Puisi (dari bahasa Yunani "poesis"--berarti "pembuatan" atau "penciptaan") adalah sebuah bentuk seni dimana bahasa diberdayakan agar tercapai kualitas estetisnya dengan menambahkan, atau menggantikan, makna nyatanya yang semula ada.
Puisi telah menempuh sejarah yang panjang. Upaya-upaya awal untuk menjelaskan apakah puisi itu, seperti dilakukan oleh Aristoteles dalam risalahnya "Poetics", terpusat pada ihwal pemanfaatan "daya bahasa" dalam retorika, drama, lagu atau komedi.
Pada zaman yang lebih kemudian, puisi mulai ditengok lebih khusus pada bagian-bagian khasnya seperti repetisi, rima, ritme, metrum, pilihan kata, dan mulai lebih ditekankan pula pada pertimbangan estetika bahasa puisi yang sudah mulai dipisahkan atau dibedakan dengan prosa.
Sejak pertengahan abad ke-20, puisi sudah mulai dipegang dengan longgar pengertiannya, definisi yang baku tidak lagi disakralkan. Sejak itu yang penting bagi puisi adalah ia telah didudukkan sebagai dasar dari kerja kreatif yang menggunakan bahasa sebagai ranahnya.
Puisi kerap menggunakan bentuk-bentuk khusus dan aturan-aturan tertentu untuk memperluas kemungkinan makna literal kata-kata, atau untuk merangsang bangkitnya tanggap rasa dan emosi. Perangkat-perangkat perpuisian seperti, asonansi, aliterasi dan ritme digunakan untuk mencapai efek musikal dan efek jampi-jampi atau mantra.
Pada puisi terkandung ambiguitas, simbol-simbol, ironi, dan pada puisi diberdayakan juga unsur-unsur stilistika diksi puitik lainnya. Akibatnya, makna puisi menjadi multitafsir, puisi membuka dirinya bagi pemaknaan yang berganda-ganda. Dengan cara yang sama, metafora dan simile menciptakan gaunggambar yang bersahut-sahutan antara imaji-imaji yang tidak sama bahkan bertentangan --- serentak tercipta pula pelapisan-pelapisan makna, terbentuk jalinan yang sebelumnya tidak terduga.
Beberapa bentuk puisi yang khas lahir dari kebudayaan tertentu, akibat kekhasan pada bahasa yang digunakan atau dikuasai oleh sang penyair. Dari Italia, kita mengenal soneta, dari Persia kita mengenal ghazal, dan bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia kita mengenal pantun, dari Jepang kita mengenal haiku. Bentuk-bentuk puisi itu kemudian melintasi bahasa-bahasa.
Sekarang, di zaman dunia yang terbuka, mengecil, dan menyatu, penyair amat bebas menjelajah, tidak hanya mencari kemungkinan yang disediakan oleh bahasa utama yang ia pakai. Penyair juga bebas meminjam gaya, teknik, dan bentuk dari budaya dan bahasa lain.***