PUISI, bisa juga dilihat sebagai serangkaian kebingungan. Bingung, berarti di hadapan puisi kita tak tahu hendak berbuat apa, tak tahu hendak menyimpulkan apa. Sebenarnya kita tak perlu berbuat apa-apa, tidak perlu menyimpulkan apa-apa. Tapi, itulah celakanya, di hadapan puisi --- puisi yang baik -- kita justru digoda untuk berbuat dan menyimpulkan sesuatu. Dan karena itu kita memerlukan kebingungan itu, untuk merangsang rasa dan pikir kita, menumbuk dinding rutinitas yang membeku.
Berpuisi bisa dianggap sebagai upaya mengelola kebingungan. Puisi adalah sebuah kebingungan yang terkelola, yang tertata. Penataan dan pengelolaan itu tidak membuat kebingungan mati. Kebingungan itu tetaplah kebingungan. Puisi membawa kita yang bingung ke sejumlah pintu, dan kita tahu di balik pintu-pintu itu ada lorong-lorong yang banyak kelok dan banyak selok. Ada lorong yang remang, ada lorong yang terang, ada lorong yang gelap, ada lorong yang becek, ada lorong yang panas, ada lorong yang lantainya begoyang-goyang ketika dipijak.
Pembaca adalah orang yang dengan sadar memilih memasuki sebuah pintu dan menebak-nebak di mana kelak berakhir lorong yang ia pilih itu. Sepanjang perjalanan di dinding dia melihat ada foto-foto terpajang. Foto wajah, atau benda-benda yang seakan-akan pernah dia lihat. Mungkin ada juga fotonya sendiri, atau foto yang ia jepret pada suatu ketika di suatu tempat.
Pintu puisi adalah pintu yang sedikit kuak, ada remang cahaya lolos ke luar dari balik pintu itu. Bukan pintu yang terbuka sepenuhnya atau terkunci rapat dan membayangkan ruang gelap di sebaliknya. Pintu puisi adalah pintu yang seperti mambayangkan sepasang tangan melambai di sebaliknya mengajak seseorang pembaca singgah, menyeleweng dari tujuan semula ketika ia melintas di depan pintu itu.[]