SUATU petang di bulan Mei, 1998, di Jakarta. Penyair itu baru saja tiba dari Yogyakarta. Ia harus menghadiri rapat rutin bulanan di kantor pusat tempat ia bekerja. Dan Jakarta tidak seperti Jakarta yang biasa ia kenal. Unjuk rasa memanas. Demonstrasi meluas.
"Saya mengamankan diri di TIM," kata penyair itu. Itulah tempat yang terpikir untuk segera ia kunjungi, tempat terdekat, dan mungkin yang paling aman. Di TIM dia bertemu penyair Sitok Srengenge. Sitok menyarankan si penyair bertahan saja di TIM. Rapat di kantor pusat tak jadi ia hadiri.
Ia dan Sitok kemudian memutuskan mencari selamat ke rumah Sitok di Depok. Tak ada kendaraan kecuali kereta api. Dan petang sudah berganti malam. Jakarta gelap. Sebagian besar aliran listrik kosong.
"Kami jalan kaki dari stasiun ke rumah Sitok," kata penyair itu. Ia lupa berapa lama mereka berjalan. Berjam-jam. Dan dari kabar tentang kerusuhan besar hari itu dan keesokan harinya, dan esoknya lagi, sebuah sajak terlintas di kepalanya.
"Tapi saya bukan penyair yang reaktif," ujar penyair itu. Maka, dua tahun kemudian barulah sajak itu ia rampungkan. Sajak itu berjudul "Mei", saya bertemu sajak itu di "Di Bawah Kibarang Sarung" (IndonesiaTera).
Kenapa "Mei"? "Karena kata itu kan pemaknaannya bisa ambigu, antara Mei seabgai nama bulan dan Mei sebagai nama perempuan etnis Tionghoa," katanya. Saya menyukai sajak itu. Sejak mengenalnya, tiap bulan Mei, saya selalu membacanya. Tak banyak - saya bahkan tak pernah menemui - sajak lain yang dengan baik merekam kejadian besar itu.[]