Oleh Hasan Aspahani
SAYA sedang membaca buku Nirwan Dewanto Jantung Lebah Ratu (Gramedia, 2008). Berikut ini hasil bacaan saya yang tentu saja personal sekali. Saya tak tahu apakah ini sejenis kritik atau bukan. Saya membaca dengan bekal teori sastra yang nyaris nol. Memang, saya membaca beberapa buku teori puisi, tapi di kepala saya, teori-teori itu tidak tersusun sistematis. Ibarat tukang, kotak perkakas kritik saya berantakan dan tidak saya urus dengan baik. Gergaji saya tumpul, palu saya ringan, pahat saya tipis dan sering bengkok kalau saya terlalu keras menggebuk kepalanya. Demikianlah. Saya ingin tulisan ini sampai tiga belas bagian. Kenapa tiga belas? Ah, Anda pasti tahu, atau nantilah di akhir tulisan saya beri tahu.
1. Adakah ketegangan dalam diri seorang yang dikenal sebagai kritikus (penilai puisi) dan sekaligus sebagai penyair (penghasil puisi)?
Saya melihat ketegangan itu ada pada Nirwan Dewanto. Peran ganda itu bukan sebuah kesalahan. Banyak yang melakoni keduanya sekaligus dengan sangat baik.
Kita mengenal T.S. Eliot, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Subagio Sastrowardoyo, Arief B Prasetyo, dan juga Nirwan Dewanto. Kita bisa menilai nama-nama penyair itu berat ke mana: lebih kuat sebagai penyairkah, atau sebagai kritikus, atau pada kedua peran itu dia sama kuat. Nirwan lebih dahulu saya kenal sebagai kritikus yang hebat, jeli dan kritiknya penting. Lewat dia saya dapat ide tentang pembacaan-jauh-pembacaan-dekat, bersikap kritis terhadap sejarah sastra, dan tertantang menjajal stamina menyajak dengan sajak-sajak panjang.
Saya nyaman saja menerima Nirwan sebagai kritikus dan menyimak kritik-kritiknya. Bertahun-tahun mengenalnya sebagai kritikus, saya belum juga bertemu Nirwan yang penyair. Saya belum pernah membaca sajak-sajaknya, sampai kemudian - bagi saya seperti tiba-tiba - sajaknya muncul di Kompas, 2005.
Pertemuan pertama saya dengan sajaknya tidak semengesankan seperti pertemuan pertama saya dengan sajak-sajak Joko Pinurbo saat saya membeli buku Celana, pada tahun 2000 di Pekanbaru, atau jauh sebelumnya ketika saya pertama kali bertemu sajak-sajak Sapardi Djoko Damono DukaMu Abadi pada tahun 1988 di Balikpapan.
Kenapa tidak mengesankan saya? Pasti karena saya sudah terlebih dahulu mengenal dia sebagai kritikus yang tajam. Saya misalnya mencatat dan mengingat pada suatu akhir tahun dia membuat peta perpuisian Indonesia. Ujarnya, penyair Indonesia dalam kurun waktu itu amat bergantung pada Sapardi, bahkan pada terjemahan-terjemahan Sapardi. Dengan ulasan yang meyakinkan dia bilagn, penyair-penyair pada tahun itu, hanya menyederhanakan gaya ucap Sapardi atau sebaliknya merumit-rumitkannya.
Nirwan juga pernah menulis tentang hakikat melihat dan menilai sajak lewat kompleksitasnya (bukan kerumitan) dan sekaligus keutuhannya. Belakangan saya menebak itu adalah ukuran yang dipakai oleh aliran Kritik Baru.
Dia juga yang pada suatu waktu di akhir tahun menulis tidak ada yang permai dalam pemandangan sepanjang perjalanan sastra Indonesia di tahun itu. Dia bilang memilih menempuh jalan yang tidak nyaman, jalan yang berduri. Orang yang ia sanjung di tahun lalu, bisa ia mentahkan di tahun berikutnya. Kritik-kritik Nirwan saya kira memang ia tulis karena diminta oleh media utama di negeri ini. Artinya, apa yang dia laporkan memang dipercaya oleh pengelola media utama itu dan dianggap layak dijadikan acuan untuk perjalan sastra tahun berikutnya.
Ada kesan di mata saya, eh ternyata orang yang hebat sebagai kritikus itu sajak-sajaknya ternyata "begitu-begitu saja". Maksud "begitu-begitu saja" tentu tidak dibandingkan dengan penyair lain yang aktif menulis saat ini apalagi dengan sajak-sajak saya. Saya membandingkannya dengan harapan saya atas sajak-sajaknya yang kadung terlampau tinggi saya letakkan. Singkat kata di mata saya Nirwan kritikus jauh lebih kuat daripada Nirwan penyair.(bersambung)