "
(Hampir) Haiku
19 misscall itu darimu
15.34 angka waktu
Kutekan *888#
active until 30/01/08
Rp176 sisa pulsa
[Pencerahan # 005] Menyuramkan?
Penyair Guru tersenyum. "Betul. Betul sekali. Saya hanya mengembalikan apa yang saya dapat darimu."
Wednesday, December 26, 2007
[Pencerahan # 004] Meragukan Keyakinan
"Tetapi seorang penyair, bukanlah seorang yang selalu dirundung ragu-ragu. Ia orang yang yakin akan segala hal, tetapi ia selalu mempertanyakan keyakinannya itu, agarbisa menapak ke tingkat keyakinan yang lebih tinggi dan ia kemudian mempertanyakan lagi dengan tanda tanya yang lebih besar ."
[Pencerahan # 003] Pertemuan Rindu
Kepadanya Penyair Guru berkata, "pertemuan yang indah adalah pertemuan yang digerakkan oleh rindu. Bahkan kadang-kadang rindu itu sendiri jauh lebih indah daripada pertemuan yang dirindukan itu."
Penyair Guru melanjutkan, "Apa yang lebih penting untuk kau capai, Penyair, keindahan itukah? Atau pertemuan itukah?"
[Pencerahan # 002] Dekat dan Jauh
Penyair muda itu berkilah, "kalau yang dekat itu tidak menggerakkan saya untuk menulis puisi, apa yang harus saya lakukan, Guru?"
Penyair Guru berkata, "Engkaulah yang harus bergerak, dekati mereka, akrabi mereka, jangan menunggu mereka menggerakkanmu."
Penyair Guru itu berkata lagi, "Ingatkah engkau, tentang seorang penyair mahir yang bergerak menyajakkan hal-hal yang amat dekat dengannya dan tentu saja dengan kita semua - seperti celana, kamar mandi, ranjang? Dan dengan benda-benda itu ia justru dapat meraih keluasan yang melampaui angkasa luar, planet-planet dan semua galaksi."
[Pencerahan # 001] Dukungan bagi Kepenyairan
Ada penyair yang ingin menanggalkan pakaiannya karena dia bilang pakaiannya tak mendukung kepenyairannya.
Penyair Guru berkata, "bilang padanya, jangan-jangan yang harus ia tinggalkan adalah puisi-puisinya sendiri, karena jangan-jangan puisi-puisnya itu yang justu tak mendukung kepenyairannya."
Sunday, December 23, 2007
Kisah Sepasang Terompet
kekasih, hubungan kami sudah di ambang perpisahan.
Di penghujung Desember, aku singgah di rumahnya.
Dia sedang menerawang tenang di beranda depan.
"Hai, honey, boleh aku temui terompet lamamu itu?
Terompet yang tahun lalu pet-pet-petnya berhasil
mengganti tahun kita yang lama menjadi tahun baru?"
Dia masih menerawang, matanya menatap ke dalam
matanya sendiri, saat dia berkata, "Mungkin saja
dia ada di teras samping. Tadi kulihat dia masih
di sana. Kesepian. Aku sudah bosan meniupnya.
Aku disiksa kenangan kalau mendengar suaranya."
Aku pun bergegas menuju ke arah yang ditunjuknya.
Kutemukan terompet itu rontok rumbai-rumbainya,
peyot corongnya, dan aduh nyaris koyak mulutnya.
"Keterlaluan, terompet kenangan kok disia-siakan."
Aku teringat terompetku yang kutinggalkan di rumah.
*
TANPA pamit dan minta izin padanya, sang terompet itu
kuajak pulang, untuk kupertemukan dengan terompetku.
Mereka berdua langsung saja berpelukan erat sekali.
Dua mulut itu berpagutan seakan tak mau dilepaskan.
"Wah, sedang apa kalian?" tanya saya. Mereka bilang,
"kami sedang belajar saling tiup, saling membunyikan."
*
DI malam tahun baru ini, ingin sekali aku singgah di
rumahnya. Ingin sekali aku sampaikan kisah perdamaian
sepasang terompet: terompetku dan terompetnya itu.
Friday, December 21, 2007
Ada Lomba di Jambi
Karya harus Berbasis Cerita Rakyat Jambi. Peserta diperkenankan mengirimkan 3 (judul) puisi yang belum pernah dipublikasikan di media massa baik lokal maupun nasional, ataupun dalam bentuk buku maupun melalui internet.
Karya cipta harus asli, bukan terjemahan maupun saduran, jiplakan atau dibuatkan oleh orang lain (bukan hasil plagiat), dan bukan hasil klaim terhadap hak cipta orang lain.
Apabila pada karyanya terdapat ungkapan, istilah, kata frase, kalimat dan bahasa setempat (bahasa Melayu Jambi dan dialeknya) harus dibuat penjelasannya yang ditulis pada lembar tersendiri.
Diketik rangkap 4 pada kertas ukuran kuarto, huruf Times New Roman, font 12 pt, spasi 1,5. Naskah puisi, bio data, surat pernyataan, tanda pengenal yang masih berlaku, lembar penjelasan dikirimkan dalam amplop tertutup disertai disket atau cakram padat ke alamat (Pada kiri atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti) :
Berbasis Cerita Rakyat Jambi
Jln. Prof. HMO. Bafadhal RT. 07 RW. 03 No. 04
Cempaka Putih, Jambi 36134,
Atau dapat pula dikirim via e-mail ke: newwacana@yahoo. com
Menurut cerita lisan yang saya dengar dari beberapa Orang Rimba di TNBD, mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Padang (Minangkabau) di Sumatera Barat. Pada awalnya mereka semua berkampung sampai kedatangan orang Belanda. Karena enggan dikuasai oleh orang asing, mereka melakukan perlawanan. Namun karena tidak kuat melawan maka mereka lari. Sebagian dari mereka lari ke hilir (ke arah laut) dan sebagian ke arah hulu (ke gunung).
Mereka yang menyingkir ke hilir menjadi Orang Minangkabau, sedangkan mereka yang menyingkir ke gunung dan hutan menjadi Orang Rimba. Lama kelamaan, karena ingin menghindari orang asing mereka sampai di jambi.
Versi lain mitos asal usul Orang Rimba berkaitan dengan sebuah cerita mengenai Putri Pinang Masak. Konon kabarnya, pada zaman dahulu kala Jambi dipimpin oleh Ratu Putri Selaras Pinang Masak yang berasal dari kerajaan Pagaruyung dari wilayah Sumatera Barat kini. Pada suatu masa, terjadilah pertentangan dengan raja Kayo Hitam yang berkuasa di lautan sampai dengan Muara Sabak (daerah Kuala Tungkal saat ini). Sang ratu merasa kewalahan sehingga ia meminta bantuan ke Pagaruyung. Maka dikirimkanlah serombongan pasukan oleh raja Pagaruyung. Namun belum sampai di Jambi, rombongan pasukan tersebut kehabisan bekal di sekitar wilayah TNBD sekarang. Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di dalam rimba karena apabila kembali ke Pagaruyung akan dihukum, sedangkan bila meneruskan perjalanan sudah tidak memiliki bekal lagi. Mereka juga bersepakat untuk tidak tunduk kepada siapapun, baik kepada raja Pagaruyung maupun ratu Jambi. Merekalah yang kemudian menurunkan Orang Rimba.
Dari salah seorang Orang Rimba Makekal, didapat cerita mengenai Bujang Perantau sebagai nenek moyang Orang Rimba. Diceritakan bahwa Bujang Perantau berasal dari Pagaruyung. Ia tinggal sendiri di dalam sebuah rumah di dalam hutan. Pada suatu hari ia memperoleh buah gelumpang. Pada malam hari ia bermimpi agar membungkus buah gelumpang dengan kain putih. Oleh bujang perantau mimpi tersebut dilaksanakan. Lalu muncullah putri cantik dari buah gelumpang yang dibungkus. Mereka berdua lalu kawin. Namun karena tidak ada yang mengawinkan maka mereka meniti batang kayu yang melintang diatas sungai. Pada saat kening mereka beradu, maka berarti perkawinan mereka sah.
Dari hasil perkawinan mereka lahirlah empat orang anak, yakni Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Pinang masak. Anak pertama dan terakhir, yakni Bujang Malapangi dan Putri Pinang Masak keluar dari hutan dan kemudian menjadi Orang Terang. Bujang Malapangi berkampung di desa Tana Garo. Putri Pinang Masak berkampung di Tembesi. Sedangkan Dewo Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di dalam hutan, yakni di wilayah hutan bukit Duabelas. Kedua anak dari Bujang Perantau yang tinggal di dalam hutan yang kemudian menurunkan Orang Rimba.
Saya akan mengolah cerita itu jadi puisi untuk saya ikutkan di lomba tersebut di atas. Karena salah satu syaratnya adalah tidak boleh disiarkan termasuk di blog, maka saya tidak akan tampilkan puisinya di sini, kecuali nanti setelah puisi tersebut menang. :-)
Anda mau ikut kirim puisi juga? Kirimlah, kita bertanding di sana!
Semacam Haiku?
bergambar titi kamal
bulan oktober
majalah tempo
terbuka halamannya
catatan pinggir
Wednesday, December 19, 2007
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor bilangan mu domba
domba
ber a pa
Saturday, December 15, 2007
Mikuatrinael: Karena Sajak Ada di....
kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja. Karena sajak ada di sepanjang benua
("Percakapan dengan Zaini", Taufiq Ismail)
DI kamar itu, Rendra, onggok jagungmu tak ada
hanya halaman-halaman suratkabar minggu
sisa Heineken berbuih di kepala
Pada Chairil ia teringat, dan ia menggerutu.
Kenapa ia menggerutu? Ia lalu
menyusun sesindir sestina, sejumput bait berhantu
"...jemu pada sajak yang begitu melulu,
kata-kata yang hanya-dari-itu-hanya-ke-itu."
Bukankah bunga-adalah-kata? Di kebun rahasia
jejari cantik bertulang lembut memetik
setangkai kata, sepatah bunga. Dia berkata,
"Chairil, mati-mudamu memang lebih baik!"
Di kamar itu, Taofiq, teks-teks pidato tak ada lagi
pun tak ada: Sajak 2 September 1965, Pagi.
Siapa yang melarang, ia berkata, pada hari ini,
siapa yang melarang cinta pada kebebasan seperti kami?
Di kebun rahasia, siapa saja bisa memetik apa saja ,
karena itu bukankah sesungguhnya tidak-ada-lagi-rahasia?
Tetapi siapa kini perlu rahasia? Di weblog ia tertawa,
tetapi apakah kini masih ada yang rahasia?
Thursday, December 13, 2007
Tawa
: untuk Almarhum pelawak Basuki
DI pojok taman
yang kelak dikenang
sebagai surga,
Adam dan Hawa
tertawa.
"Mereka sedang apa?"
tanya Tuhan
kepada Malaikatnya.
"Tertawa," kata Malaikat.
Tuhan tak tahu bagaimana
dua manusia pertama itu
bisa tertawa. "Tertawa?
Seingatku, kobra dan
pohon di taman itu
tak pernah kuciptakan
untuk bisa tertawa?"
"Adam dan Hawa itu
manusia.
Mereka berbeda.
Mereka istimewa"
"Ya, mereka berbeda.
Mereka berbeda.
Berbeda."
*
"HEI, dia
menceritakan dusta,
dan sekelompok
orang di depannya
tertawa..."
"Biarkan, saja.
Jangan catat itu
sebagai dosa," kata Tuhan
kepada Malaikatnya.
"Dia sedang membuat
saudaranya tertawa.
Kau tahu,
karena kutahu
Adam dan Hawa
bisa tertawa
maka yakin dan lekas
kuputuskan
hukuman."
Tawa, kata Tuhan,
akan bisa membuat
mereka bertahan
di sana.
Di dunia.
Tawa,
akan bisa membuat
mereka melupakan
dan pada saat yang
sama serasa
berada
di surga.
Seakan-akan.
*
Tawa itu juga,
yang dengan fasih
ditiru oleh iblis
sang penyaru di lidah
dan mata kobra.
Suara tawa
yang mematuk
matahati
Adam dan Hawa.
Hatimu Puisi
: HAH
kujelajahi kamar mayamu, Pengrajin!
hampirhampir tanpa jeda
dan tanpa pertanda
lalu, kupunguti saja
serakan telor emas katakata
menetas dari anus imajimu yang kembara
ku bersejingkat menatap
dinding sketsa dan lantai imaji kamarmu
ku temui juga
potret dan suarasuara
lelaki bertampang garang
bermata nyalang
berdeklamasi lantang
orangorangan sawah, kah?
perangkap penangkap, kah?
suara penghalau burung, kah?
HAH, bukan
kerna sekelibat kutatap
dadamu memancar puisi
Tuesday, December 11, 2007
Gurindamikael: Hakikat Lidah
di bawah pikulan yang kaku itu
adalah pundakku
sejarah berjalan ke saujana
dengan lagu berduri
("Beban", D Zawawi Imron)
LIDAH, lelahkah pundak memikul beban bicara?
Dari ucap ke ucap, bawa sepasang keranjang.
O lebat sekali kata-kata tertampung telinga
O licinnya serapah menggelincir di kakilidah
Lidah, pergilah ke sunyi, pergilah ke senyap
Sebentarkan punggung, nyandar ke rahasia suara.
Lelahkah menelusuri jalan penyebutan, lidah?
Bibir hanya secelah, betapa gegap gema nama.
O kenapa muaramulut luka mengucap-ucap darah?
O kenapa duri-dusta tertikam pada tubuhlidah?
O lidah Ali Haji, Zawawi, Abdul Hadi, Tardji
Lidah yang terang, mengucap niscaya cahaya.
Lidah, kemanakah pundak kaki punggung mulut
bersama memanggul sepasang keranjang kata?
BADIK BIJAK
:HAH
Badik bijak?
Tambah kerut dijitak
Sorot mata. Setajam sajak
Katak lompat di Tapak-tapak semak
Di buangnya. Lumpur retak
Sebab kaki-kaki sungai di kelok-kelok
Berjingkrak- jingkrak
Akh, badik bijak
Tambah banyak.
Kembara yang terbajak
Terbajak. Terbajak
Monday, December 10, 2007
Perilaku Seksual Bahasa Mikael
... dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
'Bangsat, kenapa aku di sini!"
("Potret Taman untuk Allen Ginsberg", Goenawan Mohamad)
BAHASAKU dan aku lahir dari dua ibu yang tak menikah,
(di bait akhir sajak ini kau akan tahu apa alasannya).
Mereka berdua tak bisa berpaling dari pertanyaan itu,
"Hei, lidah kalian, sepasang lidah lesbian, bukan?"
Mereka bertemu di sebuah mal besar. Ibuku tak bisa
menghindar. Seperti sekudap donat dan pizza bundar,
juga tak bisa mengelak dari janji di lidah mereka.
Bahasaku lahir setelah ibuku memesan benih di bank
sperma - mungkin - dari Australia. Dua ibuku sedang
menikmati posisi 6:9 ketika aku lahir bersama bahasaku.
Di rahim siapakah aku dijaninkan? Kedua ibuku pun tak
tahu. Aku tiba-tiba saja sudah ada ada di lidah mereka.
Aku dan bahasaku dipertemukan jilatan dua lidah itu.
Lidah ibuku adalah lidah yang biasa saling berdusta.
Tapi, mereka pasangan yang jujur. Ada masanya mereka
saling membuka semua yang sembunyi di balik kata.
Mereka sedih ketika menyadari betapa banyak yang tak lagi
bisa lahir dari lidah mereka, dan kelak di lidahku juga.
(bait ini bisa juga kau baca begini: Kadang bahasaku
harus juga berkali-kali menggugurkan kandungan maknanya)
Kata-kata dalam bahasaku adalah tempat aku sembunyi.
Lidahku tak bisa lagi menyetubuhi bahasa dengan posisi
misionaris saja. Kami suka, gaya yang menganjing juga.
Kalau lidahku menyetubuhi bahasa lain selain bahasa
yang lahir bersamaku, maka aku bukannya ingin menolak
perkawinan sedarah. Bagiku, bagi lidah ibuku, memang
tidak ada lagi lembaga perkawinan itu. Tidak ada lagi!
(pengulangan 3 kata - "tidak ada lagi!" disengaja agar
larik terakhir itu seimbang dengan larik sebelumnya).
Aku & bahasaku bahagia berperilaku seksual seperti itu?
(Ah, bait ini seharusnya tidak ada. Coba meneliti lagi
ke bait pertama, di bait mana ia janjikan alasan itu?)
Diselisihkan oleh Angin, Mikael
ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun
("Ketika Berhenti di Sini", Sapardi Djoko Damono)
KETIKA engkau sampai, aku tak tahu, apakah
engkau adalah engkau yang dulu berangkat dan
mengabarkan padaku, "hei, aku sedang menujumu!"
Mungkin aku juga sedang pergi menujumu, menemuimu.
Mungkin kita pernah bertemu di sebuah perhentian,
sebelum menyebut sampai, dan kita saling menyebut nama,
namaku, namamu, dan nama siapa yang hendak kita tuju.
Kata itu cuma getar pita-suara, yang digerakkan angin
dari paru-parumu. "Tidak. Dia tidak musnah setelah
jemputan itu." Angin yang menggetarkan pita suaramu,
yang membunyi namaku, ia menyembunyi di udara itu.
Ketika engkau sampai, aku tak tahu, apakah
aku yang kau dapati adalah aku yang menunggu
dan dulu menjawabmu, "datanglah, temui aku.."
Adakah yang tidak sekedar mungkin di udara itu?
Hujan hanya turun, tak pernah menyebut siapa namanya,
tak juga basah, angin yang berkelit di antara lebatnya.
Dan kita memilih kata, mengucap dingin yang sama.
Engkau mungkin tak pernah akan sampai padaku,
kita berjalan di antara hujan itu, sesekali berhenti,
dan diselisihkan oleh angin, saat merendahkan topi.
Sunday, December 9, 2007
Aku Bawakan Mikaelstik Padamu!
jangan diam
nanti aku marah
kalau kulahap kau
aku enak
sekejap
aku sedih
kau jadi taik
("DAGING", Sutardji Calzoum Bachri)
BOSAN engkau stikatavistik yang itu-itu saja? Nah,
mari sini, aku bawakan Mikaelstik padamu. Cobalah!
Bagaimana caranya? Nah, mari sini aku ajarkan
resep Mikaelstik padamu. Cobalah. Nah. Cobalah!
1. Pastikanlah kau mendapatkan daging terbaik.
Bagaimanakah cara mendapatkan daging terbaik?
Kau dengar apa jawabnya ketika kau tanya dia,
"Daging, bagaimana cara nyawa keluar dari badan?"
2. Yakinkanlah pada daging itu ada luka yang
paling luka. Luka di semua seratnya. Luka di
semua sayatnya. Luka terbaik yang diciptakan
oleh pisau yang paling pisau yang paling luka.
3. Dapatkan tetes darah segar pada luka dari
daging itu. Tampung perihnya. Tabung jeritnya.
Timbang sakitnya. Tetak diamnya. Tombak lubang
nganganya. Lalu tebar ha ha ha ha ha-nya!
4. Siapkan arwahapi lantas kau berdukalah.
Asin airmatamu, biarlah mengucur ke nyala
daging, ke kobar daging, ke bara daging.
5. Tunggulah lalat-lalat dari surga, lalat
yang dulu kena tempeleng daging karena mencicip
lezat zat luka, lantas kau santaplah. Jangan
sedih, karena lidahmu luka. Luka di lidahmu
adalah cara terbaik untuk mengucapkan lukamu.
Lidah-lukamu adalah lidah terbaik yang bisa
mencerna luka dari daging stik-presentik, luka
dari daging stik-futuristik: Daging Mikaeltik.
Nah, aku bawakan Mikaelstik padamu! cobalah!
Saturday, December 8, 2007
Kawankau dan Engkau, Mikael!
Saya tak bersalah lahir dalam rumah itu. Ayah
dan ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera
telah disiapkan, sejak 300 tahun lalu. Dialog
terakhir telah dihafal: "hidup dengan satu bahasa".
... sebuah bahasa yang datang dengan mobil ambulans.
("Keluarga Indonesia Dalam Ambulans", Afrfizal Malna)
SAYA kehilangan lidah ibu saya. Tapi, bahasa saya penuh ludah,
bahasa saya selalu basah. Bahasa seperti sebuah banjir besar.
Saya berenang dengan sirip yang tumbuh di lidah saya. Jangan,
jangan potong sirip di lidah saya. I'm not stupid. Ada sayap
juga di lidah saya. Saya tidak ingin terbang. Saya hanya ingin
berenang dalam satu-satunya bahasa saya. That is the language
of my life. Saya hanya punya satu lidah. Lidah dengan sayap
dan sirip. Boleh saya lihat lidahmu, Ariel? Sepertinya ada
sayap juga di sana, ada sirip juga, ya? Sayap yang seperti
sayap di lidah saya, mengepak mencari lidah ibu. Sirip yang
membuat saya tetap bisa berenang dalam bahasa yang basah.
*
LIDAH siapa yang beterbangan itu? Hei, banyak sekali sayap
hinggap di lidah saya. Lihat, saya semakin jauh dari lidah
ibu saya. Kenapa saya tidak boleh terbang, Ariel? Saya harus
berlari juga di udara bahasa itu. Saya masih fasih berenang.
Lidah saya masih basah dengan bahasa yang penuh ludah. Ada
sirip yang lepas dari lidah saya. Tapi, jangan potong sayap
di lidah saya, Ariel. Saya harus berenang dalam genangan
bahasa yang basah dan saya harus terbang dalam udara bahasa
yang penuh hujan. Lidah saya selalu basah. It's all just
a natural language I speak everyday, Ariel. Apakah ada lidah
ibu saya di lidahmu, Ariel? Adakah lidah saya juga di sana?
*
IBU saya ternyata sedang mengunyah kacang di basah lidahnya.
Suara mulutnya seperti sirine ambulans. Saya tak melihat
ada sayap di lidahnya. Ada sayap-sayap beterbangan tapi tak
mau hinggap di lidah ibu saya. Saya tak mengenali lagi
lidah ibu saya itu. Saya disuapi kacang yang tumbuh dari
lidah yang bukan lidah ibu saya. Saya telah berenang jauh
dari suara mulut yang seperti sirine itu. Saya sekarang juga
bisa terbang. Saya tidak ingin terbang. Tapi, this is the
only language I speak! Bahasa yang selalu basah dan saya
harus terus berenang, bahasa yang udaranya berhujan dan
saya harus terbang dengan sayap-sayap di lidah saya, Ariel!
Friday, December 7, 2007
Paragraf Pernikahan, 5
Kau Masih di Danau Itu, Mikael?
Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke
permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala
("Penyairpun Bukan", Emha Ainun Najib)
ENGKAU masih di tepi danau itu, Mikael?
Menunggu bulan menjatuhkan hantu Li Po, atau
menjaga Sapardi lewat menyeberangkan perahu?
"Danau yang dangkal, huh, aku mau samudera
yang kekal." Kau dengar itu gerutu? Lelaki
dengan kumis basah itu? "Aku? penyairpun
bukan," katanya, lalu lekas lalu.
*
DAN kau masih di tepi danau itu, Mikael?
Memancing puisi dengan batang rumput panjang,
bagai mencari padanan kata di kamus tesaurus.
"Ah, aku tak percaya. Ah, aku tak percaya!"
Aku juga, tak percaya, Mikael. Tadi seperti
kulihat seseorang masuk ke sebuah resto,
mendorong pintu dengan bahu, lalu di sana
berbincang dan menulis puisi tergesa-gesa.
Lantas ia mengutip nama penyair asing untuk
dapat pembenaran atau sekadar permakluman.
*
TAPI kau masih di tepi danau itu, Mikael?
Sedang menghindari kehidupan yang so urban?
Atau mau menyelam cari batu untuk melempari
kebosanan? Menjebol buntu sajak koran-koran?
Ah, tadi seperti kudengar seru di resto itu,
"Tolong, pindah kanal tivi. Aku ogah nonton
Virnie Ismail dalam celebrity on vacation."
Akademi Jakarta Beri Penghargaan Bang Ali dan Bang Tardji
.:. Selengkapnya baca siaran pers Akademi Jakarta
Thursday, December 6, 2007
Masuklah, Mikael!
dalam hidup, dalam tuju
("Cerita", Chairil Anwar)
RUMAHKU dari timbun kata-kata mati
kaca buram di matamu segala suram.
Tapi, mari masuklah, Mikael
ambil duduk, dan mulailah mengutuk
Bukankah tadi di pintuku engkau yang mengetuk-ngetuk?
-- Kau bawa sajak?
-- Mungkin tidak...
-- Atau mau baca kisah porno
dari Mitologi Yunani Kuno
(dengan bahasa mestizo, dan kau tak perlu
menerjemahkan desah oh yes oh no!)
Rumahku dari timbun kata-kata mati
kaca suram di matamu segala buram
Tak ada gambar perempuan dari iklan Marie France Bodyline
Tapi, dia yang di dinding itu bukan hantu
hanya pose posterik penyair atavistik
seorang tua berpipi volumik,
berpet, dan mantel
Engkau, mari masuklah, Mikael!
Bukankah tadi engkau yang menggerutu jengkel ?
Wednesday, December 5, 2007
Seberapa Mikaelkah Anda?
dan yang kutulis ini bukan puisi.
(Meditasi 15, Abdul Hadi, W.M.)
1. Manakah adegan berikut ini yang membuat
Anda ingin segera berlari sejauh-jauhnya?
a. Melihat Chairil meninju Jassin, di belakang
panggung Sandiwara Maya.
b. Melihat Ayu Utami memainkan PDA, di
Kedai Tempo sambil menjentikkan abu
rokok si sela jari tengah dan jari telunjuknya.
c. Melihat Leda disetubuhi Zeus yang menyamar
jadi angsa.
2. Manakah petikan larik sajak berikut ini yang
bukan berasal dari Chairil Anwar?
a. rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu
kuhela.
b. Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa
sepi.
c. di senja hari menjelma ribuan koran dan
sapu tangan.
3. Manakah benda berikut ini yang tidak pernah
menjadi objek ode Neruda?
a. Gadis manis dalam lukisan telanjang.
b. Naskah novel yang tak selesai diterjemahkan.
c. Tumpukan baju yang belum disetrika.
4. Manakah fantasi seksual yang paling menggairahkan
Anda?
a. Dibacakan dongeng ranjang oleh Laksmi.
b. Mewujudkan adegan muskil dalam novel Nukila.
c. Menciptakan suara kecipak saat menyesap
dada bunga citra lestari.
5. Apakah sapaan yang paling meluluhkan hati
Happy Salma?
a. Hi, are you happy, Salma? Boleh kuantar pulang?
b. Hei, tubuhmu seperti cerita, boleh kuterjemahkan
ke dalam bahasa tubuhku?
c. Hei, saya punya bagian novel Pram yang hilang
saat diterjemahkan. Mau baca di kamarku?
Paragraf Pernikahan, 4
Tuesday, December 4, 2007
Paragraf Pernikahan, 3
Paragraf Pernikahan, 2
Paragraf Pernikahan, 1
DULU aku bilang, aku sedang belajar menulis kalimat untuk sebuah paragraf dengan namamu dan namaku serta kata Cinta di antara keduanya. Kau bertanya, "Cinta? Itu kata kerja atau kata benda?" Lalu kususun sebuah kalimat, begini: Cintaku yang cinta mencintai cintamu yang cinta. Kau bilang,"ternyata cinta itu juga kata sifat, ya?" Lalu kita berdua belajar mengucapkan kalimat itu sefasih-fasihnya. Menjadikan cinta itu menyifat pada kita.
Monday, December 3, 2007
Cantata "Ars Amatoria" by Ananda Sukarlan
based on poems by
Sapardi Djoko Damono
with Fitri Muliati (soprano), Rainier Revireino (baritone), Seven Chorale Children's Choir, Cavallero Male Singers & Jakarta Conservatory Vocal Ensemble
at
Jakarta New Year Concert 2008
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki
1 January 2008 at 16.00 (4 p.m )
Read Ananda's blog at http://andystarblogger.blogspot.com !!
Tickets can already be reserved since the 1st of November through :
jakartanewyearconcert@yahoo.co.id
Rama Thaharani at rama.th@gmail.com
Chendra Panatan at ycep@yahoo.com atau 0818 891038
Shortlist Khatulistiwa Literary Award 2007 Kategori Puisi
Dongeng untuk Poppy, M. Fadjroel Rahman, Bentang, April 2007
Kepada Cium, Joko Pinurbo, GPU, 2007
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zamzam Noor, Pustaka Azan, April 2007
Paus Merah Jambu, Zen Hae, Akar, Mei 2007
Pemenang akan diumumkan pada Malam Penganugerahan tanggal 18 Januari 2008, jam 19.00 WIB, di Atrium Plaza Senayan. Kami harap seluruh finalis berkesempatan hadir.
Panitia Khatulistiwa Literary Award 2007
E-mail .:. khatulistiwa.literary.award@gmail.com
Weblog .:. khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com
Sunday, December 2, 2007
Rindu yang Tak Santun: Dalam Sekurung Pantun
Matahari tak muncul di hari yang buta
Hujan tergantung, jatuh, aku tertimpa
Kucari di Google, kucari di Altavista
Aku tak beruntung, engkau tak kujumpa
[INI lebih perih dari kutukan bagi Ahasveros
Aku yang menunggu, dan kau menjauh: mengembara!
Kita yang tak sempat merayakan pesta wisuda.
Ah, perempuan, kenapa pula hatiku kau bawa?
Hari-hari, seperti hari terakhir bagi penyair
tak bisa mengelak memaki-jassin-mencaci-takdir
Kukenang hari ganjil, perpisahan yang amat buruk
kau bawa sejilid Chairil, kau tinggal Victorinox
kau bagai Che-(betina) ngembara dengan sajak Neruda
"Aku tak hendak ke Paris, Kavi. Aku hanya akan
bertemu banyak kisah tragedis! Tiap hari, aku
pasti akan merdu menangis," kalimat kelat yang
kau ucap dengan lidah basah, bibir yang manis.
*
HUJAN di luar bandara. Ruang tunggu menyekapku
udara padat-buntu meracunku sisa aroma tubuhmu.
Kursi restoran telah kosong, di depanku, tadi ada
engkau di situ. Aku mulai menghitung beban waktu
Aku kini adalah 'mereka yang sudah lupa bersuka'.
Kudengar ratap lagu KLa, samar Katon Bagaskara.
*
KAU bukan Miratku, tunanganku, aku bukan Chairilmu.
Aku masih di restoran ini, hujan masih di luar situ.
Senja bikin jingga jadi ranum, bagai biji Anthurium.
Di pesawat, kubayangkan kau terpana di halaman 43.
"Sajak Putih" yang dulu pernah kita baca bersama.
Aku mengingat di luar kepala, selarik sajak sempurna,
si binatang, yang jalang berkata, "kuberi jiwa segala
yang dikira orang mati di alam ini!" Kau menyalinnya,
dan aku tak tahu itulah pangkal segala yang kini
kusebut bencana: tak ada yang bisa menahanmu pergi,
kau ingin menghidupkan Hidupmu yang kau bilang Mati.
*
AKU tak bisa menjawab petugas di Biro Akademik,
"Kenapa kau yang mengambil ijazah Shania Saphana,
gadis termanis yang lulus dengan nilai A sebaris?
Aku simpan yang tak sempat kita pakai: jubah sarjana.
Lantas, kujalani habis hari-hari menjadi jurnalis.
Dan kupajang rindu bagai poster besar Guns'n Roses]
Deras musim menumbuk langit tak berangka
Hujankah atau wajahkukah yang amat basah?
Telah kukirim berjuta surat-elektronika
Apakah Y!Mail mengantar ke alamat salah?