ADA penyair anak-anak yang sudah menerbitkan lima buku. Dan konon bukunya laku keras. Lima buku dalam usia yang masih kanak-kanak sudah cukup membuktikan bahwa memang penerbit punya alasan untuk menerbitkan buku-bukunya, yaitu laris. Tapi, tentu saja ini tidak membuktikan mutu dari sajak-sajak si penyair anak-anak tersebut.
Eh, tapi, di bukunya itu ada kata-kata pujian dari sastrawan-sastrawan besar, lho. Nah, itupun tak menunjuk pada kualitas sajak. Ini hanya semacam perayaan atas bakat besar dan sekaligus taktik dagang yang manjur. Kita bukannya meragukan ketulusan pujian si sastrawan besar, pun jauh dari tudingan bahwa sang sastrawan besar itu secara tak sadar dimanfaatkan namanya. Tidak, sama sekali tidak. Kita hanya ingin mengatakan bahwa pujian itu tidak serta merta merujuk ke kualitas sajak si penyair anak-anak itu.
Bila ingin menguji kualitas sajak si penyair cilik, juga penyair yang tidak cilik, tidak ada jalan lain kecuali harus mengenakan sajak-sajaknya kepada kritik yang baik dan benar oleh kritikus yang baik dan benar pula. Tak usah berburuk sangka dan berpendek harap terhadap kritik dan kritikus. Harapan pada kritik yang baik tidak harus dihentikan hanya karena saat ini tidak ada atau belum ada kritikus yang baik dan benar itu.
Saya kira, kritik harus tegas. Ia tidak membedakan sebuah karya ditulis oleh anak-anak ataukah oleh orang dewasa. Kritik harus kejam. Bila tidak, maka pengukuran kualitas sastra menjadi kacau. Kritikus tidak harus menunduk-nunduk segan atau menurunkan kadar kritiknya di hadapan karya hanya karena tak enak hati adan kasihan dengan penyairnya.
Kelarisan buku bisa dibaca dari sisi lain. Apalagi mengingat si anak beruntung punya orang tua yang paham seluk-beluk penerbitan dan punya kontak yang baik ke penerbit. Apakah orang tua si anak itu berperan juga di dalam karya si anak? Sebaiknya jangan. Tapi bila ini tuduhan, maka yang kelak membuktikan adalah waktu. Si anak tak bisa tidak pasti akan tumbuh dewasa. Ia boleh memilih tetap menjadi penyair atau memilih profesi lain. Bakat besar di masa kanak bisa saja kuncup dan layu atau tambah tumbuh dan semerbak mekar. Sama saja, penyair dewasa pun boleh terus menyair atau berhenti kapan saja.
Saya ingin membuat perbandingan tentang lukisan gajah. Gajah yang dilatih dengan baik bisa memainkan kuas dan cat di atas kanvas. Hasilnya bisa serupa dengan lukisan abstrak Amri Yahya. Amri Yahya amat gemar melukis obyek lebak. Sepintas lukisannya hanya berupa cipratan-cipratan cat warna-warni yang menimpa kanvas. Apa bedanya dengan "lukisan" gajah?
Amri Yahya amat sadar bahwa pekerjaan yang ia lakukan adalah melukis dan karya yang ia hasilkan adalah sebuah lukisan. Sementara gajah itu saya yakin tidak pernah sadar dan tidak pernah tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kerja melukis, dan karyanya adalah karya lukisan.
Kesadaran ini penting walaupun tidak pernah ada paramater yang bisa mengukurnya. Tapi, itulah yang menentukan harkat sebuah karya. Ibarat niat dalam sebuah ibadah. Tanpa niat, meskipun bacaan ayatnya fasih, meskipun rukun dan syarat lainnya sempurna, sebuah ibadah tak bernilai pahala apa-apa.
Sajak anak-anak yang amat berbakat sekalipun bisa dibaca seperti melihat lukisan gajah. Saya pertama-tama merasa harus mencurigai kesadaran si anak ketika menggubah sajak-sajaknya. Semakin baik hasilnya, saya harus semakin curiga. Saya sama sekali tidak melarang anak-anak menulis sajak. Mereka harus dikenalkan pada sajak, dan diajari menulis sajak sejak dini.
Saya percaya bahwa lebih baik orang tua tidak menempatkan dirinya sebagai pelatih gajah dan tidak menganggap anaknya sebagai anak gajah, walaupun ia adalah seorang pelukis yang handal dan anaknya amat berbakat melukis. Saya lebih mudah kagum pada anak-anak yang menganggap syair adalah sarana bermain yang menggembirakan hatinya, yang tampak pada kegembiraan yang bisa terbaca dalam karya sajaknya. Sebutan penyair cilik bukannya tak boleh disandangkan padanya, tetapi hendaknya tidak menjadi beban baginya.