/1/
TAK pernah ada yang bertanya kenapa sungai
itu diberi nama Sungai Rambut. Padahal nama
Sungai Cukur mungkin lebih tepat. Sebab di
sepanjang tepian sungai itu dulu berjejer kedai-
kedai pangkas rambut alias kios tukang cukur.
WAKTU kecil saya selalu dibawa ayah bercukur
di sana. Favorit ayah adalah kios Pak Cukur,
seorang tukang cukur tua. Dia sendiri tak tahu
berapa usianya. Kalau ditanya dia hanya
menjawab, "Saya lahir ketika sungai ini masih
jernih. Mengalir deras di musim kemarau dan
tidak meluap di musim hujan. Waktu bocah saya
mandi bahkan minum langsung dari sungai ini."
Kalau sedang dicukur saya suka memandang ke
air yang mengalir di sungai Rambut. Airnya
hitam seperti rambut saya. Saya tak bisa
membayangkan ada bocah mau berenang di sana.
"Semua memang berubah, Nak," kata Pak Cukur.
/2/
Semua memang berubah. Pak Cukur sudah meninggal.
Jauh hari sebelumnya, kata orang, ia sudah tak
lagi mencukur sebab sungai itu meluap, menghantam
kiosnya dan semua kios tukang cukur lain di sana.
Saya tak berani melongok ke Sungai Rambut. Saya
tak berani membandingkan apakah airnya masih
sehitam rambut saya. Saya hanya berpikir, nama
apa yang kini pantas kuberikan untuk sungaiku itu.