Puisi - seperti halnya banyak hal dalam kehidupan ini, apatah lagi di ranah kesenian - berjodoh dengan perubahan. Puisi minta dirinya diubah oleh penyair. Puisi menantang penyair untuk mengubah dirinya. Puisi menantang penyair agar menemukan sisi-sisi lain dari diri puisi, sisi yang baru, yang segar, yang belum ditemui oleh penyair yang sudah menuliskan puisi sebelumnya.
Kerja menyair yang bersungguh dan bertekun adalah kerja menjelajah kemungkinan untuk mengubah puisi, atau sama sekali membuat sesuatu yang baru. Jangan bayangkan kerja itu sebagai sesuatu yang tegang. Menemukan sesuatu yang baru, atau menawarkan perubahan pada puisi, bisa dilakukan dengan riang-gembira.
Bila dihadap-hadapkan dengan prosa, maka puisi berbeda karena ia lahir dari upaya memadatkan. Segala unsur bahasa yang mungkin dipadatkan, mesti dipadatkan dalam puisi. Pemadatan itu berhasil dan bermanfaat bila ia bisa memperluas dan memperkaya peristiwa, imaji, dan makna sampai pada batas yang tak terhingga. Pemadatan itu bukan sekadar upaya penjarakan, atau pembelokan. Bukan sekadar upaya menyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Bukan sekadar menyatakan suatu hal tetapi memaksudkan ihwal yang lain. Bukan. Bukan itu.
Dari sini kita mengenal istilah puisi yang prosais, dan prosa yang puitis. Bila ada upaya-upaya pemadatan di dalam prosa maka kita sah menyebutnya sebagai prosa yang puitis. Jika pemadatan itu dilonggarkan, bahan yang hendak dipuisikan itu sengaja dilonggarkan dengan sadar, maka yang lahir adalah puisi yang prosais.
Pemadatan, akhirnya memang melahirkan penjarakan, pembelokan dan ketidaklangsungan. Bila yang dimaksud adalah pemadatan makna saja maka kloplah apa yang dirumuskan oleh kritikus sastra Prancis Michael Riffaterre sebagai mana yang dijelaskan oleh Rahmat Djoko Pradopo dalam "Pengkajian Puisi" (Gajah Mada University Pers, Cet. 9, 2005). Makna dalam puisi memadat karena penyair menempuh upaya: 1. "Displacing" atau penggantian arti; 2. "Distorting" atau penyimpangan arti; dan 3. "Creating" atau penciptaan arti.
Tiga jurus yang dirumuskan Riffaterre itu mutlak tapi tidak harus digunakan serentak. Rahmat Djoko Pradopo menjelaskan penggantian arti terjadi pada metafora dan metonimi; penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi, dan nonsens; dan penciptaan arti terjadi pada pengorganisasian ruang teks seperti persejajaran tempat homolog, pemenggalan bait atau enjambemen, dan tipografi. Nah, nanti saja. Kita akan tinjau dan pelajari jurus-jurus itu satu per satu.