Monday, May 26, 2008

Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (5)

Oleh Hasan Aspahani

5. Nirwan Takut pada Dewanto?

RICARD OH, penggagas Khatulistiwa Literary Award menulis esei Siapa Takut Nirwan Dewanto, Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra , di Bentara Kompas, 6 Oktober 2004, kutipannya: ...Saya juga ingin pecinta sastra di negeri ini tidak ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas yang sering mengintelektualkan sastra.

Apakah Nirwan Dewanto memang suka menakut-nakuti para pecinta sastra? Takutkah para pecinta sastra itu ketika Nirwan menakut-nakuti mereka? Siapa pecinta sastra yang takut pada Nirwan?

Di Jurnal Kebudayaan Kalam Nomor 18 tahun 2001 ada sebuah pengantar redaksi. Saya kira itu ditulis oleh Nirwan Dewanto sebab pada edisi itu dialah yang menjadi Ketua Redaksi. Walaupun bukan dia yang menulis, paling tidak dia setuju dengan isi pengantar itu. Di situ tertulis: ...tak sedikit puisi mutakhir kita yang berambisi menjadi "filsafat". Ada misalnya sebuah sajak yang menjenuhkan diri sekian kata benda abstrak seperti kekokohan, kebenarah, kegelisahan, kesangsian, kesadaran, kekecewaan dan lantaran itu ia gagap menyajikan degupnya, hidupnya yang inderawi.

Masih dari pengantar itu: ...Ada banyak pula puisi yang melakukan jungkir balik dalam semantik dan gramatika, konon itu sebuah upaya dekonstruksi. Gagah berlindung di balik licentia poetica? Ternyata semua itu hanya puisi yang gagal bersandar pada kekuatan kata, imaji dan bunyi. Mungkin lantaran kelewat bersemangat memburu apa yang "serius", yang "besar", dan yang "baru", si puisi justru terjatuh ke dalam gelap. Puisi yang ruwet, bukan kompleks (nah, ini kerap diulang-ulang Nirwan dalam berbagai kesempatan, HAH). Lagi-lagi memudarnya keterampilan berbahasa.

Pengantar itu ditutup dengan sebuah paragraf yang berisi pengulangan peringatan: para penulis tak lebih dari perajin. Hanya dengan berlaku tajam-ironis kepada diri sendiri, para perajin yang telanjur terhormat itu mampu bekerja sewajarnya sebagai mana teman-temannya sebidang di penjuru mana pun.

Pada paragraf penutup itu pula disebutkan bahwa dalam khazanah sastra "nasional" Indonesia, ambisi untuk pembaruan sudah jadi ritus kosong dan hasrat untuk berguna bagi orang banyak hanya jadi klise berkepanjangan. Itu sebabnya, penulis harus sadar bahwa dia tak lebih dari perajin!

Buku himpunan puisi Nirwan Jantung Lebah Ratu pada satu sisi saya kira dengan baik mewujudkan hasratnya mengejawantakan kalimat-kalimat di atas. Ia ingin membuktikan bahwa dia adalah hanya seorang perajin puisi, ia tidak berhasrat mengejar kebaruan, ia tidak ingin sajak-sajaknya berguna bagi orang banyak. Lantas apa gunanya berkarya jika sama sekali tidak ingin menawarkan kebaruan? Apa salahnya bila penyair memelihara hasrat untuk menghasilkan karya yang "baru", "serius", dan "besar"? Saya kadang tidak mengerti juga kritik-kritik Nirwan. Bagaimana misalnya seorang penulis-perajin harus berlaku tajam-ironis pada diri sendiri agar bisa bekerja wajar? Apakah bekerja wajar itu kelak akan menghasilkan karya yang wajar-wajar saja?

Dan, buku itu pada sisi lain, bisa juga saya lihat sebagai wujud betapa takut dan tegang Nirwan Penyair menghadapi Nirwan Kritikus. Nirwan Penyair terlalu memperhitungkan kritik-kritik Nirwan Kritikus. Nirwan Penyair sibuk mematut-matut diri di depan cermin kritik Nirwan Kritikus. Nirwan Kritikus telah memperlakukan Nirwan Penyair dengan tajam-ironis, dan hasilnya bukan keleluasaan kerja dan kewajaran karya, tetapi ketegangan kerja dan kekikukan karya.

Setelah membaca sajak-sajak Nirwan, serangkaian pertanyaan terbit di kepala saya: siapakah yang bisa membela Nirwan bahwa dia tidak kena pasal-pasal yang ia sering ceramahkan? Siapa yang bisa membuktikan bahwa sajak-sajak Nirwan tidak ruwet tetapi kompleks? Dan tidak terjatuh ke dalam gelap? (bersambung)