SESEKALI bolehlah kita menyelipkan kata atau sepotong kalimat asing dalam puisi kita. Tentu penyelipan itu mesti dengan pertimbangan yang matang. Yaitu dengan mempertimbangkan efek puitik apa yang bisa dicapai. Dia harus menambah kadar puisi, bukan sekadar asal tempel yang tak berefek apa-apa.
Goenawan Mohamad ada memakai kata "headline", "goodbye" untuk sajak-sajaknya. Memang hanya sebuah kata, bukan sebaris kalimat. Tentu dia mempertimbangkan dengan matang dan memang ada alasan kuat untuk memakai kata-kata itu. Pada sajak lain, dia mengindonesiakan kata "nonsense" menjadi nonsens.
Chairil Anwar pada sajak "Buat Gadis Rasid" menyelipkan kalimat " --the only possible non-stop flight" pada baris ke-16 dari 17 baris sajak itu. Selipan itu saya kira utuh dan memang berkait dengan bait sebelumnya, juga dengan keseluruhan sajak. "Mari kita lepas, jiwa mencari jadi merpati / Terbang / mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat / --- the only possible non-stop flight / Tidak mendapat.
Dari sajak Chairil, kita bisa menebak-nebak, apakah pada tahun-tahun ketika sajak itu ditulis, yaitu 1948, memang sebuah tren berbahasakah selipan kalimat-kalimat asing itu? Apakah itu kalimat popular yang diselipkan Chairil dalam sajaknya?
T.S. Eliot pun ada menyelipkan kalimat berbahasa Prancis dalam sajaknya "Rhapsody in A Windy Night" yang berbahasa Inggris. Saya tidak tahu, seberapa asingkah bahasa Prancis bagi pemakai Bahasa Inggris seperti Eliot? Apakah sama asingnya seperti Bahasa Inggris terhadap pemakai Bahasa Indonesia?
Jadi, selipkanlah kalimat asing yang menggoda kita untuk mengutuhkan sajak-sajak kita. Namanya juga selipan, jangan terlalu banyak. Jika terlalu banyak, sebaiknya menulis sajak dengan bahasa asing saja sekalian.