Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, July 12, 2009
[Tadarus Puisi # 35] Tiga Kata Suci Gus tf
Tiga Kata Suci
Sajak Gus tf
aku kini tahu, kenapa "menguap" kata sucimu. Bila
kaubiar getir mendidih, meletup hilang si gugu sedih.
aku kini tahu, kenapa "mengendap" kata sucimu. Bila
kaubakar sekam dendam, tinggal lepah jerami diam.
aku kini tahu, kenapa "meresap" kata sucimu. Bila
kautapis tepuk tepis, menyesap naik si ceguk tangis.
Gus tf mengirimi saya buku terbarunya, "Akar Berpilin" (Gramedia, Juni 2009). Saya langsung suka pada sajak di atas. Buku ini menandai 27 tahun ia menyair, bila dihitung sejak buku pertama "Sangkar Daging" (Grasindo, 1997), yang memuat sajak tahun-tahun 1980-1995). Sebuah perjalanan menyair yang membanggakan, dan pasti juga merisaukan. Gus, dengan ini telah menerbitkan tiga buku. Buku keduanya, "Daging Akar" (Penerbit Kompas) terbit 2007.
Menyair, adalah pekerjaan yang kritis. Ini pekerjaan yang amat mudah melambungkan perasaan, tetapi pada detik berikutnya bisa mendorong jatuh pada perasaan sia-sia. Karena itu amat menarik bila kita memperhatikan bagaimana seorang penyair mempertahankan kepenyairannya. Dengan tiga buku - bukan jumlah yang banyak -, sejumlah penghargaan, dan sajak-sajak yang terjaga kualitasnya, Gus tf telah memberi teladan pada kita.
Gus, menurut saya adalah penyair yang bekerja terutama dengan otak dan kemudian hati. Ia mengandalkan rasio, lalu menyertakan rasa. Khalayak pembaca puisinya mungkin tak luas (saya termasuk orang yang berada di dalam lingkaran sempit itu), sebab sajaknya selalu mengajak dan menantang untuk berpikir. Dan, para pembaca yang doyan pada yang serbainstan tentu saja tak betah dengan ajakan itu.
Saya suka sajaknya di atas, sebab, pada sajak itu dia menurut saya berhasil menyeimbangkan rasio otak dan rasa hati.
Anafora "Aku kini tahu..." - dengan tegas menandai bagaimana sajak ini dimulai dengan pikiran. Ini seperti bilang, bahwa ada pertanyaan lama yang dicari jawabannya. Penyair memikirkan itu, dan akhirnya "dia pun kini tahu"... ada tiga kata suci itu: menguap, mengendap, meresap. Kalimat berikutnya pada masing-masing bait, yang menjelaskan kenapa kata-kata itu adalah kata suci, sepenuhnya adalah penjelasan soal rasa. Saya tak sepenuhnya bisa mencerna dengan rasio tapi seperti bisa meraba dan mengerti dengan hati: ya, kalau getir itu dibiarkan mendidih (dan tentu itu kemudian menguapkan si getir itu), maka sedih pasti akan hilang. Begitulah... (hah)