Sajak yang baik,
Semakin banyak orang yang menuliskanmu. Mereka kemudian mengirim engkau yang mereka tuliskan itu ke surat-surat kabar, majalah, situs yang memuat puisi dari kiriman pembaca. Di media-media itu ditunjuk redaktur, orang yang menyeleksi dan memutuskan puisi-puisi mana yang dimuat dan mana yang tidak. Redaktur itu bekerja atas nama engkau, atas nama sajak yang baik, sajak yang layak dan cocok dimuat di media di mana mereka bekerja.
Sajak yang baik? Sajak yang layak muat? Sajak yang cocok? Itulah masalahnya. Media itu tidak pernah mengumumkan sajak yang baik, layak dan cocok itu seperti apa. Masing-masing media seperti punya syarat yang berbeda. Punya standar estetika yang berbeda.
Menjadi redaktur itu merisaukan. Dan kadang membosankan. Nirwan Dewanto, redaktur sastra di Koran Tempo mengaku tiap minggu menerima sekitar 200 naskah puisi dan cerpen. Bayangkan bagaimaa repotnya kalau dia harus membaca semua naskah itu dan memilih sebuah cerpen dan beberapa puisi untuk dimuat. "Kadang-kadang ada yang pengantarnya memaki-maki," katanya suatu kali, ketika bertemu di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Dan, mereka - para penulis sajak - itu, banyak yang juga risau. Mereka bertanya-tanya, kenapa sajak saya tak dimuat di koran A, tetapi selalu dimuat di koran B? Kenapa sajak saya tak pernah dimuat di mana-mana? Apakah perlu pengantar ketika mengirim sajak? Bagaimana pengantarnya?
Saya bilang kepada mereka yang risau: tulislah saja sajak, tanpa membebani sajak itu dengan target akan dimuat di media A atau media B. Tulislah sajak tanpa dipantas-pantaskan akan cocok atau layak dengan selera redaktur A atau redaktur B. Tulislah saja sajak yang baik sambil terus belajar sajak yang baik itu seperti apa.
Saya bilang pada mereka: bikinlah blog dan jadilah anggota mailist dan siarkan puisimu di sana. Sajak di blog akan dibaca orang-orang yang tahu alamat blog itu. Di mailist setidaknya mereka yang jadi anggota mendapat kiriman sajakmu. Murah, dan itu juga semacam tempat menyiarkan puisi yang baik juga. Paling tidak blog dan mailist mereka bisa jadi gudang arsip bagi karya mereka bukan? Tapi, jangan juga berhenti mengirim puisi. Kata saya, "Bila merasa telah mencapai taraf tertentu, bila merasa ada sesuatu yang berharga dalam sajakmu, kirimlah ke media."
Sajak yang baik,
Kami harus berterima kasih padamu. Karena lewat engkau, orang bisa berubah menjadi bukan siapa-siapa menjadi seseorang. Tapi, harapan untuk lekas menjadi seseorang itu yang kadang bisa membuat orang berprasangka macam-macam pada redaktur yang bekerja atas nama engkau. Orang - tentu yang menuliskan engkau - menjadi bergantung pada redaktur, dan melupakan bahwa pertama adalah orang harus menuliskan engkau sebaik-baiknya. Engkaulah yang sebenarnya bicara kepada para redaktur itu, sebelum redaktur itu menjawab, "nah ini sajak yang saya rindukan, sajak yang saya cari untuk dimuat di media saya."
Di Kota Padang saya mendapat cerita tentang almarhum A.A Navis, sastrawan besar itu. Ketika ia mendengar seorang penulis muda dimuat karyanya di sebuah media, Navis meminta korannya. Setelah dibacanya, koran itu lantas dilipat-lipat saja dan dicampakkan. "Ini bukan koran," katanya. Lantas, dia menyebut nama koran lain. "Kalau sajakmu dimuat di koran itu, itu baru namanya sajakmu dimuat di koran," katanya.
Saya mendapat cerita itu dari si penulis muda tersebut. Apa maksud Navis? Bagi saya jelas: jangan berhenti menulis dan jangan berhenti meningkatkan taraf sajak yang kita tulis. Jangan puas hanya karena telah dimuat di koran, dan lebih-lebih lagi jangan merasa telah menjadi penyair atau sastrawan setelah pemuatan itu.
Saya selalu bilang pada diri saya sendiri, dengan menuliskan engkau, saya tidak berniat supaya engkau bisa membuat nama saya terkenal karena tercantum di koran-koran itu bersamamu. Saya tidak menuliskan engkau karena saya ingin disebut penyair atau sastrawan. Dengan menuliskan engkau, saya ingin mengerti dan menikmati kehidupan, saya ingin menjalani kehidupan dengan lebih baik. Dengan menuliskan engkau saya ingin memuliakan bahasa, saya kira begitulah cara saya berterima kasih pada bahasa yang telah mengabdikan dirinya pada kehidupan saya, mempermudah kehidupan saya.
Salam kehidupan,
HAH
Foto: Dominic Rouse