Wednesday, May 16, 2007

[Telaah] Kenapa Jokpin Harus Memelorotkan Celananya?



Oleh Hasan Aspahani



/1/
Penyair Joko Pinurbo di awal tahun 2007 menerbitkan buku kumpulan puisi ke-8 "Kepada Cium". Saya kira buku ini penting walaupun pasti bukan bagian terpenting dari perjalanan menyair pria yang kini berusia 45 tahun itu. Bukan bagian terpenting, karena Jokpin - demikian julukan kerennya - sudah melampaui tahap pembuktian mutu sajak-sajaknya. Ia sudah selesai dengan tugas membuktikan bahwa sajak-sajaknya bermutu. Ia - dengan delapan buku - sudah membuktikan pula produktivitas kerja menyairnya.

Buku ini tipis dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya. Isinya 33 sajak. Buku debutnya "Celana" berisi 44 sajak. Sebenarnya buku "Telepon Genggam" (2003) pun hanya berisi 32 sajak, tetapi buku ini jauh lebih gemuk karena sajak-sajaknya sebagian lebih panjang-panjang. Buru-buru harus saya sebutkan, bahwa panjang pendek sajak tidak menentukan mutu sajak itu. Dan pendek panjang sajak juga tidak menentukan stamina menyajak penyairnya.

/2/
Saya sendiri ingin melihat buku ini sebagai jurus-jurus latihan atau pemanasan seorang petinju Jokpin sebelum pertandingan sesungguhnya. Dia adalah sang juara bertahan yang hendak mempertahankan gelarnya. Ini sesungguhnya adalah pertandingan melawan diri sendiri. Dari menonton latihan itu saya bisa membayangkan bagaimana gaya bertarungnya nanti di atas ring. Saya adalah penggemar sang petinju ini. Saya mengagumi jurus-jurusnya dan trik-triknya mengandaskan lawan.

Tantangan bagi petinju sehebat dia bukan lagi bagaimana menjatuhkan lawan tetapi bagaimana menjatuhkan lawan sambil memikat penonton dengan mempertontonkan jurus-jurus dan trik baru di atas ring.

/3/
Sekali lagi bagi saya buku "Kepada Cium" adalah latihan yang sedap ditonton. Dari tontonan itu saya kemudian menebak-nebak kecenderungan jurus dan trik apa yang hendak ditampilkannya kelak. Maka saya mencatat beberapa jurus yang kerap ia pakai. Saya tak tahu ini metode telaah model apa. Saya menandai delapan kata yang bolehlah dianggap sebagai penanda bahasa sajaknya Jokpin. Boleh juga dianggap delapan kata itu adalah kata-kata kedoyanannya. Lalu saya menghitung berapa kali kata-kata itu muncul dalam 33 sajak dalam buku itu. Inilah hasilnya:
1. "Kamar mandi" muncul dalam 1 sajak.
2. "Telepon genggam" nongol dalam 2 sajak.
3. "Ranjang" menampakkan diri dalam 4 sajak.
4. "Tubuh" hadir dalam 9 sajak.
5. "Bulan" datang dalam 5 sajak.
6. "Celana" dipakai dalam 8 sajak.
7. "Mata" terlihat dalam 6 sajak.
8. "Kuburan" ada dalam 5 sajak.

Yang perlu saya sampaikan juga setelah urusan hitung menghitung itu adalah ternyata ada delapan sajak yang tidak mengandung delapan kata itu. Ada sebuah sajak yang mengandung enam dari delapan kata itu. sekalian saja kita kutip di sini, sajak itu berjudul "Pasien":
Seperti pasien keluar masuk rumah sakit jiwa,
kau rajin keluar masuk telepon genggam,
melacak jejak suara tak dikenal yang mengajakmu
kencan di kuburan pada malam purnama:
Aku pakai celana merah. Lekas datang ya.
kutengok ranjangmu: tubuhmu sedang membeku.
menjadi telepon genggam raksasa.

Ada sedikit kecurangan statistik di sini. Kata "purnama" kita hitung saja sebagai "bulan". Ayo hitung lagi, temukan enam kata itu: telepon genggam, kuburan, bulan eh purnama, celana, ranjang, tubuh. Enam kan? Nah, bagaimana rasanya? saya sendiri membayangkan diri sebagai lawan latihnya di ring itu. Dengan jurus-jurus yang sudah saya hapalkan sebelumnya, mestinya saya bisa menghindar dari jotosannya. Tapi, ups, jduk, bhuk, owf, awh, ugh, saya masih kena tumbuk juga. Bertubi-tubi pula.

/4/
Jokpin telanjur dicap sebagai petinju eh penyair dengan jurus "Celana". Cap itu ada benarnya. Soalnya, buku pertamanya berjudul itu. Dan jurus itulah yang agaknya paling melekat di benak penikmat sajak-sajaknya. Padahal di buku pertama itu kata yang paling merisaukan si penyair adalah "ranjang". Bayangkan saja dia harus naik turun ranjang sebanyak 12 kali di buku itu. Celana hanya sampai pada seri ketiga. Tetapi, memang pada banyak sajak celana-celana berbagai macam model kerap muncul tiba-tiba, baik sebagai peran utama ataupun hanya sekadar cameo. Baiklah Jokpin memang tidak terlalu salah kalau dilekatkan pada "celana". Ini mungkin sebentuk keterkejutan kita, pada kejeliannya mengangkat harkat "celana" ke tingkat kemungkinan kreativitas untuk disajakkan yang luar biasa. "Celana" di tangan Jokpin menjadi lentur untuk mengucapkan banyak hal yang oleh penyair lain bahkan tak terbayangkan bisa dipadankan. Tetapi sesungguhnya, Jokpin tidak hanya memakai jurus itu. Tengoklah hitung-hitungan di atas!

/5/
Jokpin juga piawai menaklukkan sajak dengan sejumlah jurus yang tak kalah telak. "Celana" malah kalah sering dengan "tubuh". Dan jurus lain pun hanya berselisih sedikit. "Mata", "bulan", "kuburan" dan "ranjang" pun perlu dinikmati kemunculannya, dan masih dengan telak menjotos kita. Bisakah hitung-hitungan tadi meramalkan bagaimana aksi Jokpin di ring sesungguhnya? Kecenderungannya iya, dengan sejumlah asumsi tentu saja.

Pertama, kata-kata eh jurus-jurus tadi muncul naluriah dalam sajak. Jokpin misalnya, tidak dengan sadar mengurangi jurus "celana" supaya tidak terus-menerus dicap sebagai penyair celana. Dia juga tidak dengan sadar mengurangi jurus lain supaya penampilannya tidak membosankan. Sekali lagi, jurus-jurus itu muncul spontan dalam rangka menaklukkan lawan.

Kedua, sebagai petinju eh penyair yang baik dan benar, dan punya peminat yang luas, dia tentu harus kita tuntut agar menyajikan penampilan yang segar, dan mempertontonkan jurus-jurus baru. Kalau tidak, tentu dia harus rela bersiap menggantung sarung sajaknya. Saya kira Jokpin masih punya stamina bertarung yang luar biasa dan itu modal besar untuk mempertahankan gelar juara puisi dalam kurun waktu yang masih akan lama.

Ketiga, jangan-jangan kitalah yang memenjarakan Jokpin di dalam celana. Dia sendiri enak-enak saja keluyuran kesana kemari dalam dari sajak ke sajak tanpa celana.

/6/
Sekarang tiba giliran pada pertanyaan penting yang kerap diajukan peminat dan pengamat Jokpin: "Apalagi setelah celana, Jokpin?" Dalam bahasa saya, "apakah sudah saatnya Jokpin harus memelorotkan celananya?" Jawabnya, tengok asumsi ketiga di bagian /5/. Pertanyaan serupa ini sesungguhnya adalah pertanyaan yang wajib diajukan sendiri oleh penyair mana pun kepada dirinya sendiri, dengan catatan dia sudah harus menemukan "celana" sendiri, seperti Jokpin. Bila belum, maka pertanyaannya adalah "celana macam apa yang harus saya kenakan dalam sajak-sajak saya?".

/7/
Setelah buku "Kepada Cium" itu terbit, Jokpin tampil sekali di Kompas. Dan sementara ini dia pun pasti banyak menyiapkan sajak-sajak baru, dan sangat mungkin dengan jurus-jurus baru pula. Bila kemunculan sekali itu dianggap cukup untuk sebagai ronde pertandingan sesungguhnya, maka sebenarnya Jokpin sudah menjawab sendiri pertanyaan di bagian /6/. Ada beberapa jurus baru yang -- ah maaf dengan mata saya yang kadang rabun kadang bermasalah akomodasinya -- saya belum bisa memastikan apa namanya. Biarlah jurus-jurus itu naluriah semakin sering ia jotoskan.

Akhirulkalam, satu catatan penting perlu disebutkan di tulisan ini. Ada karakter dasar yang tak bisa diubah dari seorang petinju: seorang boxer tidak bisa serta-merta diubah menjadi seorang fighter. Begitu pun penyair, ada pola jurus dan gaya menyair yang tak serta merta bisa diubah begitu saja. Semoga banyak bagian dari tulisan ini yang meragukan dan karena itu ianya perlu didebat. Saya sendiri mau berlatih bikin jurus saya sendiri. Siapa tahu saya mendapat kehormatan bisa menantang Jokpin bertinju. Sekian.[]