PADA suatu ketika Asrul Sani pernah mencemaskan perkembangan puisi di Indonesia, puisi yang ia sebut dihasilkan oleh angkatannya sendiri. Ia mengatakan --- seraya meragukan apa yang ia katakan --- bahwa puisi-puisi pada masa itu buntu alias deadlock pada puisi emosi-semata. Emosi, katanya, adalah suatu anasir yang kuat dan langsung bisa dilihat sebagai cap puisi-puisi kala itu.
Emosi tidak salah. Sebab emosi tidak bisa diceraikan dari puisi. Emosi, kata Asrul, adalah tenaga pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan suara yang dikeluarkan syair itu tergantung kuat-tidaknya emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentransmitir perasaan.
Emosi menjadi salah kalau ia telah dianggap sebagai wujud. Emosi hanyalah pendorong kehadiran wujud puisi, atau pada puisi emosi itu diberi wujud, sekali lagi ia bukan atau belum wujud. Emosi adalah penglihatan sekilas, ia bukan atau belum sampai pada subtansi. Emosi adalah pendorong perasaan agar penyair terbawa atau tersampai pada esensi, pada sari-inti. Substansi, esensi dan sari-inti itulah yang diwujudkan dalam puisi.
Asrul akhirnya menulis, bahwa penyair Indonesia harus sampai pada puisi "gigantis" yang menyeluruh --- sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi --- yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. "Dalam puisi itu emosi hanya pendorong "perasaan" yang dialami penyair untuk dirasakan oleh penikmat," kata Asrul.
Saya kira, kerisauan Asrul bisa kita jadikan bahan untuk mencemaskan puisi kita sendiri. Apakah kita telah berhenti atau baru sampai pada puisi dangkal yang hanya memuntahkan emosi kita sendiri? Tertantangkah kita untuk menulis puisi "gitantis" seperti tantangan yang digencarkan Asrul - seorang dari tokoh serangkai "Tiga Menguak Takdir" itu?
Bacaan:
- Asrul Sani, "Deadlock pada Puisi Emosi-Semata", dalam buku "Surat-surat Kepercayaan", Pustaka Jaya. Cet. I 1997, Cet. II 2000.