Sutan Takdir Alisjahbana punya harapan kepada dunia sastra dan bahasa yang membesarkan dia dan yang dihidupinya itu, sekaligus tantangan bagi penyair-penyair setelah dia. "Siapa tahu, mungkin masih ada penyair yang lebih besar dari Dante, Shakespeare dan Goethe yang akan lahir," ujarnya. Itulah kalimat penutup pidatonya yang berjudul "Kedudukan dan Tugas Puisi di Zaman Kita" dalam Pertemuan Penyair ASEAN I di Bali tahun 1983.
Pidatonya itu kemudian dibukukan bersama sejumlah sajak yang ia bacakan di American Cultural Center, Wisma Metropolitan II, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta dalam program "History, Literature and Nationalism." Sajak yang ia bacakan itu direkam dan merupakan sumbangan Indonesia pertama bagi kumpulan Library of Congress "Archive of World Literature on Tape."
Saya membaca buku itu dan kemudian menyarikan dan mengolah sejumlah hal yang saya rasa berguna bagi perpuisian kita, dan terutama bagi keasyikan saya sendiri menceburi dan merenungi lautan puisi ini. Inilah butir-butir itu:
1. Hidup tidak bisa tidak mesti merupakan keseimbangan antara pikiran akal yang menganalisis dan memecah-mecah dengan perasaan yang berpokok pada hati dan dengan fantasi yang kreatif yang memberikan kepada kita kesempatan untuk melepaskan diri dari himpitan kenyataan sehari-hari yang berat dalam ciptaan-ciptaan yang mengandung keindahan dan menyayakan rohani.
2. Kegairahan dan kegirangan berpuisi yang kelihatan di mana-mana, adalah suatu reaksi yang sehat dalam suasana rasionalisme dan materialisme yang tandus itu.
3. Kegairahan itu membawa manusia kembali ke kebulatan jiwanya yang penuh kepekaan dan kemesraan menghadapi sesama manusia, alam sekitar maupun kegaiban dan kekudusan yang melingkupi alam semesta.
4. Kegairahan berpuisi itu membawa manusia kembali merasakan hidupnya dalam sedih dan senangnya, dalam kecewa dan harapannya, dalam kesepiannya maupun solidaritasnya, malahn rindu hatinya kepada Tuhannya.
5. Penyair tidak bisa mengelakkan diri dari pengaruh pikiran modern dan perkembangan sastra yang berasal dari berbagai-bagai bahasa di dunia yang berujung pada uluran gagang pedang individualisme yang mesti ia sambut-terima.
6. Dengan pedang individualisme di tangan maka penyair tertantang untuk memberontak terhadap pencapaian-pencapaian sastra yang mentradisi yang mendahului dia.
7. Keberhasilan pemberontakan itu adalah sesuatu yang membanggakan, sebuah prestasi yang membarukan dan menyegarkan kembali dunia sastra dan memberikan kesempatan untuk membebaskan diri dari berbagai ikatan dan kebiasaan yang mati, untuk mendengarkan suara hati kita yang dalam.
8. Keberhasilan pemberontakan itu membawa pikiran dan perasaan lahir kembali dari sumbernya yang murni dan dapat memandang orang, masyarakat dan alam sekitar kita dengan hati dan mata yang baru, yang lebih segar dan penuh tenaga asli.
9. Tetapi kita tak mungkin terus berontak untuk kegirangan pemberontakan. Sastra yang tumbuh menjadi dewasa tak boleh tidak meluaskan tanggung jawab, dan bersama itu pikiran, perasaan dan fantasi terhadap sesama, alam sekitar, malah keseluruhan jagat yang besar yang mengandung kegaiban dan kekudusan.
10. Kita tidak mengharapkan puisi dekaden, anarkis atau pesimis, tetapi puisi yang membuka hati untuk tanggung jawab dan solidaritas dan perjuangan untuk perdamaian dan kebahagiaan manusia.
Bacaan:
- Sutan Takdir Alisjahbana, Sajak-sajak dan Renungan, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, Cet. Pertama 1986, Cet. Ketiga 2004.