Oleh Hasan Aspahani
9. Nirwan, di bawah Kibaran GM
DENGAN amat yakin, Nirwan pernah memetakan kepenyairan Indonesia. Dia letakkan seorang penyair senior pada satu tempat, dan kemudian di sekitarnya ia tebarkan nama-nama penyair yang datang lebih kemudian. Si A hanya menjenuhkan si senior itu, si B menyederhanakannya. Si C bahkan amat bergantung sampai ke sajak-sajak terjemahan si senior itu.
Saya selalu mengingat peta Nirwan itu. Saya sempat bertanya kepada beberapa nama yang ia terakan pada peta itu. Dan ketika membaca sajak-sajaknya dalam buku Jantung Lebah Ratu, kenapa saya jadi teringat peta itu? Tapi kali ini dengan penyair senior lain sebagai patokan dan Nirwan sebagai bayang-bayangnya. Sajak-sajak Nirwan saya rasakan berada dalam wilayah bayang-bayang Goenawan Mohamad.
1. Nirwan gemar menyebut nama-nama kota dari berbagai belahan dunia dengan tujuan dan gaya mencomot yang nyaris sama. Semacam alusi itukah?
2. Nirwan suka menyandarkan bangunan cerita sajaknya pada cerita-cerita lama dengan modus yang juga seperti Goenawan.
3. Pada beberapa sajak, dia juga tidak konsisten menjaga ejaan "gerimis" atau "grimis" sama seperti Goenawan.
4. Dan kenapa sajak Nirwan "Selendang Sutra" itu mengingatkanku pada "Gerbong-Gerbong Senja" Goenawan? Apakah karena suasana stasiun dan nama Yogya disebut-sebut?
5. Keasyikan Nirwan menata rima dalam kwatrin-kwatrinya, kenapa pula membawa saya pada suasana kwatrin-kwatrin Goenawan?
6. Dan sajak "Gerabah" dengan bait "..penjaga pintu gerbang / yang akan menjadi wujudnya / supaya tampak baka", ah, kenapa tak bisa saya lepaskan dari bait terkenal itu "...sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi. Nirwan di mata saya seperti hanya mencari cara lain untuk mengucapkan hal yang sama.
7. Lalu kenapa "pelepah pisah" dalam sajak "Dongeng" Goenawan kutemukan juga di sajak Nirwan (ada "pelepah pisang" di "Burung Hantu")?
8. Juga sebutan pada nama Marti, yang siapa lagi kalau bukan José Julián Martí Pérez (1853–1895) pemimpin gerakan kemerdekaan Spanyol yang dikenal juga sebagai penyair.
9. Dan apa bedanya "setengah-buta" di sajak "Sirkus" GM, dengan "separuh-buta" di sajak "Semu" Nirwan?
10. Kata bentukan "akanan" yang tak bisa tidak mengingatkan pada kejelian Chairil, membentuk kata dengan kekhasannya, tetapi kemudian dipakai oleh GM di salah satu sajaknya, eh juga diberdayakan oleh Nirwan.
11. Ah, saya terlalu cerewet, kalau masih juga menambah panjang daftar ini....
Tentu kata-kata itu bukan milik GM, tapi, maksud saya, tidakkah Nirwan ingin menghindari sekecil apapun kemungkinan, agar dia tidak termakan kritiknya sendiri, tak bisa lepas dari bayang-bayang penyair sebelum dia? Tidakkah dia ingin "membunuh" Goenawan Mohamad dalam sajaknya seperti sarannya agar Sapardi juga "dibunuh" beramai-ramai? (bersambung)
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, May 30, 2008
Thursday, May 29, 2008
Ode bagi Kritik II
Sajak Pablo Neruda
Aku menyentuh bukuku
buku yang
padat-penuh,
utuh,
memiuh
seperti kapal putih,
setengah tengadah
seperti segar mawar rekah,
di mataku
ia seperti
sebuah mesin-pintal,
dari tiap lembaran
halaman-halaman
menunas kembang-roti;
Aku terbutakan oleh cahaya mata-sendiri,
Aku tak bisa tak
berpuas sendiri,
kaki-kakiku tak lagi menapak
aku melangkah
di hampar awan,
lalu,
datang kau kerabat kritik,
engkau bawa aku kembali
turun ke bumi,
ada sebuah kata
terpapar ke depanku tiba-tiba
betapa banyak yang tak terampungkan,
sejauh mana aku bisa pergi
dengan kekuatan dan kelembutan,
berlayar dengan lagu perahuku.
Aku kembali menjadi lebih manusia,
tercerahkan,
kuraih apa yang kupunya
dan segala yang juga kau punya,
semua perjalananmu
melintasi bumi,
segalanya di matamu
telah pernah terlihat;
segala tempur-gempur
hari ke hari bertarung hati
terpacak tegak di sisiku,
dan ketika kujunjung serbu
laguku,
kembang-roti itu tercium lebih manis.
Aku lalu berkata, terima kasih
kritik,
pengubah cemerlang dunia,
ilmu pasti sejati,
tanda
kecepatan, pelumas
bagi roda kemanusian abadi,
pedang emas,
batu pijak
dari struktur.
Kritik, kau bukan pembawa
surat tebal, keculasan
menetes
dari iri-cemburu,
tikaman sabit besar,
atau ambiguitas,
cacing meliuk-melingkar
pada pahit biji kopi,
kau juga bukan bagian dari rencana
penelan pedang tua dan kaum kerabatnya
bukan pula ekor
yang culas
ular naga feodal
mencambukkan dua cabangnya yang elok.
Kritik, engkau
adalah ulur tangan
pertolongan,
gelembung di permukaan, noktah di baja,
denyut yang amat kukenal
Dengan hidup yang sekali hanya
aku tak akan cukup dapat pelajaran.
Dengan terang dari hidup orang lain
banyak kehidupan terhidupkan pada laguku.
Kembang-Roti (Valaris solanaceae)
Aku menyentuh bukuku
buku yang
padat-penuh,
utuh,
memiuh
seperti kapal putih,
setengah tengadah
seperti segar mawar rekah,
di mataku
ia seperti
sebuah mesin-pintal,
dari tiap lembaran
halaman-halaman
menunas kembang-roti;
Aku terbutakan oleh cahaya mata-sendiri,
Aku tak bisa tak
berpuas sendiri,
kaki-kakiku tak lagi menapak
aku melangkah
di hampar awan,
lalu,
datang kau kerabat kritik,
engkau bawa aku kembali
turun ke bumi,
ada sebuah kata
terpapar ke depanku tiba-tiba
betapa banyak yang tak terampungkan,
sejauh mana aku bisa pergi
dengan kekuatan dan kelembutan,
berlayar dengan lagu perahuku.
Aku kembali menjadi lebih manusia,
tercerahkan,
kuraih apa yang kupunya
dan segala yang juga kau punya,
semua perjalananmu
melintasi bumi,
segalanya di matamu
telah pernah terlihat;
segala tempur-gempur
hari ke hari bertarung hati
terpacak tegak di sisiku,
dan ketika kujunjung serbu
laguku,
kembang-roti itu tercium lebih manis.
Aku lalu berkata, terima kasih
kritik,
pengubah cemerlang dunia,
ilmu pasti sejati,
tanda
kecepatan, pelumas
bagi roda kemanusian abadi,
pedang emas,
batu pijak
dari struktur.
Kritik, kau bukan pembawa
surat tebal, keculasan
menetes
dari iri-cemburu,
tikaman sabit besar,
atau ambiguitas,
cacing meliuk-melingkar
pada pahit biji kopi,
kau juga bukan bagian dari rencana
penelan pedang tua dan kaum kerabatnya
bukan pula ekor
yang culas
ular naga feodal
mencambukkan dua cabangnya yang elok.
Kritik, engkau
adalah ulur tangan
pertolongan,
gelembung di permukaan, noktah di baja,
denyut yang amat kukenal
Dengan hidup yang sekali hanya
aku tak akan cukup dapat pelajaran.
Dengan terang dari hidup orang lain
banyak kehidupan terhidupkan pada laguku.
Kembang-Roti (Valaris solanaceae)
Wednesday, May 28, 2008
Ode bagi Kritik I
Sajak Pablo Neruda
Aku tuliskan lima sajak:
sesajak hijau,
yang lain sebantal roti gandum,
yang ketiga berupa rumah, bangunan,
yang keempat sebentuk cincin,
dan yang kelima
ringkas seperti kilas kilat,
dan ketika aku tuntas menuliskan
sajak-sajak itu telah menandai
niat menyajakku.
Begitulah, kemudian, lelaki
dan perempuan
datang dan mengambili,
segala hal ihwal sederhana itu,
lirih-sepoi, angin, sinar, liat, kayu,
dan dengan benda-benda biasa itu
menyusun
dinding, lantai dan mimpi-mimpi.
Pada satu larik puisiku
mereka keringkan pakaian basah.
Mereka santap kata-kataku
bagi jamuan makan malam,
mereka gantungkan
di ujung ranjang,
mereka hidup bersama puisi,
bersama cahaya yang lepas dari sisiku.
Lalu
datanglah kritikus bisu,
datanglah juga lidah-lidah penuh celoteh,
lalu yang lain, semakin berdatangan,
ada yang buta, ada yang melihat segala-gala,
beberapa dari mereka tegak-gagah
seperti anyelir bersepatu merah-cerah,
yang lain datang dengan pakaian
seperti mayat-mayat ,
yang lain datang sebagai pendukung
raja dan monarki yang mereka muliakan,
yang lain terjerat
di alis mata Marx
dan menendangkan kakinya ke janggut tebal itu,
beberapa mereka orang Inggris,
Inggris yang datar dan sederhana,
dan di antara mereka
mereka bersiasat
dengan gigi dan pisau,
dengan kamus dan senjata rahasia lainnya,
dengan kutipan yang dihebat-hebatkan
mereka bersiasat
untuk meringkus sajakku yang lugu
dari orang-orang biasa
yang mencintai sajak-sajakku itu.
Mereka menjebak dan memerangkap sajakku,
mereka menggulungnya dalam gulungan,
mereka menjaga dengan ratusan jarum
mereka bungkus dengan debu tengkorak,
mereka benamkan dalam tinta,
mereka ludahi dengan
kesantunan seekor kucing,
mereka pakai itu untuk membungkus jam,
mereka peluk dan mereka kutuk
mereka perdagangkan dengan minyak mentah,
mereka persembahkan pada tulisan panjang yang lembab,
mereka didihkan dengan susu,
mereka sirami dengan koral,
dan dalam prosesnya terhapuslah huruf hidup,
suku kata dan tandabaca
nyaris saja membunuhnya,
mereka remukkan dan ikatkan dalam
bungkusan kecil,
lalu dengan hati-hati mengalamatkan
ke loteng dan pemakaman,
lalu,
satu per satu mereka istirah,
marah pada kegilaan
karena saya tidak terlalu mereka kenal,
atau penuh dengan cacimaki
karena betapa samar bayang-bayangku,
lalu mereka tinggalkan,
mereka semua pergi,
dan kemudian,
sekali lagi,
lelaki dan perempuan
datang dan hidup
bersama sajakku,
sekali lagi
mereka menyalakan api,
membangun rumah,
membakar roti,
mereka membagi terang
dan dalam cinta menggabungkan
kilat cahaya dengan cincin.
Dan sekarang,
tuan-tuan, bila engkau perkenankan
aku menjeda cerita ini
aku berita tahukan,
saya akan ambil cuti untuk hidup
selamanya
bersama orang-orang yang sederhana.
Aku tuliskan lima sajak:
sesajak hijau,
yang lain sebantal roti gandum,
yang ketiga berupa rumah, bangunan,
yang keempat sebentuk cincin,
dan yang kelima
ringkas seperti kilas kilat,
dan ketika aku tuntas menuliskan
sajak-sajak itu telah menandai
niat menyajakku.
Begitulah, kemudian, lelaki
dan perempuan
datang dan mengambili,
segala hal ihwal sederhana itu,
lirih-sepoi, angin, sinar, liat, kayu,
dan dengan benda-benda biasa itu
menyusun
dinding, lantai dan mimpi-mimpi.
Pada satu larik puisiku
mereka keringkan pakaian basah.
Mereka santap kata-kataku
bagi jamuan makan malam,
mereka gantungkan
di ujung ranjang,
mereka hidup bersama puisi,
bersama cahaya yang lepas dari sisiku.
Lalu
datanglah kritikus bisu,
datanglah juga lidah-lidah penuh celoteh,
lalu yang lain, semakin berdatangan,
ada yang buta, ada yang melihat segala-gala,
beberapa dari mereka tegak-gagah
seperti anyelir bersepatu merah-cerah,
yang lain datang dengan pakaian
seperti mayat-mayat ,
yang lain datang sebagai pendukung
raja dan monarki yang mereka muliakan,
yang lain terjerat
di alis mata Marx
dan menendangkan kakinya ke janggut tebal itu,
beberapa mereka orang Inggris,
Inggris yang datar dan sederhana,
dan di antara mereka
mereka bersiasat
dengan gigi dan pisau,
dengan kamus dan senjata rahasia lainnya,
dengan kutipan yang dihebat-hebatkan
mereka bersiasat
untuk meringkus sajakku yang lugu
dari orang-orang biasa
yang mencintai sajak-sajakku itu.
Mereka menjebak dan memerangkap sajakku,
mereka menggulungnya dalam gulungan,
mereka menjaga dengan ratusan jarum
mereka bungkus dengan debu tengkorak,
mereka benamkan dalam tinta,
mereka ludahi dengan
kesantunan seekor kucing,
mereka pakai itu untuk membungkus jam,
mereka peluk dan mereka kutuk
mereka perdagangkan dengan minyak mentah,
mereka persembahkan pada tulisan panjang yang lembab,
mereka didihkan dengan susu,
mereka sirami dengan koral,
dan dalam prosesnya terhapuslah huruf hidup,
suku kata dan tandabaca
nyaris saja membunuhnya,
mereka remukkan dan ikatkan dalam
bungkusan kecil,
lalu dengan hati-hati mengalamatkan
ke loteng dan pemakaman,
lalu,
satu per satu mereka istirah,
marah pada kegilaan
karena saya tidak terlalu mereka kenal,
atau penuh dengan cacimaki
karena betapa samar bayang-bayangku,
lalu mereka tinggalkan,
mereka semua pergi,
dan kemudian,
sekali lagi,
lelaki dan perempuan
datang dan hidup
bersama sajakku,
sekali lagi
mereka menyalakan api,
membangun rumah,
membakar roti,
mereka membagi terang
dan dalam cinta menggabungkan
kilat cahaya dengan cincin.
Dan sekarang,
tuan-tuan, bila engkau perkenankan
aku menjeda cerita ini
aku berita tahukan,
saya akan ambil cuti untuk hidup
selamanya
bersama orang-orang yang sederhana.
Tuesday, May 27, 2008
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (8)
8. Sejumlah Pertanyaan
dan Pilihan Jawaban
untuk Tuan Nirwan
Sajak Hasan Aspahani
1. Jika ada lagi sebuah Kongres Kebudayaan
    dan Tuan diminta untuk menggelar pembicaraan,
    maka makalah yang hendak Tuan sampaikan...:
a. Senjakala Kebudayaan atau Kebudayaan Senjakala
b. Sejarah Kesastraan atau Kesastraan Sejarah
c. Beginilah Cara Terbaik Membunuh Sapardi!
2. - Kritik itu ditulis dengan ujung duri,
    - Puisi itu ditulis pada ujung duri.
    Nah, Tuan, dua bagian kalimat itu berasal dari?
a. Sepenggal dari Bon Jovi, Sepenggal dari
    Ismail Marzuki.
b. Setengah dari T.S. Eliot, sisanya dari T.S. Pinang
c. Tidak, tidak dari mana-mana. Itu hanya
    ada dalam sajak ini saja.
3. Manakah bait berikut ini yang tidak berasal dari
    buku Jantung Lebah Ratu, buku Tuan itu?
a. Aku akan memuja Ilmu Hayat dan mengutuk ilmu Bumi
b. Puisi ditulis dengan ludah, daftar menu dengan darah,
    dan kitab undang-undang dengan ter murah.
c. Aku mendalami Geologi, tapi terjerumus ke dalam
    Ilmu Surat dan Sirat.
4. Berikut ini judul-judul sajak yang membuka jalan bagi
    sajak-sajak Tuan Nirwan, yang manakah yang bukan:
a. Spongebob Squarepant
b. Squid and Handkerchief
c. The Owl dan Water Birds
5. Tak semua bait susu berasal dari sajak-sajak Tuan. Yang
    manakah yang bukan itu?
a. Lekas ia terakan namaku pada kedua susumu.
b. Berapa merah lingkar susu Marylin Monroe, Mao?
c. Kilau kunang kunang-kunang di puncak susumu.
6. Bila Tuan menerbitkan kumpulan esei lagi, maka
    judulnya adalah:
a. Oh, Richard, Siapa Takut Richard Oh!
b. Dengar, Wahai Orang-orang, Aku Menyahut
    Saut Situmorang.
c. Stoberi, Mangga, Apel buat Wowok Hesti Prabowo.
7. Siapakah yang pada tahun tahun nanti
    berangkat ke Iowa mewakili Indonesia?
a. Dia, lalu dia, setelah itu dia, dan dia.
b. Ya, dialah, siapa lagi kalau bukan dia!
c. Dia? Ah, masa sih dia? Siapa sih dia?
dan Pilihan Jawaban
untuk Tuan Nirwan
Sajak Hasan Aspahani
1. Jika ada lagi sebuah Kongres Kebudayaan
    dan Tuan diminta untuk menggelar pembicaraan,
    maka makalah yang hendak Tuan sampaikan...:
a. Senjakala Kebudayaan atau Kebudayaan Senjakala
b. Sejarah Kesastraan atau Kesastraan Sejarah
c. Beginilah Cara Terbaik Membunuh Sapardi!
2. - Kritik itu ditulis dengan ujung duri,
    - Puisi itu ditulis pada ujung duri.
    Nah, Tuan, dua bagian kalimat itu berasal dari?
a. Sepenggal dari Bon Jovi, Sepenggal dari
    Ismail Marzuki.
b. Setengah dari T.S. Eliot, sisanya dari T.S. Pinang
c. Tidak, tidak dari mana-mana. Itu hanya
    ada dalam sajak ini saja.
3. Manakah bait berikut ini yang tidak berasal dari
    buku Jantung Lebah Ratu, buku Tuan itu?
a. Aku akan memuja Ilmu Hayat dan mengutuk ilmu Bumi
b. Puisi ditulis dengan ludah, daftar menu dengan darah,
    dan kitab undang-undang dengan ter murah.
c. Aku mendalami Geologi, tapi terjerumus ke dalam
    Ilmu Surat dan Sirat.
4. Berikut ini judul-judul sajak yang membuka jalan bagi
    sajak-sajak Tuan Nirwan, yang manakah yang bukan:
a. Spongebob Squarepant
b. Squid and Handkerchief
c. The Owl dan Water Birds
5. Tak semua bait susu berasal dari sajak-sajak Tuan. Yang
    manakah yang bukan itu?
a. Lekas ia terakan namaku pada kedua susumu.
b. Berapa merah lingkar susu Marylin Monroe, Mao?
c. Kilau kunang kunang-kunang di puncak susumu.
6. Bila Tuan menerbitkan kumpulan esei lagi, maka
    judulnya adalah:
a. Oh, Richard, Siapa Takut Richard Oh!
b. Dengar, Wahai Orang-orang, Aku Menyahut
    Saut Situmorang.
c. Stoberi, Mangga, Apel buat Wowok Hesti Prabowo.
7. Siapakah yang pada tahun tahun nanti
    berangkat ke Iowa mewakili Indonesia?
a. Dia, lalu dia, setelah itu dia, dan dia.
b. Ya, dialah, siapa lagi kalau bukan dia!
c. Dia? Ah, masa sih dia? Siapa sih dia?
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (7)
Oleh Hasan Aspahani
7. Dari Cacing ke Lebah Ratu
KENAPA seorang penyair bisa membenci sajak-sajaknya? Kenapa penyair bisa ingin melupakan karya yang pernah ia tulis? Atau bahkan menganggap tidak pernah ada dan kemudian menghancurkannya saja?
Ada berbagai alasan. Banyak penyair kita melakukan tindakan itu. Sutardji memusnahkan sajak-sajak awalnya sebelum sajak yang terkumpul dalam O, Amuk, Kapak. Sapardi tidak ingin lagi mengingat sajak-sajak yang ia tulis di awal masa pencarian jati diri kepenyairannya. Afrizal Malna membuang sajak-sajaknya ketika dulu ia merasa jauh lebih bisa menikmati sajak orang lain daripada sajak-sajaknya itu.
Sebelum menerbitkan Jantung Lebah Ratu, Nirwan Dewanto punya manuskrip Buku Cacing. Kumpulan sajak yang ia tulis sepanjang 1983-1986. Dalam wawancara di blog Ook Nugroho ia menyebutkan pernah membacakan sajak itu di Taman Ismail Marzuki, 19 Juni 1987. Acara baca puisi itu bertajuk "Tiga Penyair Bandung".
Saya ingat cerita Afrizal Malna dalam seminar di Festival Kesenian Yogyakarta 2007. Demi membantu Nirwan yang ingin mengganti sajak-sajak yang hendak dibaca esok harinya, suatu malam Afrizal nekat memanjat dan menjebol plafon teater Arena TIM, dan menstensil ulang sajak-sajak Nirwan yang lain. "Tanyakan saja ke dia," kata Afrizal mengenang cerita itu.
Afrizal berseloroh tira-kira dengan kalimat ini, "kalau tidak mau membaca sajak-sajak itu kenapa diserahkan ke panitia."
Nirwan mungkin memang orang yang penuh pertimbangan, dengan kata lain peragu, atau dia seperti katanya memang "terlalu kritis terhadap diri sendiri". Ia keras pada diri sendiri. Itulah sebabnya], ia mungkin gamang mengambil keputusan. Tampil di TIM? Pada tahun-tahun itu? Tentu itu sebuah catatan bersejarah bagi kepenyairannya. Bisa dimengerti kenapa ia gamang dan meminta Afrizal untuk memanjat plafon.
Kegamangan itulah saya kira yang membuat kenapa Buku Cacing tidak pernah terbit. Saya tidak pernah mendapatkan dan membaca manuskrip itu. Zen Hae dalam ulasannya di Suplemen Ruang Baca edisi ke 50, Koran Tempo, Mei 2008 lalu menyebutkan sajak-sajak dalam buku itu pekat dengan surealisme. Dan Nirwan menganggap manuskrip itu sebagai masa lalu yang hendak ia tolak, tapi ternyata hadir kembali. Baginya buku itu mungkin ada juga nilainya karena katanya kepada Ook, "...tak sedikit orang yang masih berminat dengan sejumlah sajak yang termaktub di dalamnya."
Tapi tak seperti Sutardji, Sapardi, dan Afrizal, Nirwan tidak hendak memusnahkan sajak-sajak yang hendak ia tolak itu. Kelak, katanya, jika ia membuat himpunan sajak lengkap atau sajak terpilih, ia pasti akan menyertakan sejumlah sajak dari manuskrip itu, tentu, katanya pula, dengan sedikit revisi di sana-sini.
Ia tidak ingin memusnahkan sajak-sajaknya itu, sajak-sajak yang pada saat ia tulis membawannya memasuki dunia puisi Indonesia, walaupun sajak-sajak yang pernah nyaris diterbitkannya itu pernah membuat ia ingin membunuh di penyair yang hidup dalam dirinya. Itulah yang memadamkan hasratnya menerbitkan Buku Cacing.
Ia justru banyak membuang puisi-puisinya - puisi yang membuat ia muak dengan apa yang ia capai - setelah memulai percobaan dengan puisi lagi sejak pertengahan 2004, dan terus menulis dengan penuh gairah sepanjang tahun 2005-2007 sampai ia tak ragu lagi menerbitkan buku Jantung Lebah Ratu.
Adakah faktor lain? Mari kita lihat bagaimana ia ditampilkan atau menampilkan diri di International Writing Program (IWP) University of Iowa. Di situs IWP, Nirwan disebut memiliki (has) bukan telah menerbitkan (has published) satu buku kumpulan esei, satu kumpulan puisi Buku Cacing, dan "dalam waktu dekat" akan menerbitkan buku Perenang Buta. Di buku Jantung Lebah Ratu, ia terakan keterangan bahwa buku itu diselesaikan selama ia berhimpun sepanjang musim semi di IWP. Ya, Perenang Buta adalah Jantung Lebah Ratu. Di situs itu juga ditampilkan contoh karya-karya Nirwan yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, sajak-sajak yang pernah terbit di Kompas (!).
Ada masalah di sini? Mungkin. IWP adalah tempat berhimpun para sastrawan yang masih aktif menulis dan di situsnya disebutkan sejumlah persyaratan, antara lain sudah menerbitkan minimal sebuah buku (puisi, novel atau kumpulan cerpen - kumpulan esei tidak dihitung) atau setara dengan sejumlah karya yang terbit media lain (jurnal, majalah, dan antologi - surat kabar tidak disebutkan).
Dan dengan bekal sebuah kumpulan esei, manuskrip yang belum terbit, serta sebuah rencana buku, Nirwan mewakili sastrawan dan sastra Indonesia berhimpun di Iowa. Dalam pada itulah, saya bisa mengerti kenapa Saut Situmorang menggugat dan mempersoalkannya keberangkatannya. Jangan-jangan "Jantung Lebah Ratu" terbit karena ... ah, betapa saya semakin buta, membaca buku puisi kok tidak melihat hanya pada sajak-sajak yang ada di dalamnya.... (bersambung)
7. Dari Cacing ke Lebah Ratu
KENAPA seorang penyair bisa membenci sajak-sajaknya? Kenapa penyair bisa ingin melupakan karya yang pernah ia tulis? Atau bahkan menganggap tidak pernah ada dan kemudian menghancurkannya saja?
Ada berbagai alasan. Banyak penyair kita melakukan tindakan itu. Sutardji memusnahkan sajak-sajak awalnya sebelum sajak yang terkumpul dalam O, Amuk, Kapak. Sapardi tidak ingin lagi mengingat sajak-sajak yang ia tulis di awal masa pencarian jati diri kepenyairannya. Afrizal Malna membuang sajak-sajaknya ketika dulu ia merasa jauh lebih bisa menikmati sajak orang lain daripada sajak-sajaknya itu.
Sebelum menerbitkan Jantung Lebah Ratu, Nirwan Dewanto punya manuskrip Buku Cacing. Kumpulan sajak yang ia tulis sepanjang 1983-1986. Dalam wawancara di blog Ook Nugroho ia menyebutkan pernah membacakan sajak itu di Taman Ismail Marzuki, 19 Juni 1987. Acara baca puisi itu bertajuk "Tiga Penyair Bandung".
Saya ingat cerita Afrizal Malna dalam seminar di Festival Kesenian Yogyakarta 2007. Demi membantu Nirwan yang ingin mengganti sajak-sajak yang hendak dibaca esok harinya, suatu malam Afrizal nekat memanjat dan menjebol plafon teater Arena TIM, dan menstensil ulang sajak-sajak Nirwan yang lain. "Tanyakan saja ke dia," kata Afrizal mengenang cerita itu.
Afrizal berseloroh tira-kira dengan kalimat ini, "kalau tidak mau membaca sajak-sajak itu kenapa diserahkan ke panitia."
Nirwan mungkin memang orang yang penuh pertimbangan, dengan kata lain peragu, atau dia seperti katanya memang "terlalu kritis terhadap diri sendiri". Ia keras pada diri sendiri. Itulah sebabnya], ia mungkin gamang mengambil keputusan. Tampil di TIM? Pada tahun-tahun itu? Tentu itu sebuah catatan bersejarah bagi kepenyairannya. Bisa dimengerti kenapa ia gamang dan meminta Afrizal untuk memanjat plafon.
Kegamangan itulah saya kira yang membuat kenapa Buku Cacing tidak pernah terbit. Saya tidak pernah mendapatkan dan membaca manuskrip itu. Zen Hae dalam ulasannya di Suplemen Ruang Baca edisi ke 50, Koran Tempo, Mei 2008 lalu menyebutkan sajak-sajak dalam buku itu pekat dengan surealisme. Dan Nirwan menganggap manuskrip itu sebagai masa lalu yang hendak ia tolak, tapi ternyata hadir kembali. Baginya buku itu mungkin ada juga nilainya karena katanya kepada Ook, "...tak sedikit orang yang masih berminat dengan sejumlah sajak yang termaktub di dalamnya."
Tapi tak seperti Sutardji, Sapardi, dan Afrizal, Nirwan tidak hendak memusnahkan sajak-sajak yang hendak ia tolak itu. Kelak, katanya, jika ia membuat himpunan sajak lengkap atau sajak terpilih, ia pasti akan menyertakan sejumlah sajak dari manuskrip itu, tentu, katanya pula, dengan sedikit revisi di sana-sini.
Ia tidak ingin memusnahkan sajak-sajaknya itu, sajak-sajak yang pada saat ia tulis membawannya memasuki dunia puisi Indonesia, walaupun sajak-sajak yang pernah nyaris diterbitkannya itu pernah membuat ia ingin membunuh di penyair yang hidup dalam dirinya. Itulah yang memadamkan hasratnya menerbitkan Buku Cacing.
Ia justru banyak membuang puisi-puisinya - puisi yang membuat ia muak dengan apa yang ia capai - setelah memulai percobaan dengan puisi lagi sejak pertengahan 2004, dan terus menulis dengan penuh gairah sepanjang tahun 2005-2007 sampai ia tak ragu lagi menerbitkan buku Jantung Lebah Ratu.
Adakah faktor lain? Mari kita lihat bagaimana ia ditampilkan atau menampilkan diri di International Writing Program (IWP) University of Iowa. Di situs IWP, Nirwan disebut memiliki (has) bukan telah menerbitkan (has published) satu buku kumpulan esei, satu kumpulan puisi Buku Cacing, dan "dalam waktu dekat" akan menerbitkan buku Perenang Buta. Di buku Jantung Lebah Ratu, ia terakan keterangan bahwa buku itu diselesaikan selama ia berhimpun sepanjang musim semi di IWP. Ya, Perenang Buta adalah Jantung Lebah Ratu. Di situs itu juga ditampilkan contoh karya-karya Nirwan yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, sajak-sajak yang pernah terbit di Kompas (!).
Ada masalah di sini? Mungkin. IWP adalah tempat berhimpun para sastrawan yang masih aktif menulis dan di situsnya disebutkan sejumlah persyaratan, antara lain sudah menerbitkan minimal sebuah buku (puisi, novel atau kumpulan cerpen - kumpulan esei tidak dihitung) atau setara dengan sejumlah karya yang terbit media lain (jurnal, majalah, dan antologi - surat kabar tidak disebutkan).
Dan dengan bekal sebuah kumpulan esei, manuskrip yang belum terbit, serta sebuah rencana buku, Nirwan mewakili sastrawan dan sastra Indonesia berhimpun di Iowa. Dalam pada itulah, saya bisa mengerti kenapa Saut Situmorang menggugat dan mempersoalkannya keberangkatannya. Jangan-jangan "Jantung Lebah Ratu" terbit karena ... ah, betapa saya semakin buta, membaca buku puisi kok tidak melihat hanya pada sajak-sajak yang ada di dalamnya.... (bersambung)
Monday, May 26, 2008
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (6)
Oleh Hasan Aspahani
6. Bertemu Nirwan yang Lelah di Blog Ook
SIAPA dulu yang suka merendahkan sastra di internet sekarang mesti mengakui bahwa cemoohnya salah. Cobalah Anda sekarang berkunjung ke blog penyair Ook Nugroho. Klik arsip bulan April. Ada serial tulisan yang secara bersambung memuat wawancara si penyair dengan Nirwan Dewanto tentang buku Jantung Lebah Ratu. Saya tidak bisa membayangkan wawancara itu terbit di surat-kabar atau majalah sastra selekas dan sepanjang itu.
Wawancara diselenggarakan lewat e-mail. Saya kira itulah satu-satunya kelemahan wawancara itu: jawaban Nirwan dan pertanyaan Ook jadi satu arah. Ook tidak bisa mengejar bila ada jawaban Nirwan yang harus ia kejar. Lepas dari kelemahan itu saya ingin bilang itu adalah sebuah wawancara yang amat baik. Setaraflah mungkin ia dengan wawancara dengan para sastrawan dunia di jurnal Paris Review. Wawancara sebelum buku Jantung Lebah Ratu terbit, buat saya sangat bermanfaat sebagai persiapan sebelum membaca sajak-sajak dalam buku itu.
Kata Nirwan dalam wawancara itu, "Sesungguhnya saya lelah berkomentar terhadap situasi kesastraan kita. Saya harus membuat pernyatan dalam bentuk lain. Pernyataan yang paling konkret. Yaitu, Jantung Lebah Ratu.
Nah, menarik, bukan? Himpunan puisi Nirwan yang sedang kita bicarakan ini ternyata juga dimaksudkan sebagai pelengkap, atau bentuk lain dari pernyataannya, dengan kata lain kritik-kritiknya atas perpuisian kita. Nirwan kali ini mengkritik dengan puisinya, kritik yang lebih konkret. Apakah dengan demikian, dengan puisi-puisinya Nirwan ingin bicara, "wahai, beginilah puisi kita seharusnya"?
Saya kira agar tidak sia-sia, pernyataan konkret itu perlu kita sambut dengan gegap gempita, agar Nirwan tidak tambah lelah. Saya menyambutnya denga dengan serangkaian tulisan ini, tetapi saya mesti tambahkan bahwa tulisan ini mungkin paling pas dianggap seperti tindakan seorang bocah keponakan yang memijat kaki dan pundak pamannya yang kelelahan. Tentu hanya tukang pijat sejati yang tahu dan bagaimana mengembalikan urat si paman yang terbelit, tulang yang nyeri, dan otot yang kejang-kejang.
Dalam wawancara itu Nirwan bicara banyak. Tetapi ternyata baginya itu tidak banyak. "Rangkaian jawaban saya terhadap sejumlah pertanyaan Anda sekarang barulah sebagian kecil dari apa yang bisa saya utarakan tentang puisi saya dan perpuisian pada umumnya," katanya.
Nirwan ingin segera punya blog atau situsweb- ini perlu juga diikuti oleh para pencomooh sastra internet - agar bisa menuliskan hal-hal yang "tidaklah mungkin dimuat di media massa atau jurnal sastra manapun". Itu tentu saja bagus, dan perlu kita persiapkan sambutan yang lebih gegap gempita, sambil kita abaikan kecemasannya, ketika dia bilang, "jangan-jangan kalau saya bicara lebih banyak, orang akan membaca puisi saya melalui pernyataan saya atau biografi saya".(bersambung)
6. Bertemu Nirwan yang Lelah di Blog Ook
SIAPA dulu yang suka merendahkan sastra di internet sekarang mesti mengakui bahwa cemoohnya salah. Cobalah Anda sekarang berkunjung ke blog penyair Ook Nugroho. Klik arsip bulan April. Ada serial tulisan yang secara bersambung memuat wawancara si penyair dengan Nirwan Dewanto tentang buku Jantung Lebah Ratu. Saya tidak bisa membayangkan wawancara itu terbit di surat-kabar atau majalah sastra selekas dan sepanjang itu.
Wawancara diselenggarakan lewat e-mail. Saya kira itulah satu-satunya kelemahan wawancara itu: jawaban Nirwan dan pertanyaan Ook jadi satu arah. Ook tidak bisa mengejar bila ada jawaban Nirwan yang harus ia kejar. Lepas dari kelemahan itu saya ingin bilang itu adalah sebuah wawancara yang amat baik. Setaraflah mungkin ia dengan wawancara dengan para sastrawan dunia di jurnal Paris Review. Wawancara sebelum buku Jantung Lebah Ratu terbit, buat saya sangat bermanfaat sebagai persiapan sebelum membaca sajak-sajak dalam buku itu.
Kata Nirwan dalam wawancara itu, "Sesungguhnya saya lelah berkomentar terhadap situasi kesastraan kita. Saya harus membuat pernyatan dalam bentuk lain. Pernyataan yang paling konkret. Yaitu, Jantung Lebah Ratu.
Nah, menarik, bukan? Himpunan puisi Nirwan yang sedang kita bicarakan ini ternyata juga dimaksudkan sebagai pelengkap, atau bentuk lain dari pernyataannya, dengan kata lain kritik-kritiknya atas perpuisian kita. Nirwan kali ini mengkritik dengan puisinya, kritik yang lebih konkret. Apakah dengan demikian, dengan puisi-puisinya Nirwan ingin bicara, "wahai, beginilah puisi kita seharusnya"?
Saya kira agar tidak sia-sia, pernyataan konkret itu perlu kita sambut dengan gegap gempita, agar Nirwan tidak tambah lelah. Saya menyambutnya denga dengan serangkaian tulisan ini, tetapi saya mesti tambahkan bahwa tulisan ini mungkin paling pas dianggap seperti tindakan seorang bocah keponakan yang memijat kaki dan pundak pamannya yang kelelahan. Tentu hanya tukang pijat sejati yang tahu dan bagaimana mengembalikan urat si paman yang terbelit, tulang yang nyeri, dan otot yang kejang-kejang.
Dalam wawancara itu Nirwan bicara banyak. Tetapi ternyata baginya itu tidak banyak. "Rangkaian jawaban saya terhadap sejumlah pertanyaan Anda sekarang barulah sebagian kecil dari apa yang bisa saya utarakan tentang puisi saya dan perpuisian pada umumnya," katanya.
Nirwan ingin segera punya blog atau situsweb- ini perlu juga diikuti oleh para pencomooh sastra internet - agar bisa menuliskan hal-hal yang "tidaklah mungkin dimuat di media massa atau jurnal sastra manapun". Itu tentu saja bagus, dan perlu kita persiapkan sambutan yang lebih gegap gempita, sambil kita abaikan kecemasannya, ketika dia bilang, "jangan-jangan kalau saya bicara lebih banyak, orang akan membaca puisi saya melalui pernyataan saya atau biografi saya".(bersambung)
Lepas dari Nafas, Luput dari Selimut
KENAPA di teras ini terhambur sayap-sayap laron,
terang padam, tak pernah berjelaga tabung neon
SIAPA mendengar lenguh-lengah lepas dari nafas,
ada yang mesti luput, dari 4 sudut, sudut selimut
LALU terbawa jua nyanyi, mendengari diri sendiri
"...aku menjaga perasaan ini.." Ah, itu bait Yovie
terang padam, tak pernah berjelaga tabung neon
SIAPA mendengar lenguh-lengah lepas dari nafas,
ada yang mesti luput, dari 4 sudut, sudut selimut
LALU terbawa jua nyanyi, mendengari diri sendiri
"...aku menjaga perasaan ini.." Ah, itu bait Yovie
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (5)
Oleh Hasan Aspahani
5. Nirwan Takut pada Dewanto?
RICARD OH, penggagas Khatulistiwa Literary Award menulis esei Siapa Takut Nirwan Dewanto, Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra , di Bentara Kompas, 6 Oktober 2004, kutipannya: ...Saya juga ingin pecinta sastra di negeri ini tidak ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas yang sering mengintelektualkan sastra.
Apakah Nirwan Dewanto memang suka menakut-nakuti para pecinta sastra? Takutkah para pecinta sastra itu ketika Nirwan menakut-nakuti mereka? Siapa pecinta sastra yang takut pada Nirwan?
Di Jurnal Kebudayaan Kalam Nomor 18 tahun 2001 ada sebuah pengantar redaksi. Saya kira itu ditulis oleh Nirwan Dewanto sebab pada edisi itu dialah yang menjadi Ketua Redaksi. Walaupun bukan dia yang menulis, paling tidak dia setuju dengan isi pengantar itu. Di situ tertulis: ...tak sedikit puisi mutakhir kita yang berambisi menjadi "filsafat". Ada misalnya sebuah sajak yang menjenuhkan diri sekian kata benda abstrak seperti kekokohan, kebenarah, kegelisahan, kesangsian, kesadaran, kekecewaan dan lantaran itu ia gagap menyajikan degupnya, hidupnya yang inderawi.
Masih dari pengantar itu: ...Ada banyak pula puisi yang melakukan jungkir balik dalam semantik dan gramatika, konon itu sebuah upaya dekonstruksi. Gagah berlindung di balik licentia poetica? Ternyata semua itu hanya puisi yang gagal bersandar pada kekuatan kata, imaji dan bunyi. Mungkin lantaran kelewat bersemangat memburu apa yang "serius", yang "besar", dan yang "baru", si puisi justru terjatuh ke dalam gelap. Puisi yang ruwet, bukan kompleks (nah, ini kerap diulang-ulang Nirwan dalam berbagai kesempatan, HAH). Lagi-lagi memudarnya keterampilan berbahasa.
Pengantar itu ditutup dengan sebuah paragraf yang berisi pengulangan peringatan: para penulis tak lebih dari perajin. Hanya dengan berlaku tajam-ironis kepada diri sendiri, para perajin yang telanjur terhormat itu mampu bekerja sewajarnya sebagai mana teman-temannya sebidang di penjuru mana pun.
Pada paragraf penutup itu pula disebutkan bahwa dalam khazanah sastra "nasional" Indonesia, ambisi untuk pembaruan sudah jadi ritus kosong dan hasrat untuk berguna bagi orang banyak hanya jadi klise berkepanjangan. Itu sebabnya, penulis harus sadar bahwa dia tak lebih dari perajin!
Buku himpunan puisi Nirwan Jantung Lebah Ratu pada satu sisi saya kira dengan baik mewujudkan hasratnya mengejawantakan kalimat-kalimat di atas. Ia ingin membuktikan bahwa dia adalah hanya seorang perajin puisi, ia tidak berhasrat mengejar kebaruan, ia tidak ingin sajak-sajaknya berguna bagi orang banyak. Lantas apa gunanya berkarya jika sama sekali tidak ingin menawarkan kebaruan? Apa salahnya bila penyair memelihara hasrat untuk menghasilkan karya yang "baru", "serius", dan "besar"? Saya kadang tidak mengerti juga kritik-kritik Nirwan. Bagaimana misalnya seorang penulis-perajin harus berlaku tajam-ironis pada diri sendiri agar bisa bekerja wajar? Apakah bekerja wajar itu kelak akan menghasilkan karya yang wajar-wajar saja?
Dan, buku itu pada sisi lain, bisa juga saya lihat sebagai wujud betapa takut dan tegang Nirwan Penyair menghadapi Nirwan Kritikus. Nirwan Penyair terlalu memperhitungkan kritik-kritik Nirwan Kritikus. Nirwan Penyair sibuk mematut-matut diri di depan cermin kritik Nirwan Kritikus. Nirwan Kritikus telah memperlakukan Nirwan Penyair dengan tajam-ironis, dan hasilnya bukan keleluasaan kerja dan kewajaran karya, tetapi ketegangan kerja dan kekikukan karya.
Setelah membaca sajak-sajak Nirwan, serangkaian pertanyaan terbit di kepala saya: siapakah yang bisa membela Nirwan bahwa dia tidak kena pasal-pasal yang ia sering ceramahkan? Siapa yang bisa membuktikan bahwa sajak-sajak Nirwan tidak ruwet tetapi kompleks? Dan tidak terjatuh ke dalam gelap? (bersambung)
5. Nirwan Takut pada Dewanto?
RICARD OH, penggagas Khatulistiwa Literary Award menulis esei Siapa Takut Nirwan Dewanto, Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra , di Bentara Kompas, 6 Oktober 2004, kutipannya: ...Saya juga ingin pecinta sastra di negeri ini tidak ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas yang sering mengintelektualkan sastra.
Apakah Nirwan Dewanto memang suka menakut-nakuti para pecinta sastra? Takutkah para pecinta sastra itu ketika Nirwan menakut-nakuti mereka? Siapa pecinta sastra yang takut pada Nirwan?
Di Jurnal Kebudayaan Kalam Nomor 18 tahun 2001 ada sebuah pengantar redaksi. Saya kira itu ditulis oleh Nirwan Dewanto sebab pada edisi itu dialah yang menjadi Ketua Redaksi. Walaupun bukan dia yang menulis, paling tidak dia setuju dengan isi pengantar itu. Di situ tertulis: ...tak sedikit puisi mutakhir kita yang berambisi menjadi "filsafat". Ada misalnya sebuah sajak yang menjenuhkan diri sekian kata benda abstrak seperti kekokohan, kebenarah, kegelisahan, kesangsian, kesadaran, kekecewaan dan lantaran itu ia gagap menyajikan degupnya, hidupnya yang inderawi.
Masih dari pengantar itu: ...Ada banyak pula puisi yang melakukan jungkir balik dalam semantik dan gramatika, konon itu sebuah upaya dekonstruksi. Gagah berlindung di balik licentia poetica? Ternyata semua itu hanya puisi yang gagal bersandar pada kekuatan kata, imaji dan bunyi. Mungkin lantaran kelewat bersemangat memburu apa yang "serius", yang "besar", dan yang "baru", si puisi justru terjatuh ke dalam gelap. Puisi yang ruwet, bukan kompleks (nah, ini kerap diulang-ulang Nirwan dalam berbagai kesempatan, HAH). Lagi-lagi memudarnya keterampilan berbahasa.
Pengantar itu ditutup dengan sebuah paragraf yang berisi pengulangan peringatan: para penulis tak lebih dari perajin. Hanya dengan berlaku tajam-ironis kepada diri sendiri, para perajin yang telanjur terhormat itu mampu bekerja sewajarnya sebagai mana teman-temannya sebidang di penjuru mana pun.
Pada paragraf penutup itu pula disebutkan bahwa dalam khazanah sastra "nasional" Indonesia, ambisi untuk pembaruan sudah jadi ritus kosong dan hasrat untuk berguna bagi orang banyak hanya jadi klise berkepanjangan. Itu sebabnya, penulis harus sadar bahwa dia tak lebih dari perajin!
Buku himpunan puisi Nirwan Jantung Lebah Ratu pada satu sisi saya kira dengan baik mewujudkan hasratnya mengejawantakan kalimat-kalimat di atas. Ia ingin membuktikan bahwa dia adalah hanya seorang perajin puisi, ia tidak berhasrat mengejar kebaruan, ia tidak ingin sajak-sajaknya berguna bagi orang banyak. Lantas apa gunanya berkarya jika sama sekali tidak ingin menawarkan kebaruan? Apa salahnya bila penyair memelihara hasrat untuk menghasilkan karya yang "baru", "serius", dan "besar"? Saya kadang tidak mengerti juga kritik-kritik Nirwan. Bagaimana misalnya seorang penulis-perajin harus berlaku tajam-ironis pada diri sendiri agar bisa bekerja wajar? Apakah bekerja wajar itu kelak akan menghasilkan karya yang wajar-wajar saja?
Dan, buku itu pada sisi lain, bisa juga saya lihat sebagai wujud betapa takut dan tegang Nirwan Penyair menghadapi Nirwan Kritikus. Nirwan Penyair terlalu memperhitungkan kritik-kritik Nirwan Kritikus. Nirwan Penyair sibuk mematut-matut diri di depan cermin kritik Nirwan Kritikus. Nirwan Kritikus telah memperlakukan Nirwan Penyair dengan tajam-ironis, dan hasilnya bukan keleluasaan kerja dan kewajaran karya, tetapi ketegangan kerja dan kekikukan karya.
Setelah membaca sajak-sajak Nirwan, serangkaian pertanyaan terbit di kepala saya: siapakah yang bisa membela Nirwan bahwa dia tidak kena pasal-pasal yang ia sering ceramahkan? Siapa yang bisa membuktikan bahwa sajak-sajak Nirwan tidak ruwet tetapi kompleks? Dan tidak terjatuh ke dalam gelap? (bersambung)
Sunday, May 25, 2008
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (4)
Oleh Hasan Aspahani
4. Antara Jantung dan Payudara
BUAT saya, amat menarik bila bisa menemukan satu dua kata yang pada satu kurun waktu tertentu digemari oleh seorang penyair. Digemari, maksudnya, ia amat suka memakai kata itu dari sajak ke sajak. Mungkin ini sebuah kesengajaan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan kekhasan sajak-sajaknya, mungkin pula itu sebuah ketidaksadaran - saya suka menyebutnya sebagai sebuah dorongan motif gaib.
Yang terbaik tentu saja apabila satu dua kata itu menjadi lain penampilannya di dalam sajak-sajaknya, dibandingkan dengan kehadirannya di luar sajak atau di sajak dari penyair lain. Saya kira Joko Pinurbo adalah contoh terbaik. Cobalah lihat lagi bagaimana dia menghadirkan kata-kata yang sangat ia gemari: "kuburan", "ranjang", "kamar mandi, dan tentu saja "celana".
Saya baca sekilas, saya tangkap beberapa kata yang kerap muncul dalam sajak-sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu ini. Saya lalu telusuri lebih teliti akhirnya saya menemukan dua kata (dan sinonimnya) bersama-sama muncul tak kurang dari 35 kali. Kata itu adalah "jantung" dan "payudara" (bersama "susu" dan "dada").
Kata "jantung" bisa kita temukan misalnya pada bait-bait:
- sebutir jantung hitam legam atau merah (Kunang-kunang, hal. 5)
- memilin-milinnya mencari jantungnya (Gerabah, hal. 8)
- sebab daun itu berdegup seperti jantungmu (Daun Bianglala, hal. 10)
- tapi kau mencari jantung kata (Semu, 20)
- agar kain kami seterang jantungmu (Kain Sigli, 45)
- terurai jantung dari tangkai (Ladang Jagung, 56)
- sampai jantungmu serimbun bara (Mawar Terjauh, hal. 62)
- sambil seperti mencuci jantung sendiri (Burung Merak, 66)
- dll.
Dan Nirwan menghadirkan "payudara" dan kata seartinya misalnya pada bait:
- dan si anak kunci ke celah payudaramu (Gong, hal. 13)
- memar seperti payudaramu (Apel, hal. 15)
- siang memekik di antara kedua susunya (Torso Pualam, hal. 16)
- Maka ia perindah sepasang payudara itu (Torso Pualam, hal. 16)
- Membawa wajah dan payudaramu ke arah siang (Torso Pualam, hal. 17)
- kukucup payudara betina ... (Ular, 22)
- percayalah telah kususui sepasang kembar itu... (Ular, 22)
- yang mencari dada paling bernafsu (Akuarium, 24)
- lekas ia terakan namaku pada kedua susumu (Gandrung Campuhan, hal 39)
- dll.
Dalam pengamatan saya yang "separuh membaca dan separuh buta" ini, "jantung" dan "payudara" juga kata-kata lain, terlalu sering hanya dihadirkan sebagai mana adanya. Tidak ada peluang untuk memberi makna lain pada kata-kata itu. Operasi persajakannya adalah: bagian-bagian tubuh favoritnya itu dihadirkan sebagai mana adanya atau (khususnya untuk "jantung") dipinjamkan ke benda-benda lain yang bukan manusia.
Nirwan beda dengan Jokpin. Jokpin amat suka dan berhasil menghidupkan benda-benda mati, mempersonifikasikannya. Nirwan tidak. Ia memakai jurus itu juga, tapi tidak terlalu menonjol. Nirwan berbeda dengan Afrizal Malna, sebab persajakan Afrizal dijalankan seakan-akan dengan sebuah sistem yang ia rancang khas, sistem yang mapan dan kemudian kata apapun atau tema apapun yang hendak ia sajakkan akan tunduk pada sistem persajakannya itu.
Nirwan tampaknya memang tidak ingin mengandalkan kekhasan sajak-sajaknya pada kata-kata tertentu saja, meskipun entah ia sadari atau tidak, ada kata yang amat sering tampil dalam sajak-sajaknya, contohnya ya dua kata tadi.
Ia tampaknya tidak ingin dengan sengaja bergantung pada satu dua buah kata. Ia mengandalkan sajak-sajaknya pada kekuatan komposisi kalimat. Ia seorang yang memerhatikan arsitektur, dan ketika menata ruang-ruang di dalam sajaknya gairahnya berkurang. Ibarat kata, dia sudah berhasil membangun gedung yang arsitekturnya kompleks, berliku-liku. Dia merasa tidak lagi harus terlalu cerewet menata pencahayaan di ruang-ruang bangunan itu, dia tidak lagi ingin menggantungkan satu dua lukisan di dinding-dinding dalam gedungnya. Atau meletakkan pot bunga di beberapa sudut ruangan sajaknya. Itu bukan kegenitan, asal dilakukan dengan perhitungan yang tepat dan tidak berlebihan.
Atau baginya, desain interior itu adalah bagian yang terpisahkan dari arsitektur, maka detail ruang sajak-sajaknya selesai tertata ketika komponen pokok bangunan dibangun. Ibaratnya, gedung-gedung persajakannya itu memang sah selesai. Pemborong teken laporan, dan dapat bayaran. Tak ada lagi dinding yang dibiarkan menampakkan bata telanjang. Megah. Mewah. Tetapi pintunya yang gagah itu tampak selalu tertutup. Ditambah lagi, tak ada jalan ke pintunya, apakah orang yang lalu lalang di jalan depan rumah itu akan tertarik untuk singgah dan masuk? Mungkin dia akan bilang, "ah buat apa menerima para tamu buta?" (bersambung)
4. Antara Jantung dan Payudara
BUAT saya, amat menarik bila bisa menemukan satu dua kata yang pada satu kurun waktu tertentu digemari oleh seorang penyair. Digemari, maksudnya, ia amat suka memakai kata itu dari sajak ke sajak. Mungkin ini sebuah kesengajaan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan kekhasan sajak-sajaknya, mungkin pula itu sebuah ketidaksadaran - saya suka menyebutnya sebagai sebuah dorongan motif gaib.
Yang terbaik tentu saja apabila satu dua kata itu menjadi lain penampilannya di dalam sajak-sajaknya, dibandingkan dengan kehadirannya di luar sajak atau di sajak dari penyair lain. Saya kira Joko Pinurbo adalah contoh terbaik. Cobalah lihat lagi bagaimana dia menghadirkan kata-kata yang sangat ia gemari: "kuburan", "ranjang", "kamar mandi, dan tentu saja "celana".
Saya baca sekilas, saya tangkap beberapa kata yang kerap muncul dalam sajak-sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu ini. Saya lalu telusuri lebih teliti akhirnya saya menemukan dua kata (dan sinonimnya) bersama-sama muncul tak kurang dari 35 kali. Kata itu adalah "jantung" dan "payudara" (bersama "susu" dan "dada").
Kata "jantung" bisa kita temukan misalnya pada bait-bait:
- sebutir jantung hitam legam atau merah (Kunang-kunang, hal. 5)
- memilin-milinnya mencari jantungnya (Gerabah, hal. 8)
- sebab daun itu berdegup seperti jantungmu (Daun Bianglala, hal. 10)
- tapi kau mencari jantung kata (Semu, 20)
- agar kain kami seterang jantungmu (Kain Sigli, 45)
- terurai jantung dari tangkai (Ladang Jagung, 56)
- sampai jantungmu serimbun bara (Mawar Terjauh, hal. 62)
- sambil seperti mencuci jantung sendiri (Burung Merak, 66)
- dll.
Dan Nirwan menghadirkan "payudara" dan kata seartinya misalnya pada bait:
- dan si anak kunci ke celah payudaramu (Gong, hal. 13)
- memar seperti payudaramu (Apel, hal. 15)
- siang memekik di antara kedua susunya (Torso Pualam, hal. 16)
- Maka ia perindah sepasang payudara itu (Torso Pualam, hal. 16)
- Membawa wajah dan payudaramu ke arah siang (Torso Pualam, hal. 17)
- kukucup payudara betina ... (Ular, 22)
- percayalah telah kususui sepasang kembar itu... (Ular, 22)
- yang mencari dada paling bernafsu (Akuarium, 24)
- lekas ia terakan namaku pada kedua susumu (Gandrung Campuhan, hal 39)
- dll.
Dalam pengamatan saya yang "separuh membaca dan separuh buta" ini, "jantung" dan "payudara" juga kata-kata lain, terlalu sering hanya dihadirkan sebagai mana adanya. Tidak ada peluang untuk memberi makna lain pada kata-kata itu. Operasi persajakannya adalah: bagian-bagian tubuh favoritnya itu dihadirkan sebagai mana adanya atau (khususnya untuk "jantung") dipinjamkan ke benda-benda lain yang bukan manusia.
Nirwan beda dengan Jokpin. Jokpin amat suka dan berhasil menghidupkan benda-benda mati, mempersonifikasikannya. Nirwan tidak. Ia memakai jurus itu juga, tapi tidak terlalu menonjol. Nirwan berbeda dengan Afrizal Malna, sebab persajakan Afrizal dijalankan seakan-akan dengan sebuah sistem yang ia rancang khas, sistem yang mapan dan kemudian kata apapun atau tema apapun yang hendak ia sajakkan akan tunduk pada sistem persajakannya itu.
Nirwan tampaknya memang tidak ingin mengandalkan kekhasan sajak-sajaknya pada kata-kata tertentu saja, meskipun entah ia sadari atau tidak, ada kata yang amat sering tampil dalam sajak-sajaknya, contohnya ya dua kata tadi.
Ia tampaknya tidak ingin dengan sengaja bergantung pada satu dua buah kata. Ia mengandalkan sajak-sajaknya pada kekuatan komposisi kalimat. Ia seorang yang memerhatikan arsitektur, dan ketika menata ruang-ruang di dalam sajaknya gairahnya berkurang. Ibarat kata, dia sudah berhasil membangun gedung yang arsitekturnya kompleks, berliku-liku. Dia merasa tidak lagi harus terlalu cerewet menata pencahayaan di ruang-ruang bangunan itu, dia tidak lagi ingin menggantungkan satu dua lukisan di dinding-dinding dalam gedungnya. Atau meletakkan pot bunga di beberapa sudut ruangan sajaknya. Itu bukan kegenitan, asal dilakukan dengan perhitungan yang tepat dan tidak berlebihan.
Atau baginya, desain interior itu adalah bagian yang terpisahkan dari arsitektur, maka detail ruang sajak-sajaknya selesai tertata ketika komponen pokok bangunan dibangun. Ibaratnya, gedung-gedung persajakannya itu memang sah selesai. Pemborong teken laporan, dan dapat bayaran. Tak ada lagi dinding yang dibiarkan menampakkan bata telanjang. Megah. Mewah. Tetapi pintunya yang gagah itu tampak selalu tertutup. Ditambah lagi, tak ada jalan ke pintunya, apakah orang yang lalu lalang di jalan depan rumah itu akan tertarik untuk singgah dan masuk? Mungkin dia akan bilang, "ah buat apa menerima para tamu buta?" (bersambung)
Saturday, May 24, 2008
Jejalur Rel
Sajak Tomas Transtromer
Sinar bulan, 2 a.m., kereta tak lagi beranjak
berhenti di luar jarak. Di luar cahaya semarak,
terang dari kota, mengerdip dingin di cakrawala.
Ketika dia jatuh jauh ke dalam mimpi-mimpi
dia tak akan pernah ingat lagi dia pernah
ada di mimpi mana, ketika dia kembali terjaga.
Atau ketika dia jatuh jauh ke sakit yang aduh,
ketika hari-hari menjadi kerdip-percik cahaya,
sekeriap, sayup, gemetar dingin di cakrawala.
Kereta bergeming, berdiam, segeming-gemingnya,
Pukul 2: sedikit bintang, bulan teramat terang.
.:. Diterjemahkan dari TRACK,
terjemahan ke Bahasa Inggris Oleh Robert Bly)
Sinar bulan, 2 a.m., kereta tak lagi beranjak
berhenti di luar jarak. Di luar cahaya semarak,
terang dari kota, mengerdip dingin di cakrawala.
Ketika dia jatuh jauh ke dalam mimpi-mimpi
dia tak akan pernah ingat lagi dia pernah
ada di mimpi mana, ketika dia kembali terjaga.
Atau ketika dia jatuh jauh ke sakit yang aduh,
ketika hari-hari menjadi kerdip-percik cahaya,
sekeriap, sayup, gemetar dingin di cakrawala.
Kereta bergeming, berdiam, segeming-gemingnya,
Pukul 2: sedikit bintang, bulan teramat terang.
.:. Diterjemahkan dari TRACK,
terjemahan ke Bahasa Inggris Oleh Robert Bly)
Beasiswa Penulisan & Penerjemahan Novel - Majelis Kata Indonesia 2008
Majelis Kata Indonesia merupakan lembaga filantropi yang berikhtiar menumbuhkan dan mewadahi bentuk-bentuk penciptaan sastra yang menggerakkan kritisisme sosial, semangat toleransi, dan kesadaran kebangsaan. Lembaga ini mendorong dan mendukung bentuk-bentuk penciptaan sastra yang memperluas cakrawala memahami kemanusiaan.
.:. Selengkapnya baca DI SINI
.:. Selengkapnya baca DI SINI
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (3)
Oleh Hasan Aspahani
3. Yang Menghindar dan yang Tersandung
PENYAIR kita ini, Nirwan Dewanto, menulis sajak-sajak yang kemudian terhimpun dalam Jantung Lebah Ratu di Jakarta. Ia menetap di Jakarta. Ia berproses di Jakarta. Ia menjalani kehidupan di sana, tentu sambil sesekali bertolak ke kota-kota atau ke dusun-dusun lain. Ia menghirup ruap uap kehidupan kota itu. Ia tentu lebih banyak mengudarai paru-parunya dari atmosfer kota itu.
Buat saya, menjadi sangat penasaran ketika menemui sajak-sajaknya yang sangat tidak mengota. Ia menjauh dan berhasil bebas dari imaji-imaji perkotaan, yang bagi sebagian penyair Jakarta lain pasti sulit, atau memang tidak ingin dihindari.
Nirwan bisa menghindari - mungkin dengan sengaja dan dengan upaya keras - idiom-idiom perkotaan, lalu pasti dengan tenaga mencipta yang luar biasa, kegelisahan yang keras, kecerewetan pada diri sendiri yang nyinyir, kritik-diri yang pedas, ia menarik, mendekatkan, menguasai kata-kata yang rasanya berasal dari khazanah yang jauh dari gapaian tangan kepenyairannya. Satu sisi ini bisa dianggap sebagai sebuah upaya yang berhasil melahirkan ucapan yang berbeda misalnya dengan Binhad Nurrohmat dan Zen Hae dua penyair yang juga sama bermukim di Jakarta.
Binhad pada satu sisi asyik memanfaatkan dan mengolah pengamatannya dan atau penghayatannya atas gaya hidup orang-orang kota. Orang-orang yang risau, bertahan mati-matian, atau larut saja dalam mengikuti pasang-surut arus moralitas-seksualitas. Zen Hae di sisi lain seakan berteriak melihat alam yang tidak alami lagi dan ruwet bahkan rusak. Tengok bagaimana dia menghadirkan matahari dalam sajak-sajaknya selalu dengan tampilan yang tidak beres. Matahari yang rusak.
Nirwan tentu dengan sadar menghindar untuk menempuh jalan Binhad dan Zen Hae. Ini tentu strategi yang ia pertimbangkan dengan matang. Tapi jurus mengelaknya di Jakarta tersandung di tempat lain di waktu lain yang bahkan jauh mendahuluinya. Mari kita bandingkan. Bisakah kita membedakan selang-seling bait-bait kuatrin berikut ini:
a1. Maka membisik burung-burung matahari
di antara degup darah kita.
Pergilah ke rimba, terbangkalah ke udara
ada jendela hari yang belum terbuka.
(Rumput-rumput Bernafas, 2001)
a2. Matamu badam biru dari bawah seprei
- sepasang terakhir kubawa mati -
sambil kupahatkan busur pinggangmu
pada cermin berlumur darah lembu.
(Gandrung Campuhan, 2006)
Juga dua bait berikut ini:
b1. Ketika teluk timur dan perempuan-perempuan
tercabik selendangnya oleh ranting bakau,
sungai siak terisak, menciumi bayang-bayang
desember yang telentang, bau bangkai arang.
(Teluk Timur, 2002)
b2. Lempang pematang oleh mata dara,
terbang kiambang oleh mata buah ara,
tapi tak lagi menjulai malai jantungku
sebab sembunyi darahmu di pucuk meru.
(Madah Merah, 2006)
Bisakah dengan mudah dibedakan yang satu bait siapa dan yang lain bait siapa? Tidakkah kita akan menduga bahwa ini dihasilkan oleh satu penyair yang sama? Bait-bait pertama saya petik dari Marhalim Zaini (Segantang Bintang, Sepasang Bulan; Yayasan Pusaka Riau, 2003), bait pengiring dari Nirwan.
Saya mau bilang, bahwa jurus Nirwan yang menggali ke akar lama untuk mendapatkan ucapan-ucapan baru dalam sajaknya tidak terlalu mempesonakan saya. Kenapa? Karena saya sudah terpukau pada sajak-sajak serupa dari penyair-penyair lain (terutama di Riau) jauh sebelum Nirwan, seperti yang saya contohkan, saya mendapatkan itu dari Marhalim (Lahir di Bengkalis, 1976) penyair Riau yang kala itu masih membangun tapak dasar kepenyairannya dan sedang banyak menetap di Yogyakarta, masih gondrong, kurus, dan belum berkaca mata.
Tidak salah, penyair siapa saja memilih bentuk-bentuk sajak lama itu. Tapi rasanya, buat Nirwan terlalu mudah jika bentuk lama itu diberinya "isi" yang juga "lama", isi yang tidak menawarkan kebaruan.
Di mata saya, Marhalim fasih dengan ucapan itu karena dia memang penutur asli, dan Nirwan walaupun tampak sama fasihnya, di mata saya tetaplah seorang yang memperoleh kafasihan itu lewat kursus dan disiplin diri yang keras, dan saya baru yakin bahwa dia telah lulus dan layak memakai ucapan-ucapan itu bila ia tunjukkan pada saya semacam nilai TOEFL-nya.(bersambung)
Thursday, May 22, 2008
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (bagian-2)
Oleh Hasan Aspahani
2. Meraba-raba Kredo: Semu
ADA penyair yang menulis dengan tegas kredo kepenyairannya, Sutardji misalnya. Ada yang menuliskan alasan-alasan kenapa dia tergerak menulis sajak, Subagio misalnya. Demikian, kita juga bisa mendapatkan bantuan untuk memahami persajakan dan kepenyairan Goenawan lewat "Potret Penyair Sebagai Malin Kundang", Sapardi lewat "Permainan Makna", Rendra lewat "Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair". Joko Pinurbo menunjuk beberapa sajaknya, dan secara khusus bait-bait tertentu dalam sajaknya, sebagai pegangan ia menyajak.
Tidak ada keharusan seorang penyair menuliskan kredo bila yang dimaksud itu menjadi semacam rumus umum sajak-sajak si penyair. Saya percaya kredo atau apapun namanya hanyalah salah satu pintu masuk bagi pembaca untuk menjelajahi sajak-sajak penyairnya.
Tentu tidak bisa kita menganggap atau berharap bahwa kritik-kritik Nirwan atas sajak-sajak Indonesia sebagai tujuan atau panduan dasar bagi sajak-sajak yang ia tulis. Tetapi rasanya juga tidak salah kalau kita berpendapat, bahwa jika Nirwan tahu dengan pasti apa-apa saja cacat dan kurangnya sajak-sajak para penyair Indonesia, maka dia tentu tidak ingin mengulangi, apalagi memperparah cacat dan kekurangan itu.
Saya menemukan sebuah sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu, dan tertarik untuk menganggapnya sebagai sebuah kredo bagi sajak-sajaknya, sikap menyairnya, dan yang paling menarik ada semacam tantangannya terhadap pembaca sajak-sajaknya. Sajak bertahun 2005 itu, berjudul "Semu", halaman 20, bahkan dimulai dengan kata "Puisiku..." di larik pertama, bait pertama.
Puisiku hijau / seperti kulit limau. / Kupaslah, kupaslah / dengan tangan yang lelah / temukan daging kata / bulat sempurna / merah jingga / terpiuh oleh laparmu. / Junjunnglah urat kata dengan lidahmu / sampai menetes darah kata / manis atau masam / atau dendam yang lama terpendam / melukaimu ingin / kecuali jika / lidahmu hampa seperti angin /
Nirwan yakin, atau demikianlah dia meniatkan, bahwa puisinya hijau. Kenapa hijau? Tidak merah? Tidak putih? Atau hitam? Seperti kulit limau. Limau memang hijau. Lalu kenapa tidak merah seperti kulit apel atau tomat? Kenapa tidak kuning seperti kulit jeruk? Kenapa tidak coklat gelap bersisik seperti kulit salak? Mau tidak mau, saya membaca hijau itu sebagai lambang dari kemudaan, kebaruan, kesegaran, dan amat benar rasanya kalau seorang penyair bertekad menawarkan kebaruan, kesegaran pengucapan dalam sajak-sajaknya. Jika tidak, maka buat apa menulis sajak, bukankah hanya akan menambah cacat dan memperparah kekurangan sajak-sajak Indonesia saja.
Nirwan ingin atau percaya sajak-sajaknya seperti limau yang ketika diiris atau dikupas sudah menerbitkan air liur si pengiris atau si pengupas. Dan Nirwan menantang pembaca sajak-sajaknya untuk mengupas sajak-sajaknya, menemukan daging kata (dia yakin sajak-sajaknya berdaging), daging kata yang bulat sempurna (dia yakin sajak-sajaknya utuh), yang berwarna merah jingga (dia yakin isi sajaknya mengejutkan pembacanya, karena berkulit hijau berisi merah jingga). Tetapi, dia seakan tahu bahwa para pembaca sajaknya adalah orang-orang yang lapar memburu kebermaknaan dalam sajak-sajak tetapi mereka adalah orang yang bertangan lelah. Tenaganya tidak penuh. Kemampuan membacanya tidak seperti yang dia harapkan. Nirwan tidak suka pembaca yang lapar tapi lelah itu karena rasa lapar itu memiuhkan atau memuntal atau memilin daging kata sajaknya, akibatnya daging katanya yang bulat sempurna itu tak lagi bulat dan tak lagi sempurna. Nirwan pesimis dengan pembaca sajak-sajaknya.
Tujuh baris sajak "Semu" tadi senada dengan baris-baris berikutnya hingga baris terakhir, baris ke-39. Nirwan bilang, "Puisiku putih kabur seperti cangkang telur." Ia menantang pembaca untuk memecahkannya, dan ia janjikan ada cairan kata yang meradang di dalam telur sajaknya itu, kata yang bening sempurna, tetapi tidak berinti. Aha, ini kuncinya. Tidak berinti. Lalu? Nirwan ingin cairan katanya itu mengalir ke seluruh bumi. Tetapi, lagi-lagi dia tidak memandang cemas pada pembaca sajaknya karena mereka mencari jantung kata, "kuning yang kau anggap milikmu."
Dan Nirwan apakah ia ingin lari dari tanggung-jawab setelah menawarkan hijau kulit limau dan putih kabur kulit telur? Sebab dia bilang, "Maafkan aku, tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah, cangkang telur atau kulit limau hanyalah samaranku."
Jadi, kita tidak bisa berharap menemukan Nirwan dari sajak-sajaknya yang ia tulis. Bahkan puisi-puisinya yang tadi ia serahkan sebagai tantangan kepada pembaca agar dikupas dan dipecahkan untuk menemukan daging dan cairan kata ternyata diakuinya kemudian hanya sebagai samaran. Sebagai persemuan.
Dan dia kemudian dengan tegas mengaku sebagai "...sayap kata yang terbang sendiri, berahi sendiri, hingga hancur aku kau tak bisa menjangkauku, jika pun kau seluas langit lazuardi".
Lihat, betapa Nirwan memang sangat tidak percaya pada pembaca-pembaca sajaknya. Nirwan amat pesimis dengan kemampuan membaca para pembaca sajaknya, jika para pembaca itu, katanya, masih juga "separuh-membaca, separuh-buta". Kata sesungguh kata, tulisnya, tak bisa mengena. Apakah Nirwan ingin bilang hanya dia pembaca sajak yang tidak buta dan bisa membaca sepenuhnya, dan bisa menyampaikan bacaannya pada kata sesungguh kata? Apakah ini peringatan bagi pembaca sajaknya agar lebih cermat membaca? Atau semacam tameng besar untuk sejak awal menahan serangan pada sajak-sajaknya? (bersambung)
2. Meraba-raba Kredo: Semu
ADA penyair yang menulis dengan tegas kredo kepenyairannya, Sutardji misalnya. Ada yang menuliskan alasan-alasan kenapa dia tergerak menulis sajak, Subagio misalnya. Demikian, kita juga bisa mendapatkan bantuan untuk memahami persajakan dan kepenyairan Goenawan lewat "Potret Penyair Sebagai Malin Kundang", Sapardi lewat "Permainan Makna", Rendra lewat "Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair". Joko Pinurbo menunjuk beberapa sajaknya, dan secara khusus bait-bait tertentu dalam sajaknya, sebagai pegangan ia menyajak.
Tidak ada keharusan seorang penyair menuliskan kredo bila yang dimaksud itu menjadi semacam rumus umum sajak-sajak si penyair. Saya percaya kredo atau apapun namanya hanyalah salah satu pintu masuk bagi pembaca untuk menjelajahi sajak-sajak penyairnya.
Tentu tidak bisa kita menganggap atau berharap bahwa kritik-kritik Nirwan atas sajak-sajak Indonesia sebagai tujuan atau panduan dasar bagi sajak-sajak yang ia tulis. Tetapi rasanya juga tidak salah kalau kita berpendapat, bahwa jika Nirwan tahu dengan pasti apa-apa saja cacat dan kurangnya sajak-sajak para penyair Indonesia, maka dia tentu tidak ingin mengulangi, apalagi memperparah cacat dan kekurangan itu.
Saya menemukan sebuah sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu, dan tertarik untuk menganggapnya sebagai sebuah kredo bagi sajak-sajaknya, sikap menyairnya, dan yang paling menarik ada semacam tantangannya terhadap pembaca sajak-sajaknya. Sajak bertahun 2005 itu, berjudul "Semu", halaman 20, bahkan dimulai dengan kata "Puisiku..." di larik pertama, bait pertama.
Puisiku hijau / seperti kulit limau. / Kupaslah, kupaslah / dengan tangan yang lelah / temukan daging kata / bulat sempurna / merah jingga / terpiuh oleh laparmu. / Junjunnglah urat kata dengan lidahmu / sampai menetes darah kata / manis atau masam / atau dendam yang lama terpendam / melukaimu ingin / kecuali jika / lidahmu hampa seperti angin /
Nirwan yakin, atau demikianlah dia meniatkan, bahwa puisinya hijau. Kenapa hijau? Tidak merah? Tidak putih? Atau hitam? Seperti kulit limau. Limau memang hijau. Lalu kenapa tidak merah seperti kulit apel atau tomat? Kenapa tidak kuning seperti kulit jeruk? Kenapa tidak coklat gelap bersisik seperti kulit salak? Mau tidak mau, saya membaca hijau itu sebagai lambang dari kemudaan, kebaruan, kesegaran, dan amat benar rasanya kalau seorang penyair bertekad menawarkan kebaruan, kesegaran pengucapan dalam sajak-sajaknya. Jika tidak, maka buat apa menulis sajak, bukankah hanya akan menambah cacat dan memperparah kekurangan sajak-sajak Indonesia saja.
Nirwan ingin atau percaya sajak-sajaknya seperti limau yang ketika diiris atau dikupas sudah menerbitkan air liur si pengiris atau si pengupas. Dan Nirwan menantang pembaca sajak-sajaknya untuk mengupas sajak-sajaknya, menemukan daging kata (dia yakin sajak-sajaknya berdaging), daging kata yang bulat sempurna (dia yakin sajak-sajaknya utuh), yang berwarna merah jingga (dia yakin isi sajaknya mengejutkan pembacanya, karena berkulit hijau berisi merah jingga). Tetapi, dia seakan tahu bahwa para pembaca sajaknya adalah orang-orang yang lapar memburu kebermaknaan dalam sajak-sajak tetapi mereka adalah orang yang bertangan lelah. Tenaganya tidak penuh. Kemampuan membacanya tidak seperti yang dia harapkan. Nirwan tidak suka pembaca yang lapar tapi lelah itu karena rasa lapar itu memiuhkan atau memuntal atau memilin daging kata sajaknya, akibatnya daging katanya yang bulat sempurna itu tak lagi bulat dan tak lagi sempurna. Nirwan pesimis dengan pembaca sajak-sajaknya.
Tujuh baris sajak "Semu" tadi senada dengan baris-baris berikutnya hingga baris terakhir, baris ke-39. Nirwan bilang, "Puisiku putih kabur seperti cangkang telur." Ia menantang pembaca untuk memecahkannya, dan ia janjikan ada cairan kata yang meradang di dalam telur sajaknya itu, kata yang bening sempurna, tetapi tidak berinti. Aha, ini kuncinya. Tidak berinti. Lalu? Nirwan ingin cairan katanya itu mengalir ke seluruh bumi. Tetapi, lagi-lagi dia tidak memandang cemas pada pembaca sajaknya karena mereka mencari jantung kata, "kuning yang kau anggap milikmu."
Dan Nirwan apakah ia ingin lari dari tanggung-jawab setelah menawarkan hijau kulit limau dan putih kabur kulit telur? Sebab dia bilang, "Maafkan aku, tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah, cangkang telur atau kulit limau hanyalah samaranku."
Jadi, kita tidak bisa berharap menemukan Nirwan dari sajak-sajaknya yang ia tulis. Bahkan puisi-puisinya yang tadi ia serahkan sebagai tantangan kepada pembaca agar dikupas dan dipecahkan untuk menemukan daging dan cairan kata ternyata diakuinya kemudian hanya sebagai samaran. Sebagai persemuan.
Dan dia kemudian dengan tegas mengaku sebagai "...sayap kata yang terbang sendiri, berahi sendiri, hingga hancur aku kau tak bisa menjangkauku, jika pun kau seluas langit lazuardi".
Lihat, betapa Nirwan memang sangat tidak percaya pada pembaca-pembaca sajaknya. Nirwan amat pesimis dengan kemampuan membaca para pembaca sajaknya, jika para pembaca itu, katanya, masih juga "separuh-membaca, separuh-buta". Kata sesungguh kata, tulisnya, tak bisa mengena. Apakah Nirwan ingin bilang hanya dia pembaca sajak yang tidak buta dan bisa membaca sepenuhnya, dan bisa menyampaikan bacaannya pada kata sesungguh kata? Apakah ini peringatan bagi pembaca sajaknya agar lebih cermat membaca? Atau semacam tameng besar untuk sejak awal menahan serangan pada sajak-sajaknya? (bersambung)
Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan
Oleh Hasan Aspahani
SAYA sedang membaca buku Nirwan Dewanto Jantung Lebah Ratu (Gramedia, 2008). Berikut ini hasil bacaan saya yang tentu saja personal sekali. Saya tak tahu apakah ini sejenis kritik atau bukan. Saya membaca dengan bekal teori sastra yang nyaris nol. Memang, saya membaca beberapa buku teori puisi, tapi di kepala saya, teori-teori itu tidak tersusun sistematis. Ibarat tukang, kotak perkakas kritik saya berantakan dan tidak saya urus dengan baik. Gergaji saya tumpul, palu saya ringan, pahat saya tipis dan sering bengkok kalau saya terlalu keras menggebuk kepalanya. Demikianlah. Saya ingin tulisan ini sampai tiga belas bagian. Kenapa tiga belas? Ah, Anda pasti tahu, atau nantilah di akhir tulisan saya beri tahu.
1. Adakah ketegangan dalam diri seorang yang dikenal sebagai kritikus (penilai puisi) dan sekaligus sebagai penyair (penghasil puisi)?
Saya melihat ketegangan itu ada pada Nirwan Dewanto. Peran ganda itu bukan sebuah kesalahan. Banyak yang melakoni keduanya sekaligus dengan sangat baik.
Kita mengenal T.S. Eliot, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Subagio Sastrowardoyo, Arief B Prasetyo, dan juga Nirwan Dewanto. Kita bisa menilai nama-nama penyair itu berat ke mana: lebih kuat sebagai penyairkah, atau sebagai kritikus, atau pada kedua peran itu dia sama kuat. Nirwan lebih dahulu saya kenal sebagai kritikus yang hebat, jeli dan kritiknya penting. Lewat dia saya dapat ide tentang pembacaan-jauh-pembacaan-dekat, bersikap kritis terhadap sejarah sastra, dan tertantang menjajal stamina menyajak dengan sajak-sajak panjang.
Saya nyaman saja menerima Nirwan sebagai kritikus dan menyimak kritik-kritiknya. Bertahun-tahun mengenalnya sebagai kritikus, saya belum juga bertemu Nirwan yang penyair. Saya belum pernah membaca sajak-sajaknya, sampai kemudian - bagi saya seperti tiba-tiba - sajaknya muncul di Kompas, 2005.
Pertemuan pertama saya dengan sajaknya tidak semengesankan seperti pertemuan pertama saya dengan sajak-sajak Joko Pinurbo saat saya membeli buku Celana, pada tahun 2000 di Pekanbaru, atau jauh sebelumnya ketika saya pertama kali bertemu sajak-sajak Sapardi Djoko Damono DukaMu Abadi pada tahun 1988 di Balikpapan.
Kenapa tidak mengesankan saya? Pasti karena saya sudah terlebih dahulu mengenal dia sebagai kritikus yang tajam. Saya misalnya mencatat dan mengingat pada suatu akhir tahun dia membuat peta perpuisian Indonesia. Ujarnya, penyair Indonesia dalam kurun waktu itu amat bergantung pada Sapardi, bahkan pada terjemahan-terjemahan Sapardi. Dengan ulasan yang meyakinkan dia bilagn, penyair-penyair pada tahun itu, hanya menyederhanakan gaya ucap Sapardi atau sebaliknya merumit-rumitkannya.
Nirwan juga pernah menulis tentang hakikat melihat dan menilai sajak lewat kompleksitasnya (bukan kerumitan) dan sekaligus keutuhannya. Belakangan saya menebak itu adalah ukuran yang dipakai oleh aliran Kritik Baru.
Dia juga yang pada suatu waktu di akhir tahun menulis tidak ada yang permai dalam pemandangan sepanjang perjalanan sastra Indonesia di tahun itu. Dia bilang memilih menempuh jalan yang tidak nyaman, jalan yang berduri. Orang yang ia sanjung di tahun lalu, bisa ia mentahkan di tahun berikutnya. Kritik-kritik Nirwan saya kira memang ia tulis karena diminta oleh media utama di negeri ini. Artinya, apa yang dia laporkan memang dipercaya oleh pengelola media utama itu dan dianggap layak dijadikan acuan untuk perjalan sastra tahun berikutnya.
Ada kesan di mata saya, eh ternyata orang yang hebat sebagai kritikus itu sajak-sajaknya ternyata "begitu-begitu saja". Maksud "begitu-begitu saja" tentu tidak dibandingkan dengan penyair lain yang aktif menulis saat ini apalagi dengan sajak-sajak saya. Saya membandingkannya dengan harapan saya atas sajak-sajaknya yang kadung terlampau tinggi saya letakkan. Singkat kata di mata saya Nirwan kritikus jauh lebih kuat daripada Nirwan penyair.(bersambung)
SAYA sedang membaca buku Nirwan Dewanto Jantung Lebah Ratu (Gramedia, 2008). Berikut ini hasil bacaan saya yang tentu saja personal sekali. Saya tak tahu apakah ini sejenis kritik atau bukan. Saya membaca dengan bekal teori sastra yang nyaris nol. Memang, saya membaca beberapa buku teori puisi, tapi di kepala saya, teori-teori itu tidak tersusun sistematis. Ibarat tukang, kotak perkakas kritik saya berantakan dan tidak saya urus dengan baik. Gergaji saya tumpul, palu saya ringan, pahat saya tipis dan sering bengkok kalau saya terlalu keras menggebuk kepalanya. Demikianlah. Saya ingin tulisan ini sampai tiga belas bagian. Kenapa tiga belas? Ah, Anda pasti tahu, atau nantilah di akhir tulisan saya beri tahu.
1. Adakah ketegangan dalam diri seorang yang dikenal sebagai kritikus (penilai puisi) dan sekaligus sebagai penyair (penghasil puisi)?
Saya melihat ketegangan itu ada pada Nirwan Dewanto. Peran ganda itu bukan sebuah kesalahan. Banyak yang melakoni keduanya sekaligus dengan sangat baik.
Kita mengenal T.S. Eliot, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Subagio Sastrowardoyo, Arief B Prasetyo, dan juga Nirwan Dewanto. Kita bisa menilai nama-nama penyair itu berat ke mana: lebih kuat sebagai penyairkah, atau sebagai kritikus, atau pada kedua peran itu dia sama kuat. Nirwan lebih dahulu saya kenal sebagai kritikus yang hebat, jeli dan kritiknya penting. Lewat dia saya dapat ide tentang pembacaan-jauh-pembacaan-dekat, bersikap kritis terhadap sejarah sastra, dan tertantang menjajal stamina menyajak dengan sajak-sajak panjang.
Saya nyaman saja menerima Nirwan sebagai kritikus dan menyimak kritik-kritiknya. Bertahun-tahun mengenalnya sebagai kritikus, saya belum juga bertemu Nirwan yang penyair. Saya belum pernah membaca sajak-sajaknya, sampai kemudian - bagi saya seperti tiba-tiba - sajaknya muncul di Kompas, 2005.
Pertemuan pertama saya dengan sajaknya tidak semengesankan seperti pertemuan pertama saya dengan sajak-sajak Joko Pinurbo saat saya membeli buku Celana, pada tahun 2000 di Pekanbaru, atau jauh sebelumnya ketika saya pertama kali bertemu sajak-sajak Sapardi Djoko Damono DukaMu Abadi pada tahun 1988 di Balikpapan.
Kenapa tidak mengesankan saya? Pasti karena saya sudah terlebih dahulu mengenal dia sebagai kritikus yang tajam. Saya misalnya mencatat dan mengingat pada suatu akhir tahun dia membuat peta perpuisian Indonesia. Ujarnya, penyair Indonesia dalam kurun waktu itu amat bergantung pada Sapardi, bahkan pada terjemahan-terjemahan Sapardi. Dengan ulasan yang meyakinkan dia bilagn, penyair-penyair pada tahun itu, hanya menyederhanakan gaya ucap Sapardi atau sebaliknya merumit-rumitkannya.
Nirwan juga pernah menulis tentang hakikat melihat dan menilai sajak lewat kompleksitasnya (bukan kerumitan) dan sekaligus keutuhannya. Belakangan saya menebak itu adalah ukuran yang dipakai oleh aliran Kritik Baru.
Dia juga yang pada suatu waktu di akhir tahun menulis tidak ada yang permai dalam pemandangan sepanjang perjalanan sastra Indonesia di tahun itu. Dia bilang memilih menempuh jalan yang tidak nyaman, jalan yang berduri. Orang yang ia sanjung di tahun lalu, bisa ia mentahkan di tahun berikutnya. Kritik-kritik Nirwan saya kira memang ia tulis karena diminta oleh media utama di negeri ini. Artinya, apa yang dia laporkan memang dipercaya oleh pengelola media utama itu dan dianggap layak dijadikan acuan untuk perjalan sastra tahun berikutnya.
Ada kesan di mata saya, eh ternyata orang yang hebat sebagai kritikus itu sajak-sajaknya ternyata "begitu-begitu saja". Maksud "begitu-begitu saja" tentu tidak dibandingkan dengan penyair lain yang aktif menulis saat ini apalagi dengan sajak-sajak saya. Saya membandingkannya dengan harapan saya atas sajak-sajaknya yang kadung terlampau tinggi saya letakkan. Singkat kata di mata saya Nirwan kritikus jauh lebih kuat daripada Nirwan penyair.(bersambung)
[Pencerahan # 25 dari 365] Perihal Topeng dan Mencontek
"Ceritakan padaku perihal mencontek, Penyair Guru..."
"Mencontek itu adalah engkau takut dan tidak percaya diri melihat bayangan wajahmu di cermin, lalu kau ambil topeng dari wajah orang lain. Kau merasa nyaman berada di balik topeng itu dan merasa tak bersalah dengan si pemilik topeng itu, tapi apakah kau kira orang lain - terlebih si pemilik wajah - tidak mengenali wajah siapa yang menopengi engkau itu?
Wajahmu adalah wajahmu. Seburuk apapun, pasti di sana ada bagian yang menarik orang lain, daripada engkau harus berlindung di balik topeng dari wajah orang lain. Kapan orang bisa mengenalimu jika kau tak tampilkan dengan jujur wajahmu sendiri?"
"Mencontek itu adalah engkau takut dan tidak percaya diri melihat bayangan wajahmu di cermin, lalu kau ambil topeng dari wajah orang lain. Kau merasa nyaman berada di balik topeng itu dan merasa tak bersalah dengan si pemilik topeng itu, tapi apakah kau kira orang lain - terlebih si pemilik wajah - tidak mengenali wajah siapa yang menopengi engkau itu?
Wajahmu adalah wajahmu. Seburuk apapun, pasti di sana ada bagian yang menarik orang lain, daripada engkau harus berlindung di balik topeng dari wajah orang lain. Kapan orang bisa mengenalimu jika kau tak tampilkan dengan jujur wajahmu sendiri?"
Wednesday, May 21, 2008
Pada Sepoi Malam: Sebuah Rapsodi
Sajak T.S. Eliot
PUKUL dua belas, tepat.
Sepanjang rengkuhan jalan
Bertahan pada sintesa bulan,
Bisik mantra-mantra bulan
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi jelas kini,
Segala memisah, mempertegas diri,
Setiap lelampu jalan yang kulintas
Berdentum bagai tambur kematian,
Tengahmalam menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.
30 menit dari pukul satu,
Lelampu jalan memercik
Lelampu jalan berkata,
"Beri hormat itu perempuan
Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu
pintu yang membuka padanya seperti seringai.
Kau lihat, ujung gaunnya
koyak berlumur pasir
dan kau lihat sudut matanya
mengerling bagai lencana yang dipakai miring.
Kenangan melambung, tinggi dan kering
Kerumun dari yang terpintal-terjalin
Jalinan cecabang di senarai pantai
Terasa hambar dan berkilau
Seperti yang dunia serahkan
Rahasia tulang kerangka
putih dan keras
Selingkar pegas di halaman pabrik
Karat yang merekat, tak lagi ada kuat
Keras melengkung, siap didentang-dentang.
Aku melihat ada kosong di lorong mata bocah itu.
Aku sudah melihat mata di jalan itu
Menatap tajam menembus benderang jendela,
Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam,
Seekor ketam tua, kepah di punggungnya,
Mencengkeram ujung tongkat yang kugenggam.
Pukul tiga, tiga puluh menit,
Lelampu memercik,
Lelampu memberengut dalam gelap.
Gumam lelampu:
"Beri salam pada bulan itu,
La lune ne garde aucune rancune,
Bulan mengerdip, matanya redup,
Bulan tersenyum, ke pencil sudut-sudut.
Bulan mengelus lembut rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah kehilangan kenangan.
Parut cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan menata mawar kertas,
yang menebar aroma debu dan kolonye apak,
Bulan sendiri, dengan seluruh aroma malam
Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenangan pun tiba-tiba tiba
Dari Geranium yang kering di teduh matahari,
Dan menabur di celah karang,
Aroma chesnut menebar di jalan-jalan
Dan aroma perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok di koridor
Dan uap koktail di bar."
Lelampu berkata,
"Pukul empat,
Inilah nomor pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya kuncinya,
Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka; sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,
bersiap untuk hidup esok lagi."
Hunus terakhir sang pisau.
PUKUL dua belas, tepat.
Sepanjang rengkuhan jalan
Bertahan pada sintesa bulan,
Bisik mantra-mantra bulan
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi jelas kini,
Segala memisah, mempertegas diri,
Setiap lelampu jalan yang kulintas
Berdentum bagai tambur kematian,
Tengahmalam menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.
30 menit dari pukul satu,
Lelampu jalan memercik
Lelampu jalan berkata,
"Beri hormat itu perempuan
Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu
pintu yang membuka padanya seperti seringai.
Kau lihat, ujung gaunnya
koyak berlumur pasir
dan kau lihat sudut matanya
mengerling bagai lencana yang dipakai miring.
Kenangan melambung, tinggi dan kering
Kerumun dari yang terpintal-terjalin
Jalinan cecabang di senarai pantai
Terasa hambar dan berkilau
Seperti yang dunia serahkan
Rahasia tulang kerangka
putih dan keras
Selingkar pegas di halaman pabrik
Karat yang merekat, tak lagi ada kuat
Keras melengkung, siap didentang-dentang.
Aku melihat ada kosong di lorong mata bocah itu.
Aku sudah melihat mata di jalan itu
Menatap tajam menembus benderang jendela,
Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam,
Seekor ketam tua, kepah di punggungnya,
Mencengkeram ujung tongkat yang kugenggam.
Pukul tiga, tiga puluh menit,
Lelampu memercik,
Lelampu memberengut dalam gelap.
Gumam lelampu:
"Beri salam pada bulan itu,
La lune ne garde aucune rancune,
Bulan mengerdip, matanya redup,
Bulan tersenyum, ke pencil sudut-sudut.
Bulan mengelus lembut rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah kehilangan kenangan.
Parut cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan menata mawar kertas,
yang menebar aroma debu dan kolonye apak,
Bulan sendiri, dengan seluruh aroma malam
Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenangan pun tiba-tiba tiba
Dari Geranium yang kering di teduh matahari,
Dan menabur di celah karang,
Aroma chesnut menebar di jalan-jalan
Dan aroma perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok di koridor
Dan uap koktail di bar."
Lelampu berkata,
"Pukul empat,
Inilah nomor pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya kuncinya,
Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka; sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,
bersiap untuk hidup esok lagi."
Hunus terakhir sang pisau.
Tiga Belas Cara Memandang Burung Hitam
Sajak Wallace Steven
I
Di antara dua puluh gunung bersalut salju
Tak ada gerak, kecuali satu:
Mata sang burung hitam.
II
Aku pun dengan benak tiga cabang
Seperti sebatang pohon
Ada juga di sana tiga burung hitam.
III
Burung hitam melayah angin musim gugur
Adegan kecil, dari sebuah gerak pantomim.
IV
Pria dan perempuan
satu jua.
Pria dan perempuan dan burung hitam
Satu, satu jua.
V
Mana yang lebih menyelerakan? Aku tak tahu
Apakah keindahan infleksi,
Ataukah kecantikan sampiran.
Siulan burung hitam
ataukah sepi sesudahnya.
VI
Tetes air beku menguntai di jendela
Pada kejam kaca.
Bayang-bayang burung hitam
Melintas jua di situ, menegasi bekas.
Suasana hati pun
Menjejak di bayang-bayang itu
Sebuah musabab yang tak terbaca.
VII
O segelintir kaum Haddam,
Kenapa kau imajikan burung emas?
Tak kah kau tampak burung hitam
Berjalan di seputar kaki
perempuanmu?
VIII
Aku tahu arti kehormatan
jelas sudah, irama tak terelakkan
Tapi aku juga teramat tahu
Burung hitam pun terlibat
dalam apa yang aku tahu.
IX
Ketika burung hitam terbang tak lagi terpandang
Ia menandai batas tebing
dengan satu dari banyak lingkaran.
X
Pada tatapan burung-burung hitam
Terbang dalam cahaya hijau
Bahkan carut-carut euphoni
akan meraung menyayat tajam.
XI
Dia memacu laju ke Connecticut
Dalam gerbong kaca
Sekali ketika, takut mencekamnya
telah salahkah dia
Bayang-bayang kuda bebannya
untuk burung-burung hitam.
XII
Sungai mengalur arus.
Burung-burung hitam memang mesti terbang.
XIII
Hari telah malam, seluruh senja.
Hari yang bersalju
Dan hari akan terus dikepung salju.
Burung hitam hinggap duduk
di cabang pohon cedar.
I
Di antara dua puluh gunung bersalut salju
Tak ada gerak, kecuali satu:
Mata sang burung hitam.
II
Aku pun dengan benak tiga cabang
Seperti sebatang pohon
Ada juga di sana tiga burung hitam.
III
Burung hitam melayah angin musim gugur
Adegan kecil, dari sebuah gerak pantomim.
IV
Pria dan perempuan
satu jua.
Pria dan perempuan dan burung hitam
Satu, satu jua.
V
Mana yang lebih menyelerakan? Aku tak tahu
Apakah keindahan infleksi,
Ataukah kecantikan sampiran.
Siulan burung hitam
ataukah sepi sesudahnya.
VI
Tetes air beku menguntai di jendela
Pada kejam kaca.
Bayang-bayang burung hitam
Melintas jua di situ, menegasi bekas.
Suasana hati pun
Menjejak di bayang-bayang itu
Sebuah musabab yang tak terbaca.
VII
O segelintir kaum Haddam,
Kenapa kau imajikan burung emas?
Tak kah kau tampak burung hitam
Berjalan di seputar kaki
perempuanmu?
VIII
Aku tahu arti kehormatan
jelas sudah, irama tak terelakkan
Tapi aku juga teramat tahu
Burung hitam pun terlibat
dalam apa yang aku tahu.
IX
Ketika burung hitam terbang tak lagi terpandang
Ia menandai batas tebing
dengan satu dari banyak lingkaran.
X
Pada tatapan burung-burung hitam
Terbang dalam cahaya hijau
Bahkan carut-carut euphoni
akan meraung menyayat tajam.
XI
Dia memacu laju ke Connecticut
Dalam gerbong kaca
Sekali ketika, takut mencekamnya
telah salahkah dia
Bayang-bayang kuda bebannya
untuk burung-burung hitam.
XII
Sungai mengalur arus.
Burung-burung hitam memang mesti terbang.
XIII
Hari telah malam, seluruh senja.
Hari yang bersalju
Dan hari akan terus dikepung salju.
Burung hitam hinggap duduk
di cabang pohon cedar.
Tuesday, May 20, 2008
Beberapa Kalimat yang Ingin Sekali Kuucapkan
1. Tuhan, terima kasih telah memanjakan aku,
tapi sesekali tempelenglah aku agar tahu apakah
rasanya kulit tanganmu menyentuh kulit wajahku.
2. Ibu, sesekali nanti kita bertukar bola mata,
agar engkau bisa membaca nama lengkapmu yang
kutulis pada judul dan bait-bait puisiku untukmu.
3. Bapak, siapa yang membeli sepeda kita dahulu,
sepeda yang kau jual untuk ongkos masuk sekolahku?
Aku ingin menebusnya, lalu memboncengmu berkeliling
jalan dan menyusuri sungai kampung, ke kebun kita,
dan kembali ke rumah setelah lelah seharian plesiran.
4. Buku, berapa banyak lagi halaman kosongmu, tempat
aku kau bebaskan menulis betapa besar cintaku padamu?
Dan tempat aku menulis puisi untuk ibu dan menggambar
sepeda yang pernah jadi milik ayahku dulu?
5. Baju, di mana kau sembunyikan kantong rahasiamu?
Tempat aku dulu sembunyikan kelereng harta karunku,
sebelum ibu menemukan dan membuangnya karena dia
tidak pernah tahu betapa letih aku seharian memburu
dan bertaruh mengumpulkan sebutir demi sebutir?
tapi sesekali tempelenglah aku agar tahu apakah
rasanya kulit tanganmu menyentuh kulit wajahku.
2. Ibu, sesekali nanti kita bertukar bola mata,
agar engkau bisa membaca nama lengkapmu yang
kutulis pada judul dan bait-bait puisiku untukmu.
3. Bapak, siapa yang membeli sepeda kita dahulu,
sepeda yang kau jual untuk ongkos masuk sekolahku?
Aku ingin menebusnya, lalu memboncengmu berkeliling
jalan dan menyusuri sungai kampung, ke kebun kita,
dan kembali ke rumah setelah lelah seharian plesiran.
4. Buku, berapa banyak lagi halaman kosongmu, tempat
aku kau bebaskan menulis betapa besar cintaku padamu?
Dan tempat aku menulis puisi untuk ibu dan menggambar
sepeda yang pernah jadi milik ayahku dulu?
5. Baju, di mana kau sembunyikan kantong rahasiamu?
Tempat aku dulu sembunyikan kelereng harta karunku,
sebelum ibu menemukan dan membuangnya karena dia
tidak pernah tahu betapa letih aku seharian memburu
dan bertaruh mengumpulkan sebutir demi sebutir?
Dengar Negeri Ini Menangis
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang lelaki tua, perahu kayu, dan rawa berhantu.
Ia dayung harapan, ia tiangkan tambatan, dengan tangannya
ia halau kawanan babi hutan. Ia atur pasang surut lautan.
Ia biarkan garam gambut terbasuh bermusim-musim hujan.
Ia menugal paung padi, ia ketam berkindai panen, ia bayar
zakat pertanian untuk keluarga fakir daif anak-anak yatim.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang pemuda tak sempat ke SMA. Ia jahit jaring,
perahu sepanjang hunjur kaki, berbaling-baling setapak tangan.
Ia berkawan lautan. Ia tangkap ikan pemberian Tuhan. Bila
hanya seekor ia ucap syukur. Bila sekeranjang ia telah
mencadang, sekian lembar uang, untuk menyumbang, rumah
ibadah di kampung masih kurang beberapa tiang.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang guru kelas satu yang tak punya ikat pinggang.
Celana dari kain jatah pembagian Departeman Pendidikan. Gaji
yang dipotong bertahun-tahun untuk berbagai nama Yayasan.
Sisa kapur tulis di sela kuku kanan dan rambut berubah beruban.
Dan golongan kepegawaian rendah terhalang ijazah yang pas-pasan.
Tapi ia menolak petugas zakat yang mengantar beras di pagi hari
lebaran. Ia tunjuk rumah muridnya, beribu perempuan tua yang
berjualan di sela jam pelajaran, yang tak bersepatu di kelas
dan halaman, saat upacara pun ketika bermain kasti atau senam
kesegaran jasmani.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang seorang mahasiswa, berbekal rapot cemerlang SMA,
menembus seleksi perguruan tinggi, dan hanya mencium tangan
ayah-ibunya ketika berangkat sendiri meninggalkan kampungnya,
dia tak ikut demonstrasi saat teman-temannya menolak kenaikan
harga minyak, dia pinjam diktat karena tak ada uang untuk beli
atau untuk memfotokopi, dia makan di kedai murah dengan nasi
lima suap, kuah santan sekedar membasah di lidah, berlauk
sepenggal tempe, dia berhemat uang beasiswa, ia tinggal murah
di asrama, mengaji kitab dan menulis puisi dan mengelola majalah
kampus agar tak harus kursus untuk bisa memakai komputer. Dan
bekerja lepas di semester akhir, agar bisa membantu temannya
yang nyaris drop-out karena menunggak uang kuliah tahun kelima.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang lelaki tua, perahu kayu, dan rawa berhantu.
Ia dayung harapan, ia tiangkan tambatan, dengan tangannya
ia halau kawanan babi hutan. Ia atur pasang surut lautan.
Ia biarkan garam gambut terbasuh bermusim-musim hujan.
Ia menugal paung padi, ia ketam berkindai panen, ia bayar
zakat pertanian untuk keluarga fakir daif anak-anak yatim.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang pemuda tak sempat ke SMA. Ia jahit jaring,
perahu sepanjang hunjur kaki, berbaling-baling setapak tangan.
Ia berkawan lautan. Ia tangkap ikan pemberian Tuhan. Bila
hanya seekor ia ucap syukur. Bila sekeranjang ia telah
mencadang, sekian lembar uang, untuk menyumbang, rumah
ibadah di kampung masih kurang beberapa tiang.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang guru kelas satu yang tak punya ikat pinggang.
Celana dari kain jatah pembagian Departeman Pendidikan. Gaji
yang dipotong bertahun-tahun untuk berbagai nama Yayasan.
Sisa kapur tulis di sela kuku kanan dan rambut berubah beruban.
Dan golongan kepegawaian rendah terhalang ijazah yang pas-pasan.
Tapi ia menolak petugas zakat yang mengantar beras di pagi hari
lebaran. Ia tunjuk rumah muridnya, beribu perempuan tua yang
berjualan di sela jam pelajaran, yang tak bersepatu di kelas
dan halaman, saat upacara pun ketika bermain kasti atau senam
kesegaran jasmani.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
ENGKAU kenang seorang mahasiswa, berbekal rapot cemerlang SMA,
menembus seleksi perguruan tinggi, dan hanya mencium tangan
ayah-ibunya ketika berangkat sendiri meninggalkan kampungnya,
dia tak ikut demonstrasi saat teman-temannya menolak kenaikan
harga minyak, dia pinjam diktat karena tak ada uang untuk beli
atau untuk memfotokopi, dia makan di kedai murah dengan nasi
lima suap, kuah santan sekedar membasah di lidah, berlauk
sepenggal tempe, dia berhemat uang beasiswa, ia tinggal murah
di asrama, mengaji kitab dan menulis puisi dan mengelola majalah
kampus agar tak harus kursus untuk bisa memakai komputer. Dan
bekerja lepas di semester akhir, agar bisa membantu temannya
yang nyaris drop-out karena menunggak uang kuliah tahun kelima.
KAU dengar negeri ini menangis? Bisakah negeri ini menangis?
menjelang breaking news di akhir tahun
Sajak di blog Come Fuime
- mengingat hasan aspahani
hari ini, aku mendapat paket. isinya weker.
pak pos bilang, hati-hati. sejak dalam perjalanan,
ia sangka dadanya yang berdegup kencang.
padahal ia tak sarapan sepekat pun kopi.
semalaman juga hanya menikmati sunyi.
“ambil cepat. aku mau pergi.
masih banyak surat yang mesti mengetuk.
silakan meledak sendiri.
buka paketnya di kamarmu saja.”
hanya ancang-ancangnya yang tertinggal.
sisa derunya menempel di kelok terakhir
kompleks ini. tak sempat lagi pintu girang aku tutup,
empat pria berbaju serba hitam sudah mengepungku
di seluruh penjuru.
“angkat tangan! kami dari perusahaan pembuat kalender.
serahkan paketnya atau umurmu kami tebak!”
pintu girang segera kututup.
aku gagal meledak hari ini.
[2007-2008]
- mengingat hasan aspahani
hari ini, aku mendapat paket. isinya weker.
pak pos bilang, hati-hati. sejak dalam perjalanan,
ia sangka dadanya yang berdegup kencang.
padahal ia tak sarapan sepekat pun kopi.
semalaman juga hanya menikmati sunyi.
“ambil cepat. aku mau pergi.
masih banyak surat yang mesti mengetuk.
silakan meledak sendiri.
buka paketnya di kamarmu saja.”
hanya ancang-ancangnya yang tertinggal.
sisa derunya menempel di kelok terakhir
kompleks ini. tak sempat lagi pintu girang aku tutup,
empat pria berbaju serba hitam sudah mengepungku
di seluruh penjuru.
“angkat tangan! kami dari perusahaan pembuat kalender.
serahkan paketnya atau umurmu kami tebak!”
pintu girang segera kututup.
aku gagal meledak hari ini.
[2007-2008]
Friday, May 16, 2008
Thursday, May 15, 2008
Dua Tahun untuk Sebuah Mei
SUATU petang di bulan Mei, 1998, di Jakarta. Penyair itu baru saja tiba dari Yogyakarta. Ia harus menghadiri rapat rutin bulanan di kantor pusat tempat ia bekerja. Dan Jakarta tidak seperti Jakarta yang biasa ia kenal. Unjuk rasa memanas. Demonstrasi meluas.
"Saya mengamankan diri di TIM," kata penyair itu. Itulah tempat yang terpikir untuk segera ia kunjungi, tempat terdekat, dan mungkin yang paling aman. Di TIM dia bertemu penyair Sitok Srengenge. Sitok menyarankan si penyair bertahan saja di TIM. Rapat di kantor pusat tak jadi ia hadiri.
Ia dan Sitok kemudian memutuskan mencari selamat ke rumah Sitok di Depok. Tak ada kendaraan kecuali kereta api. Dan petang sudah berganti malam. Jakarta gelap. Sebagian besar aliran listrik kosong.
"Kami jalan kaki dari stasiun ke rumah Sitok," kata penyair itu. Ia lupa berapa lama mereka berjalan. Berjam-jam. Dan dari kabar tentang kerusuhan besar hari itu dan keesokan harinya, dan esoknya lagi, sebuah sajak terlintas di kepalanya.
"Tapi saya bukan penyair yang reaktif," ujar penyair itu. Maka, dua tahun kemudian barulah sajak itu ia rampungkan. Sajak itu berjudul "Mei", saya bertemu sajak itu di "Di Bawah Kibarang Sarung" (IndonesiaTera).
Kenapa "Mei"? "Karena kata itu kan pemaknaannya bisa ambigu, antara Mei seabgai nama bulan dan Mei sebagai nama perempuan etnis Tionghoa," katanya. Saya menyukai sajak itu. Sejak mengenalnya, tiap bulan Mei, saya selalu membacanya. Tak banyak - saya bahkan tak pernah menemui - sajak lain yang dengan baik merekam kejadian besar itu.[]
"Saya mengamankan diri di TIM," kata penyair itu. Itulah tempat yang terpikir untuk segera ia kunjungi, tempat terdekat, dan mungkin yang paling aman. Di TIM dia bertemu penyair Sitok Srengenge. Sitok menyarankan si penyair bertahan saja di TIM. Rapat di kantor pusat tak jadi ia hadiri.
Ia dan Sitok kemudian memutuskan mencari selamat ke rumah Sitok di Depok. Tak ada kendaraan kecuali kereta api. Dan petang sudah berganti malam. Jakarta gelap. Sebagian besar aliran listrik kosong.
"Kami jalan kaki dari stasiun ke rumah Sitok," kata penyair itu. Ia lupa berapa lama mereka berjalan. Berjam-jam. Dan dari kabar tentang kerusuhan besar hari itu dan keesokan harinya, dan esoknya lagi, sebuah sajak terlintas di kepalanya.
"Tapi saya bukan penyair yang reaktif," ujar penyair itu. Maka, dua tahun kemudian barulah sajak itu ia rampungkan. Sajak itu berjudul "Mei", saya bertemu sajak itu di "Di Bawah Kibarang Sarung" (IndonesiaTera).
Kenapa "Mei"? "Karena kata itu kan pemaknaannya bisa ambigu, antara Mei seabgai nama bulan dan Mei sebagai nama perempuan etnis Tionghoa," katanya. Saya menyukai sajak itu. Sejak mengenalnya, tiap bulan Mei, saya selalu membacanya. Tak banyak - saya bahkan tak pernah menemui - sajak lain yang dengan baik merekam kejadian besar itu.[]
Wednesday, May 14, 2008
Api Sangat Mencintaimu, Mei
BAGAIMANA cara Anda mengenang Kerusuhan Mei 1998, peristiwa yang mengawali reformasi di negeri ini? Saya mengenangnya lewat sajak penyair favorit saya Joko Pinurbo alias Jokpin. Penyair asal Yogyakarta itu menulis sajak berjudul “Mei” di tahun 2000 (“Di Bawah Kibaran Sarung”, 2001), dua tahun setelah peristiwanya ia saksikan sendiri di Jakarta.
BACA DI SINI
BACA DI SINI
Tuesday, May 13, 2008
[Ruang Renung # 234] Mawar, Melati dan Puring
"Buat apa menulis atau membaca puisi? Puisi tak akan membuat kita kenyang..." Pernahkah dilabrak dengan pernyataan seperti itu?
Bahkan, petani pun menanam kunyit, jahe, daun katuk, dan ubi kayu di sisa sedikit lahan di pematang juga di dekat pondoknya. Tanaman-tanaman itu tidak akan pernah membuat kenyang. Si petani kenyang ketika ia makan nasi yang kelak dipanen dari padi yang ditanam di sawahnya. Kunyit, jahe, daun katuk, dan pucuk ubi kayu menjadi lauk dan lalap pendamping ketika petani mendapatkan kenyang dari si nasi.
Apakah petani dilarang menanam yang selain padi itu karena tidak akan bisa mengenyangkannya?
Bahkan si petani pun kadang menanam mawar, melati, puring di halaman pondoknya itu. Mawar, melati yang ia petik bunganya, ia dapatkan wanginya dan ia taburkan di kasurnya.
Apakah petani tak boleh menanam mawar, melati dan puring?
Bahkan, petani pun menanam kunyit, jahe, daun katuk, dan ubi kayu di sisa sedikit lahan di pematang juga di dekat pondoknya. Tanaman-tanaman itu tidak akan pernah membuat kenyang. Si petani kenyang ketika ia makan nasi yang kelak dipanen dari padi yang ditanam di sawahnya. Kunyit, jahe, daun katuk, dan pucuk ubi kayu menjadi lauk dan lalap pendamping ketika petani mendapatkan kenyang dari si nasi.
Apakah petani dilarang menanam yang selain padi itu karena tidak akan bisa mengenyangkannya?
Bahkan si petani pun kadang menanam mawar, melati, puring di halaman pondoknya itu. Mawar, melati yang ia petik bunganya, ia dapatkan wanginya dan ia taburkan di kasurnya.
Apakah petani tak boleh menanam mawar, melati dan puring?
Saya menulis 11 Gurindam. Kompas memuat 9. Inilah dua Gurindam yang tak termuat itu.
10. Gurindam Pasal yang Kesepuluh:
Menuju Sajak, Jalan Sajak
Bila kau berkata, "aku sedang menuju sajak!"
Yakinkah kau? Kau sedang menempuh jalan Sajak?
Bila kau berkata, "aku telah sampai pada sajak!"
Tahukah kau? Selalu ada yang lebih Sajak dari sajak?
Bila kau berkata, "aku telah menemu yang paling sajak!"
Sadarkah kau? Saat itu kau ditinggalkan banyak sajak?
Bila kau berkata, "aku bersajak, ah, percuma saja!"
Padahal sajak adalah pemakna pada yang sia-sia.
Bila kau berkata, "aku tak menemu diri dalam sajakku"
Sajak membawa kau mengenali dirimu dalam dirimu.
11. Gurindam Pasal yang Kesebelas:
Ladang Sajak, Ladang Mawar
Tanah hitam di ladang sajak yang mawar,
menyimpan cinta, mendekap tubuh akar.
Embun mandi di ladang sajak yang mawar,
memanggil, lalu datang pelangi selingkar.
Sinar matahari di ladang sajak yang mawar,
mengecup pipi pagi, rindu semalam terbayar.
Semak gulma di ladang sajak yang mawar,
tanggal gugur duri, tinggal sesulur yang sabar.
Angin datang lalu, di ladang sajak yang mawar,
memetik wangi-wangi, menebar benih kabar.
Diam batu di ladang sajak yang mawar,
menahan-nahan takjub meredam debar.
Siul-siul serunai di ladang sajak yang mawar,
ketika sepi pun ia, alangkah merdu kau dengar.
Burung hinggap di ranting sajak ladang mawar,
bermimpi rajut sarang di mekar kelopak mekar.
Akulah Petani Puisi, di ladang yang mawar,
memetik sajak-sajak di tangkai cahaya fajar.
10. Gurindam Pasal yang Kesepuluh:
Menuju Sajak, Jalan Sajak
Bila kau berkata, "aku sedang menuju sajak!"
Yakinkah kau? Kau sedang menempuh jalan Sajak?
Bila kau berkata, "aku telah sampai pada sajak!"
Tahukah kau? Selalu ada yang lebih Sajak dari sajak?
Bila kau berkata, "aku telah menemu yang paling sajak!"
Sadarkah kau? Saat itu kau ditinggalkan banyak sajak?
Bila kau berkata, "aku bersajak, ah, percuma saja!"
Padahal sajak adalah pemakna pada yang sia-sia.
Bila kau berkata, "aku tak menemu diri dalam sajakku"
Sajak membawa kau mengenali dirimu dalam dirimu.
11. Gurindam Pasal yang Kesebelas:
Ladang Sajak, Ladang Mawar
Tanah hitam di ladang sajak yang mawar,
menyimpan cinta, mendekap tubuh akar.
Embun mandi di ladang sajak yang mawar,
memanggil, lalu datang pelangi selingkar.
Sinar matahari di ladang sajak yang mawar,
mengecup pipi pagi, rindu semalam terbayar.
Semak gulma di ladang sajak yang mawar,
tanggal gugur duri, tinggal sesulur yang sabar.
Angin datang lalu, di ladang sajak yang mawar,
memetik wangi-wangi, menebar benih kabar.
Diam batu di ladang sajak yang mawar,
menahan-nahan takjub meredam debar.
Siul-siul serunai di ladang sajak yang mawar,
ketika sepi pun ia, alangkah merdu kau dengar.
Burung hinggap di ranting sajak ladang mawar,
bermimpi rajut sarang di mekar kelopak mekar.
Akulah Petani Puisi, di ladang yang mawar,
memetik sajak-sajak di tangkai cahaya fajar.
Monday, May 12, 2008
Kebohongan tentang Jakarta, Mikael!
Sajak Kavi Matasukma
Dalam diri orang sinis adalah seorang
idealis yang kecewa -- George Carlin
AKU tak tahu seperti apa
rasanya dikangkangi New York, Tuan Rendra!
Aku melihat pedih di selangkang Jakarta
Aku melihat seribu cukong berak di atas kepalanya.
Kakiku sebelah tertinggal di Soekarno-Hatta,
aku lari pincang dan tak sampai juga ke Istana Negara
Maskapai Lion Air itu tadi
bikin papan jadwal mahal itu tidak berguna.
"Buat apa singgah di istana?"
kudengar seperti Binhad yang bertanya,
"Presiden tidak ada, dia sedang menyusun
pidato di rumahnya,
dia mau tampil di Asian Idol, ha ha ha ha!"
"Datang saja ke Kampus Lidah Buaya.
Barangkali masih bisa kau temui Tardji di sana,
malam belum terlalu tua, biasanya
ia sedang menghitung sajak dan sisa usia."
Dan Jakarta menyala,
(Jakarta selalu menyala)
huruf-huruf raksasa memaksa mataku membaca
berbagai merek rokok, kondom dan pil stamina.
[Dan aku hanya Kavi Matasukma,
aku mencari kekasihku Shania Saphana.
Aku tahu dia tak ada di manapun di Jakarta,
aku datang, biar saja, aku hanya mencarinya.
Aku hanya ingin teriak bertanya, "Jakarta, di mana
kau sembunyikan kekasihku Shania?"]
AKU tak bertemu kubur-kubur pergi
berlayar membawa pelabuhan, Tuan Tardji!
Aku melihat Jakarta berjalan mengangkang
Aku melihat tangan-tangan menadah pada selangkang.
Sebelah tanganku masih berpegangan di tangga pesawat.
Kalah gesit dengan tangan dari kota-kota yang jauh,
tangan Surabaya, tangan Papua. Mungkin juga Yogya.
Tangan yang mengepal dan mengacung sambil berseru:
"Aku menantangmu Jakarta, lawanlah aku, hei Penyair Tua,"
kudengar seperti Saut Si Penyerang. Menyerang.
"Sampai tak ada hutan lagi. Tak ada kayu lagi,
di Jakarta yang suka berdusta. Ha ha ha ha!"
Si Penyair Tua tak sedang di sana. Ia sedang di Salihara
membangun blackbox pertama di Jakarta.
Saut, ia tidak menyiapkan makamnya.
Dan Jakarta terus menyala.
(Jakarta makin menyilau pada mata)
Tapi orang-orang sembunyi di ruang remang.
Sembunyi dari dusta sendiri.
Engkaukah itu? Lelaki tanggung yang bicara
kebenaran tentang Jakarta? Membaca
makalah di PDS H.B. Jassin, dengan ludah asin?
(Aih, di Reader's Digest aku mengutip George Carlin)
Lalu memaki Sitok dan Nirwan,
menahbiskan Jimmi Multazam sebagai penyairmu,
sambil mengutip Tuan Rendra: Bersatulah
pelacur-pelacur kota Jakarta! Ha ha ha ha!
Engkaukah yang tak lagi berpura-pura bekerja di
Jurnal Perempuan? Tapi kenapa pula berpura-pura?
Begitu angkuhkah tubuhmu untuk meneteskan
keringat, setetes saja? Atau karena kau merasa
telah berdialog dengan arwah Umar Kayam?
[Ah, aku hanya Kavi Matasukma,
aku mencari kekasihku Shania Saphana.
Aku tahu dia tak ada di manapun di Jakarta,
tapi bolehkah kubayangkan kau pertemukan
kami di Stasiun Kota? Atau di dindingnya
kutuliskan saja, "Kavi Matasukma tidak dari
mana-mana, di manakah kau Shania Saphana?]
Dalam diri orang sinis adalah seorang
idealis yang kecewa -- George Carlin
AKU tak tahu seperti apa
rasanya dikangkangi New York, Tuan Rendra!
Aku melihat pedih di selangkang Jakarta
Aku melihat seribu cukong berak di atas kepalanya.
Kakiku sebelah tertinggal di Soekarno-Hatta,
aku lari pincang dan tak sampai juga ke Istana Negara
Maskapai Lion Air itu tadi
bikin papan jadwal mahal itu tidak berguna.
"Buat apa singgah di istana?"
kudengar seperti Binhad yang bertanya,
"Presiden tidak ada, dia sedang menyusun
pidato di rumahnya,
dia mau tampil di Asian Idol, ha ha ha ha!"
"Datang saja ke Kampus Lidah Buaya.
Barangkali masih bisa kau temui Tardji di sana,
malam belum terlalu tua, biasanya
ia sedang menghitung sajak dan sisa usia."
Dan Jakarta menyala,
(Jakarta selalu menyala)
huruf-huruf raksasa memaksa mataku membaca
berbagai merek rokok, kondom dan pil stamina.
[Dan aku hanya Kavi Matasukma,
aku mencari kekasihku Shania Saphana.
Aku tahu dia tak ada di manapun di Jakarta,
aku datang, biar saja, aku hanya mencarinya.
Aku hanya ingin teriak bertanya, "Jakarta, di mana
kau sembunyikan kekasihku Shania?"]
AKU tak bertemu kubur-kubur pergi
berlayar membawa pelabuhan, Tuan Tardji!
Aku melihat Jakarta berjalan mengangkang
Aku melihat tangan-tangan menadah pada selangkang.
Sebelah tanganku masih berpegangan di tangga pesawat.
Kalah gesit dengan tangan dari kota-kota yang jauh,
tangan Surabaya, tangan Papua. Mungkin juga Yogya.
Tangan yang mengepal dan mengacung sambil berseru:
"Aku menantangmu Jakarta, lawanlah aku, hei Penyair Tua,"
kudengar seperti Saut Si Penyerang. Menyerang.
"Sampai tak ada hutan lagi. Tak ada kayu lagi,
di Jakarta yang suka berdusta. Ha ha ha ha!"
Si Penyair Tua tak sedang di sana. Ia sedang di Salihara
membangun blackbox pertama di Jakarta.
Saut, ia tidak menyiapkan makamnya.
Dan Jakarta terus menyala.
(Jakarta makin menyilau pada mata)
Tapi orang-orang sembunyi di ruang remang.
Sembunyi dari dusta sendiri.
Engkaukah itu? Lelaki tanggung yang bicara
kebenaran tentang Jakarta? Membaca
makalah di PDS H.B. Jassin, dengan ludah asin?
(Aih, di Reader's Digest aku mengutip George Carlin)
Lalu memaki Sitok dan Nirwan,
menahbiskan Jimmi Multazam sebagai penyairmu,
sambil mengutip Tuan Rendra: Bersatulah
pelacur-pelacur kota Jakarta! Ha ha ha ha!
Engkaukah yang tak lagi berpura-pura bekerja di
Jurnal Perempuan? Tapi kenapa pula berpura-pura?
Begitu angkuhkah tubuhmu untuk meneteskan
keringat, setetes saja? Atau karena kau merasa
telah berdialog dengan arwah Umar Kayam?
[Ah, aku hanya Kavi Matasukma,
aku mencari kekasihku Shania Saphana.
Aku tahu dia tak ada di manapun di Jakarta,
tapi bolehkah kubayangkan kau pertemukan
kami di Stasiun Kota? Atau di dindingnya
kutuliskan saja, "Kavi Matasukma tidak dari
mana-mana, di manakah kau Shania Saphana?]
Bob Marley, karya Agus Suwage, Galeri Nadi. Mendampingi sepuluh sajak dari blog ini di Kompas Minggu 11 Mei 2008.
Saturday, May 10, 2008
Sebuah Denah pada Sebuah Undangan Pernikahan
           : teguh dan hening
Dari Pekalongan, melintas rel kereta
Lurus saja bila tak ingin ke terminal
Dari berseorangan akhirnya engkau berdua
Lurus. "Tapi jalan ini kan kian terjal.."
Kulihat tiga simpang, tiga lampu lalu lintas
Sebelum gedung di seberang rumah ibadah
Kukira semula itu bimbang, yang sempat melintas
Bukan, bukan, katamu, "lihat kami mulai langkah"
Dua arah jalan dari dan ke Kota Tegal
Keduanya tidak menunjuk mana mata utara
Dari dua keyakinan ke satu ingin yang tunggal
Keduanya tidak lagi hanya menyebut satu nama
Gedung itu ada di ruas jalan: Jalan Pemuda
Di mana kota itu, Pemalang nama tempatnya
Mendung menipis menepi, tak lagi mengabut dada
Di mana doa itu, "Di Sajakku kupanjatkan jua"
Dari Pekalongan, melintas rel kereta
Lurus saja bila tak ingin ke terminal
Dari berseorangan akhirnya engkau berdua
Lurus. "Tapi jalan ini kan kian terjal.."
Kulihat tiga simpang, tiga lampu lalu lintas
Sebelum gedung di seberang rumah ibadah
Kukira semula itu bimbang, yang sempat melintas
Bukan, bukan, katamu, "lihat kami mulai langkah"
Dua arah jalan dari dan ke Kota Tegal
Keduanya tidak menunjuk mana mata utara
Dari dua keyakinan ke satu ingin yang tunggal
Keduanya tidak lagi hanya menyebut satu nama
Gedung itu ada di ruas jalan: Jalan Pemuda
Di mana kota itu, Pemalang nama tempatnya
Mendung menipis menepi, tak lagi mengabut dada
Di mana doa itu, "Di Sajakku kupanjatkan jua"
Thursday, May 8, 2008
Wednesday, May 7, 2008
Semakin Mikael Semakin Baik
1. Malam itu engkau lapar sekali setelah
    terjaring jejaring 25 jam menyelancari
    situs-situs puisi (bukan yang liris tentu saja),
    engkau akan memilih...:
    a. Bubur babi dan bir Heineken, ataukah
    b. Roti Bakar Eddy + Coca-Cola tanpa gula.
2. Manakah yang bukan kalimat petikan dari
    John F Kennedy?
    a. Ketika politik kotor, peluru membersihkan.
    b. Ketika penyair keracunan sajak liris, siapa
    yang harus mengingatkan.
3. Siapa yang engkau pilih untuk engkau kencani:
    a. Cinta Laura, lalu kau ajari bibir dan lidahnya
    (dengan bibir dan lidahmu) bagaimana melafalkan
    kata-kata dalam Bahasa Indonesia
    b. Rebecca, lalu ia mengajarimu bernyanyi dengan
    sesedikit mungkin membuka mulut dan menggerakkan tubuh.
4. Apa yang lebih baik...
    a. Seorang cucu yang melupakan aroma batik gendongan
    neneknya.
    b. Atau seorang nenek yang hingga ke liang lahat
    mengenang aroma pesing ompol cucunya.
5. Kau akan segera mengangguk pada permintaan yang mana?
    a. Menggantikan Mice menjadi pasangan Benny di halaman
    kartun Kompas Minggu.
    b. Atau menggantikan Hasif Amini menjadi redaktur halaman
    puisi di koran yang sama.
6. Kemampuan bahasamu ingin diuji dengan cara apa?
    a. Menerjemahkan lagu Lir Ilir ke dalam berbagai bahasa dunia.
    b. Menenerjemahkan sajak-sajak anak Buma ke dalam bahasa
    Inggris, dan Jawa.
    terjaring jejaring 25 jam menyelancari
    situs-situs puisi (bukan yang liris tentu saja),
    engkau akan memilih...:
    a. Bubur babi dan bir Heineken, ataukah
    b. Roti Bakar Eddy + Coca-Cola tanpa gula.
2. Manakah yang bukan kalimat petikan dari
    John F Kennedy?
    a. Ketika politik kotor, peluru membersihkan.
    b. Ketika penyair keracunan sajak liris, siapa
    yang harus mengingatkan.
3. Siapa yang engkau pilih untuk engkau kencani:
    a. Cinta Laura, lalu kau ajari bibir dan lidahnya
    (dengan bibir dan lidahmu) bagaimana melafalkan
    kata-kata dalam Bahasa Indonesia
    b. Rebecca, lalu ia mengajarimu bernyanyi dengan
    sesedikit mungkin membuka mulut dan menggerakkan tubuh.
4. Apa yang lebih baik...
    a. Seorang cucu yang melupakan aroma batik gendongan
    neneknya.
    b. Atau seorang nenek yang hingga ke liang lahat
    mengenang aroma pesing ompol cucunya.
5. Kau akan segera mengangguk pada permintaan yang mana?
    a. Menggantikan Mice menjadi pasangan Benny di halaman
    kartun Kompas Minggu.
    b. Atau menggantikan Hasif Amini menjadi redaktur halaman
    puisi di koran yang sama.
6. Kemampuan bahasamu ingin diuji dengan cara apa?
    a. Menerjemahkan lagu Lir Ilir ke dalam berbagai bahasa dunia.
    b. Menenerjemahkan sajak-sajak anak Buma ke dalam bahasa
    Inggris, dan Jawa.
Tuesday, May 6, 2008
Kuisioner
Sajak Charles Bernstein
PETUNJUK: Pada tiap pasang kalimat, beri lingkar pada huruf a atau b, pilih yang tepat pada pandanganmu. Jangan tak buat pilihan. Jangan lewatkan satupun jawaban.
1.
a) Tubuh dan materi benda-benda di dunia adalah kunci pembuka pengetahuan yang bisa kita dapatkan.
b) Pengetahuan hanya mungkin jika ada pikiran dan jiwa.
2.
a) Hidupku sepenuhnya dikemudikan oleh keberuntungan dan kesempatan.
b) Aku mampu menentukan hal-hal penting yang mendasar dalam kehidupanku.
3.
a) Alam sama belaka dengan kebutuhan manusia.
b) Alam punya beberapa manfaat, meski kadang samar.
4.
a) Aku bisa mengerti bahwa dunia ini luasnya berkecukupan.
b) Dunia ini pada dasarnya membingungkan.
5.
a) Cinta adalah kebahagiaan teragung.
b) Cinta adalah khayal dan cuma kenikmatan fana.
6.
a) Aksi politik dan sosial bisa memperbaiki wajah dunia.
b) Aksi politik dan sosial sesungguhnya cuma sia-sia.
7.
a) Aku tak bisa sepenuhnya mengungkapkan perasaan dari hati terdalam.
b) Tak ada rasa hari yang tak bisa kuungkapkan.
8.
a) Kebaikan adalah pahal bagi kebaikan itu sendiri.
b) Kebaikan tak ada kait mengait dengan ganjaran.
9.
a) Adalah mungkin membagi kisah bila seseorang itu bisa dipercaya.
b) Orang bergantung padamu dalam berbagai cara yang tak pernah kau duga.
10.
a) Yang teramat diinginkan adalah tinggal di tanah pedesaan.
b) Yang teramat diinginkan adalah tinggal di wilayah perkotaan.
11.
a) Ketimpangan sosial dan ekonimi adalah musuh masyarakat yang paling jahat.
b) Totalitarianisme adalah musuh masyarakat yang paling buruk.
12.
a) Secara umum, teknologi telah memberi manfaat bagi kemanusiaan.
b) Secara umum, teknologi telah mencederai kemanusiaan.
13.
a) Kerja adalah sumber paling berair bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
b) Bebas dari kerja seharusnya menjadi tujuan utama bagi setiap gerakan perubahan sosial.
14.
a) Seni ada berada di detak jantung politis sehingga bisa mengubah pandangan kita tentang realitas.
b) Seni tidak ada berada di jantung politis sebab ia hanya mengubah kesadaran dan bukan kejadian-kejadian.
Dari: Charles Bernstein, "Questionnaire" from Girly Man (Chicago: The University of Chicago Press, 2007).
PETUNJUK: Pada tiap pasang kalimat, beri lingkar pada huruf a atau b, pilih yang tepat pada pandanganmu. Jangan tak buat pilihan. Jangan lewatkan satupun jawaban.
1.
a) Tubuh dan materi benda-benda di dunia adalah kunci pembuka pengetahuan yang bisa kita dapatkan.
b) Pengetahuan hanya mungkin jika ada pikiran dan jiwa.
2.
a) Hidupku sepenuhnya dikemudikan oleh keberuntungan dan kesempatan.
b) Aku mampu menentukan hal-hal penting yang mendasar dalam kehidupanku.
3.
a) Alam sama belaka dengan kebutuhan manusia.
b) Alam punya beberapa manfaat, meski kadang samar.
4.
a) Aku bisa mengerti bahwa dunia ini luasnya berkecukupan.
b) Dunia ini pada dasarnya membingungkan.
5.
a) Cinta adalah kebahagiaan teragung.
b) Cinta adalah khayal dan cuma kenikmatan fana.
6.
a) Aksi politik dan sosial bisa memperbaiki wajah dunia.
b) Aksi politik dan sosial sesungguhnya cuma sia-sia.
7.
a) Aku tak bisa sepenuhnya mengungkapkan perasaan dari hati terdalam.
b) Tak ada rasa hari yang tak bisa kuungkapkan.
8.
a) Kebaikan adalah pahal bagi kebaikan itu sendiri.
b) Kebaikan tak ada kait mengait dengan ganjaran.
9.
a) Adalah mungkin membagi kisah bila seseorang itu bisa dipercaya.
b) Orang bergantung padamu dalam berbagai cara yang tak pernah kau duga.
10.
a) Yang teramat diinginkan adalah tinggal di tanah pedesaan.
b) Yang teramat diinginkan adalah tinggal di wilayah perkotaan.
11.
a) Ketimpangan sosial dan ekonimi adalah musuh masyarakat yang paling jahat.
b) Totalitarianisme adalah musuh masyarakat yang paling buruk.
12.
a) Secara umum, teknologi telah memberi manfaat bagi kemanusiaan.
b) Secara umum, teknologi telah mencederai kemanusiaan.
13.
a) Kerja adalah sumber paling berair bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
b) Bebas dari kerja seharusnya menjadi tujuan utama bagi setiap gerakan perubahan sosial.
14.
a) Seni ada berada di detak jantung politis sehingga bisa mengubah pandangan kita tentang realitas.
b) Seni tidak ada berada di jantung politis sebab ia hanya mengubah kesadaran dan bukan kejadian-kejadian.
Dari: Charles Bernstein, "Questionnaire" from Girly Man (Chicago: The University of Chicago Press, 2007).
Saturday, May 3, 2008
Senota Cerita
                Kau cintaku ---
Penadah segala yang kurampas.
- Chairil Anwar
INI kucatat dari kenangan lama pada nota kekuning-kuningan dan kerdip cahaya jauh kekunang-kunangan. Tentang sisa sentuh yang sesusah sungguh mengharap utuh. Engkau bertahun tertawa menyembunyikan jerit aduh yang mestinya sudah ribuan kali kau teriakkan, dengan kepal menggumpal, di sepanjang jalan sampai ke pal ke-empatpuluh. Usia sudah kau hafal.
INI kucabut dari duri-duri yang kau sebut dengan kata yang kau ciptakan sendiri sebagai sinonim dari rasa sakit. Kau kira pedih itu akan membunuhmu dengan amat lembut. Kukira pedih itu sedang mengecupmu pada kuncup luka-luka itu. Dan kau sisakan satu bagian pada tubuh, di situ luka tak kau biarkan sampai menyentuh.
INI kurenggut dari pohon kecil yang tumbuh melampaui semua keganasan musim. Buah yang telah lama ranum. Buah yang tak juga jatuh bersama sekian puluh ribu daun luruh, tak terpetik pemanjat dengan tangan dan dada berpeluh. Siapa yang menuliskan nama di kelupas kulit batang itu? Siapa yang menoreh darah di lendir kambium itu?
INI kubangkitkan dari tanggal yang tenggelam di dalam danau dendam. Dan aku hanya pencari damar. Yang singgah bersandar. Sebentar. Mengagum pada wangi yang tersamar. Tertebar. Dan tak ada yang menjawab ketika aku ragu, "Betapa luas lagi sisa hutan ini?" Ragu, juga kubaca pada peta tergulung di ransel itu.
INI kutulis menjadi luka-luka pada tubuh,
kaubaca dengan lidah yang hanya
bisa menyebut satu kata,
kata yang berakhir dengan
bunyi "...uh"
Thursday, May 1, 2008
Hati Seorang Perempuan
Sajak Georgia Douglas Johnson
Hati perempuan yang beranjak pergi sesudah fajar hari,
Seperti burung sendiri, mengepak pelan, tak terhenti,
Jauh di atas menara kecil kehidupan mengembara mayapada
hati memanggil pulang, pada gema-gema yang terjaga.
Hati perempuan mengurai jatuh tirai bersama malam hari,
Dan terjebak ke kandang asing dalam gundah diri
Dan mencoba melupa pada bintang-bintang pada mimpi
Di persinggahan itu ia mematah, mematah, mematah jeruji
Sajak Georgia Douglas Johnson
Hati perempuan yang beranjak pergi sesudah fajar hari,
Seperti burung sendiri, mengepak pelan, tak terhenti,
Jauh di atas menara kecil kehidupan mengembara mayapada
hati memanggil pulang, pada gema-gema yang terjaga.
Hati perempuan mengurai jatuh tirai bersama malam hari,
Dan terjebak ke kandang asing dalam gundah diri
Dan mencoba melupa pada bintang-bintang pada mimpi
Di persinggahan itu ia mematah, mematah, mematah jeruji
Sebab Engkau Bertanya Tentang
Bait Antara Prosa dan Puisi
Sajak Howard Nemerov
Pipit-pipit mematuki tetesan beku gerimis itu
saat sesaat kau pandang, tetesan beku itu menyalju
naik menuju lereng yang tak-terpandang-mata
dari kilau kemiringan, ke acak-arah, putih, perlahan.
Ada ketika sesuatu datang, kau tak bisa menyebut apa.
Tak hendak jatuh, sesuatu itu mengalir ke kejernihan.
Bait Antara Prosa dan Puisi
Sajak Howard Nemerov
Pipit-pipit mematuki tetesan beku gerimis itu
saat sesaat kau pandang, tetesan beku itu menyalju
naik menuju lereng yang tak-terpandang-mata
dari kilau kemiringan, ke acak-arah, putih, perlahan.
Ada ketika sesuatu datang, kau tak bisa menyebut apa.
Tak hendak jatuh, sesuatu itu mengalir ke kejernihan.
Subscribe to:
Posts (Atom)