Wednesday, May 23, 2007

SBSB di Batam: Jembatan Masyarakat Literal

Di Auditorium Politeknik Batam. Taufiq Ismail berdiri di panggung berkarpet biru setinggi dua jenjang tangga itu. Di belakangnya duduk bersaf Jamal D Rahman, Agus R Sarjono, Hoesnizar Hood dua bangku kosong dan Putu Wijaya. Di panggung tepi sebuah podium. Panggung itu berhadap-hadapan dengan 400-an siswa SMU dari beberapa sekolah di Batam.  Di belakang panggung sebuah spanduk terbentang dengan tulisan merah Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).

"Di Rusia," kata Taufiq yang Rabu (23/5)  itu memakai batik putih bertabur hiasan merah dan bertopi hitam itu, "siswa SMA membaca 12 buku." Dan itulah kecemasannya. Di Indonesia, tidak ada peraturan yang mewajibkan pelajar membaca. Siswa SMA di Indonesia tidak dibiasakan membaca karya sastra. Itulah pula sebabnya SBSB digelar sejak 2000 oleh Horison. Penyair Taufiq adalah motor penggeraknya.  Tahun ini SBSB disinggahkan di 5 provinsi, dengan 13 sastrawan.

Taufik lantas menunjukkan buku novel "Perang dan Damai" karya Leo Tolstoy yang 1.400 halaman itu. Inilah salah satu dari 12   judul buku sastra yang jadi bacaan wajib di Rusia. Ia juga membawa buku Rusia lain yang masuk dalam daftar wajib baca itu.  Sebuah karya Mikhail Aleksandrovich Sholokhov, "Sungai Don Mengalir Tenang".  Sholokov adalah peraih nobel sastra tahun 1965. Agus R Sarjono membantu menating buku empat jilid itu. Masing-masing setebal 1.000 halaman.  20 buku karya sastra Indonesia masih kalah tebal dengan satu novel itu. 

"Dan 20 judul itu pun masih dalam angan-angan, " kata Taufiq. Itulah sebabnya SBSB digelar. Itulah sebabnya para sastrawan datang ke sekolah-sekolah.
 

"Pertama, kami para sastrawan ingin betul generasi muda suka membaca. Agar tercipta budaya literal. Gemar membaca. Kedua, kami para sastrawan berharap kalian suka menulis. Dan ketiga, mempertinggi apresiasi sastra," kata Taufiq. 

Kenapa budaya membaca harus dimulai dari sastra? "Sastra hanya jembatan. Setelah kalian gemar membaca kalian harus membaca buku-buku lain. Tidak semua yang hadir di sini harus jadi sastrawan. Dua saja yang jadi sastrawan hebat. Yang lain jadi orang yang gemar membaca," kata Taufiq. Jawaban Taufiq menutup acara tanya jawab. Jamal D Rahman memandu acara dengan baik. 27 siswa berbaris di depan dua mikofon bergilir bertanya.  

Citra, salah satu siswa mengajukan pertanyaanb begini. "Kami merasa sastra itu seram. Kami tidak suka. Sebenarnya sastra itu apa, Pak?" Tengok, mereka seram pada apa yang mereka tidak tahu. Dikeluhkan juga soal buku sastra mahal dan tak tersedia di sekolah.

"Kalian tidak harus beli.  Tugas pemerintah yang mengadakan buku itu di sekolah. Itu yang sedang kami usahakan," kata Taufiq.  Pertanyaan lain dijawab bergiliran pula. 

Bagaimana menjadi sastrawan? "Melihatlah dengan cara pribadi. Bukan dengan cara umum. Menulis karya sastra itu hanya permainan. Tapi dikerjakan dengan tidak main-main. Dan hasilnya menjadi bukan main," kata Agus R Sarjono.

Dan ini jawaban ringkas dan bagus dari Putu Wijaya. "Kenapa harus membaca sastra? Karena sastra itu mengembangkan jiwa masyarakat. Kenapa menulis? Karena saya ingin membagi pengalaman batin saya. Jangan takut menulis. Kalau malu mempublikasikannnya, biar saja. Nanti karya yang bagus itu akan memberontak dan minta dipublikasikan sendiri. Berlatihlah menulis, membacalah, dengarkan apa kata pembaca dan apa kata sastrawan lain."

"Saya produktif menulis karena bagi saya menulis adalah pekerjaan. Kalau tidak menulis saya tidak dapat uang. Karya sastra bagi saya adalah hasil kerja saya," katat Putu yang tampil khas berbaret putih, dan kaos hitam. 

Lantas apakah karya sastra yang baik itu? Ini jawaban Putu: Sastra yang baik selalu membagikan pengalaman batin setiap kali dibaca. Karena itu dia tidak membosankan dan selalu ingin dibaca berulang-ulang. Sebaliknya, karya sastra yang buruk, dibaca sekali habis, tidak ingin lagi kita membacanya.[hasan aspahani]