/1/
Adakah ironi yang lebih besar daripada kejalangan hidup yang mudah sekali dikalahkah oleh ketegasan maut? Adakah ironi yang lebih besar daripada seorang anak muda yang pada usia 21 tahun menulis larik "aku ingin hidup seribu tahun lagi", lalu pada usianya yang ke- 27, maut menjemputnya?
Ironi Chairil tidak lagi terbatas pada bait-bait sajaknya. Ironi Chairil memautkan dan menautkan antara sajaknya dan kehidupannya. Ketika terbaring sakit Chairil sempat menuliskan kalimat terakhir yang mengobarkan semangat angkatannya. Kulitnya kala itu ditembus peluru penyakit, dan ia tidak bisa berlari badaniah. Pikirannya sebenarnya tak pernah berhenti berlari ke mana-mana untuk menghilangkan pedih risah jiwanya. Pedih dan sakit itu memang hilang, ia tak merasakan lagi karena mau menjemputnya.
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
(Chairil Anwar, Maret 1943)
/2/
KETIKA luka dihadapi dengan ha ha, dengan lantang tawa, adakah kontras sikap yang bisa melebihinya? Adakah kegagahan sikap yang bisa lebih gagah lagi daripada ketika luka dihadapi seperi merasakan gelitikan yang menggelikan saja? Kontras pada sajak Sutardji Calzoum Bachri ini menjadi-jadi karena antara judul dan bait langsung berhadap-hadapan. Langsung mendedahkan pertentangan. Kita tak sempat apa-apa. Kita tak bisa menyiapkan diri. Kita langsung diajak untuk ikut berha ha ha, lalu perlahan sadar yang kita tertawakan adalah luka, luka kita.
Kedalam ia menawarkan kontras yang dalam, keluar pun kontras itu amat terasa. Memang ada sajak pendek lain di kumpulan buku yang sama, yaitu sajak yang berjudul "KALIAN" yang isinya cuma satu kata: /pun/. Dua sajak ini, hadir sebagai kontras di hadapan sajak-sajak lain di buku itu yang umumnya panjang, bahkan kontras itu masih ada ketika berhadapan dengan sajak-sajak lain karya penyair lain di negeri ini.
LUKA
ha ha
(Sutardji Calzoum Bachri, 1976)
/3/
KETIKA cinta yang luar biasa itu diungkapkan dengan sederhana, maka yang tersaji di hadapan kita adalah sebuah paradoks yang luar biasa. Ketika keikhlasan mencintai mengantar pada kesadaran untuk berkorban bagi dia yang dicintai, dan itu disebut sebagai sebuah cinta yang sederhana saja, adakah paradoks yang lebih hebat daripada itu?
Keikhlasan itu, cinta itu tak sempat diucapkan. Bahkan bila pun ia hanya sebagai isyarat. Si aku telah melakukan cinta itu. Ia menunjukkan dengan perbuatan, tanpa berharap, cinta itu dibalas. Ia mungkin bahkan tak berharap di engkau yang ia cintai itu tahu bahwa ia mencintainya. Inilah paradoks lain dalam sajak ini. Cinta yang menawarkan cara mencintai yang berbeda dengan cinta yang kebanyakan kita lakoni saat ini. Padahal sebetulnya, pada hakikatnya, begitulah cinta yang sesejatinya itu.
AKU INGIN
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Damono, 1980)