AEGIR, sang raksasa samudera, bertanya, "Bagaimanakah gerangan kerajinan yang engkau sebut syair itu bermula?"
Bragi, sang dewa syair, menjawab, "Syahdan, para dewata bertikai dengan bangsa Vanir, tetapi kemudian mereka mengadakan suatu pertemuan dan akhirnya sepakat berdamai dengan cara ini: wakil masing-masing pihak berdiri di depan sebuah tong minuman dan meludahkan liur ke dalamnya."
Setelah mereka berpisah, para dewa memutuskan hendak mengabadikan lambang perdamaian itu, tak ingin membiarkannya mubazir, dan dari tumpahan lendir itu mereka menciptakan seorang manusia: Kvasir. Ia seorang arif tanpa tara. Tak ada satu pun soal yang ia tak tahu jawabnya. Ia hidup berkelana mengarungi dunia, mengajarkan ilmu kepada orang-orang. Suatu malam ia dijamu di rumah sepasang orang kerdil, Fialar dan Galar. Di tengah cengkerama tiba-tiba si tuan rumah mengeluarkan sepucuk senjata dan membunuh tamu termasyhur itu. Mereka menuangkan darah korban ke dalam tong, mencampurnya dengan madu, dan memeramnya dengan ragi hingga menjadi minuman keras yang sakti. Barangsiapa meneguknya akan jadi penyair atau cerdik-cendekia.
.:. Selengkapnya baca Hasif Amini dalam Es, Kompas Minggu 7 Januari 2004