Sunday, May 25, 2008

Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (4)

Oleh Hasan Aspahani

4. Antara Jantung dan Payudara


BUAT saya, amat menarik bila bisa menemukan satu dua kata yang pada satu kurun waktu tertentu digemari oleh seorang penyair. Digemari, maksudnya, ia amat suka memakai kata itu dari sajak ke sajak. Mungkin ini sebuah kesengajaan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan kekhasan sajak-sajaknya, mungkin pula itu sebuah ketidaksadaran - saya suka menyebutnya sebagai sebuah dorongan motif gaib.

Yang terbaik tentu saja apabila satu dua kata itu menjadi lain penampilannya di dalam sajak-sajaknya, dibandingkan dengan kehadirannya di luar sajak atau di sajak dari penyair lain. Saya kira Joko Pinurbo adalah contoh terbaik. Cobalah lihat lagi bagaimana dia menghadirkan kata-kata yang sangat ia gemari: "kuburan", "ranjang", "kamar mandi, dan tentu saja "celana".


Saya baca sekilas, saya tangkap beberapa kata yang kerap muncul dalam sajak-sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu ini. Saya lalu telusuri lebih teliti akhirnya saya menemukan dua kata (dan sinonimnya) bersama-sama muncul tak kurang dari 35 kali. Kata itu adalah "jantung" dan "payudara" (bersama "susu" dan "dada").

Kata "jantung" bisa kita temukan misalnya pada bait-bait:

- sebutir jantung hitam legam atau merah (Kunang-kunang, hal. 5)
- memilin-milinnya mencari jantungnya (Gerabah, hal. 8)
- sebab daun itu berdegup seperti jantungmu (Daun Bianglala, hal. 10)
- tapi kau mencari jantung kata (Semu, 20)
- agar kain kami seterang jantungmu (Kain Sigli, 45)
- terurai jantung dari tangkai (Ladang Jagung, 56)
- sampai jantungmu serimbun bara (Mawar Terjauh, hal. 62)
- sambil seperti mencuci jantung sendiri (Burung Merak, 66)
- dll.

Dan Nirwan menghadirkan "payudara" dan kata seartinya misalnya pada bait:

- dan si anak kunci ke celah payudaramu (Gong, hal. 13)
- memar seperti payudaramu (Apel, hal. 15)
- siang memekik di antara kedua susunya (Torso Pualam, hal. 16)
- Maka ia perindah sepasang payudara itu (Torso Pualam, hal. 16)
- Membawa wajah dan payudaramu ke arah siang (Torso Pualam, hal. 17)
- kukucup payudara betina ... (Ular, 22)
- percayalah telah kususui sepasang kembar itu... (Ular, 22)
- yang mencari dada paling bernafsu (Akuarium, 24)
- lekas ia terakan namaku pada kedua susumu (Gandrung Campuhan, hal 39)
- dll.

Dalam pengamatan saya yang "separuh membaca dan separuh buta" ini, "jantung" dan "payudara" juga kata-kata lain, terlalu sering hanya dihadirkan sebagai mana adanya. Tidak ada peluang untuk memberi makna lain pada kata-kata itu. Operasi persajakannya adalah: bagian-bagian tubuh favoritnya itu dihadirkan sebagai mana adanya atau (khususnya untuk "jantung") dipinjamkan ke benda-benda lain yang bukan manusia.

Nirwan beda dengan Jokpin. Jokpin amat suka dan berhasil menghidupkan benda-benda mati, mempersonifikasikannya. Nirwan tidak. Ia memakai jurus itu juga, tapi tidak terlalu menonjol. Nirwan berbeda dengan Afrizal Malna, sebab persajakan Afrizal dijalankan seakan-akan dengan sebuah sistem yang ia rancang khas, sistem yang mapan dan kemudian kata apapun atau tema apapun yang hendak ia sajakkan akan tunduk pada sistem persajakannya itu.

Nirwan tampaknya memang tidak ingin mengandalkan kekhasan sajak-sajaknya pada kata-kata tertentu saja, meskipun entah ia sadari atau tidak, ada kata yang amat sering tampil dalam sajak-sajaknya, contohnya ya dua kata tadi.

Ia tampaknya tidak ingin dengan sengaja bergantung pada satu dua buah kata. Ia mengandalkan sajak-sajaknya pada kekuatan komposisi kalimat. Ia seorang yang memerhatikan arsitektur, dan ketika menata ruang-ruang di dalam sajaknya gairahnya berkurang. Ibarat kata, dia sudah berhasil membangun gedung yang arsitekturnya kompleks, berliku-liku. Dia merasa tidak lagi harus terlalu cerewet menata pencahayaan di ruang-ruang bangunan itu, dia tidak lagi ingin menggantungkan satu dua lukisan di dinding-dinding dalam gedungnya. Atau meletakkan pot bunga di beberapa sudut ruangan sajaknya. Itu bukan kegenitan, asal dilakukan dengan perhitungan yang tepat dan tidak berlebihan.

Atau baginya, desain interior itu adalah bagian yang terpisahkan dari arsitektur, maka detail ruang sajak-sajaknya selesai tertata ketika komponen pokok bangunan dibangun. Ibaratnya, gedung-gedung persajakannya itu memang sah selesai. Pemborong teken laporan, dan dapat bayaran. Tak ada lagi dinding yang dibiarkan menampakkan bata telanjang. Megah. Mewah. Tetapi pintunya yang gagah itu tampak selalu tertutup. Ditambah lagi, tak ada jalan ke pintunya, apakah orang yang lalu lalang di jalan depan rumah itu akan tertarik untuk singgah dan masuk? Mungkin dia akan bilang, "ah buat apa menerima para tamu buta?" (bersambung)