Oleh Hasan Aspahani
7. Dari Cacing ke Lebah Ratu
KENAPA seorang penyair bisa membenci sajak-sajaknya? Kenapa penyair bisa ingin melupakan karya yang pernah ia tulis? Atau bahkan menganggap tidak pernah ada dan kemudian menghancurkannya saja?
Ada berbagai alasan. Banyak penyair kita melakukan tindakan itu. Sutardji memusnahkan sajak-sajak awalnya sebelum sajak yang terkumpul dalam O, Amuk, Kapak. Sapardi tidak ingin lagi mengingat sajak-sajak yang ia tulis di awal masa pencarian jati diri kepenyairannya. Afrizal Malna membuang sajak-sajaknya ketika dulu ia merasa jauh lebih bisa menikmati sajak orang lain daripada sajak-sajaknya itu.
Sebelum menerbitkan Jantung Lebah Ratu, Nirwan Dewanto punya manuskrip Buku Cacing. Kumpulan sajak yang ia tulis sepanjang 1983-1986. Dalam wawancara di blog Ook Nugroho ia menyebutkan pernah membacakan sajak itu di Taman Ismail Marzuki, 19 Juni 1987. Acara baca puisi itu bertajuk "Tiga Penyair Bandung".
Saya ingat cerita Afrizal Malna dalam seminar di Festival Kesenian Yogyakarta 2007. Demi membantu Nirwan yang ingin mengganti sajak-sajak yang hendak dibaca esok harinya, suatu malam Afrizal nekat memanjat dan menjebol plafon teater Arena TIM, dan menstensil ulang sajak-sajak Nirwan yang lain. "Tanyakan saja ke dia," kata Afrizal mengenang cerita itu.
Afrizal berseloroh tira-kira dengan kalimat ini, "kalau tidak mau membaca sajak-sajak itu kenapa diserahkan ke panitia."
Nirwan mungkin memang orang yang penuh pertimbangan, dengan kata lain peragu, atau dia seperti katanya memang "terlalu kritis terhadap diri sendiri". Ia keras pada diri sendiri. Itulah sebabnya], ia mungkin gamang mengambil keputusan. Tampil di TIM? Pada tahun-tahun itu? Tentu itu sebuah catatan bersejarah bagi kepenyairannya. Bisa dimengerti kenapa ia gamang dan meminta Afrizal untuk memanjat plafon.
Kegamangan itulah saya kira yang membuat kenapa Buku Cacing tidak pernah terbit. Saya tidak pernah mendapatkan dan membaca manuskrip itu. Zen Hae dalam ulasannya di Suplemen Ruang Baca edisi ke 50, Koran Tempo, Mei 2008 lalu menyebutkan sajak-sajak dalam buku itu pekat dengan surealisme. Dan Nirwan menganggap manuskrip itu sebagai masa lalu yang hendak ia tolak, tapi ternyata hadir kembali. Baginya buku itu mungkin ada juga nilainya karena katanya kepada Ook, "...tak sedikit orang yang masih berminat dengan sejumlah sajak yang termaktub di dalamnya."
Tapi tak seperti Sutardji, Sapardi, dan Afrizal, Nirwan tidak hendak memusnahkan sajak-sajak yang hendak ia tolak itu. Kelak, katanya, jika ia membuat himpunan sajak lengkap atau sajak terpilih, ia pasti akan menyertakan sejumlah sajak dari manuskrip itu, tentu, katanya pula, dengan sedikit revisi di sana-sini.
Ia tidak ingin memusnahkan sajak-sajaknya itu, sajak-sajak yang pada saat ia tulis membawannya memasuki dunia puisi Indonesia, walaupun sajak-sajak yang pernah nyaris diterbitkannya itu pernah membuat ia ingin membunuh di penyair yang hidup dalam dirinya. Itulah yang memadamkan hasratnya menerbitkan Buku Cacing.
Ia justru banyak membuang puisi-puisinya - puisi yang membuat ia muak dengan apa yang ia capai - setelah memulai percobaan dengan puisi lagi sejak pertengahan 2004, dan terus menulis dengan penuh gairah sepanjang tahun 2005-2007 sampai ia tak ragu lagi menerbitkan buku Jantung Lebah Ratu.
Adakah faktor lain? Mari kita lihat bagaimana ia ditampilkan atau menampilkan diri di International Writing Program (IWP) University of Iowa. Di situs IWP, Nirwan disebut memiliki (has) bukan telah menerbitkan (has published) satu buku kumpulan esei, satu kumpulan puisi Buku Cacing, dan "dalam waktu dekat" akan menerbitkan buku Perenang Buta. Di buku Jantung Lebah Ratu, ia terakan keterangan bahwa buku itu diselesaikan selama ia berhimpun sepanjang musim semi di IWP. Ya, Perenang Buta adalah Jantung Lebah Ratu. Di situs itu juga ditampilkan contoh karya-karya Nirwan yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, sajak-sajak yang pernah terbit di Kompas (!).
Ada masalah di sini? Mungkin. IWP adalah tempat berhimpun para sastrawan yang masih aktif menulis dan di situsnya disebutkan sejumlah persyaratan, antara lain sudah menerbitkan minimal sebuah buku (puisi, novel atau kumpulan cerpen - kumpulan esei tidak dihitung) atau setara dengan sejumlah karya yang terbit media lain (jurnal, majalah, dan antologi - surat kabar tidak disebutkan).
Dan dengan bekal sebuah kumpulan esei, manuskrip yang belum terbit, serta sebuah rencana buku, Nirwan mewakili sastrawan dan sastra Indonesia berhimpun di Iowa. Dalam pada itulah, saya bisa mengerti kenapa Saut Situmorang menggugat dan mempersoalkannya keberangkatannya. Jangan-jangan "Jantung Lebah Ratu" terbit karena ... ah, betapa saya semakin buta, membaca buku puisi kok tidak melihat hanya pada sajak-sajak yang ada di dalamnya.... (bersambung)