* gambar sampul dicomot dari blog Jokpin
/1/
Penyair Joko Pinurbo, Jumat 25 Mei 2007, meluncurkan sebuah buku penting di Toko Buku Aksara, Jakarta. Tentu saja itu sebuah buku sajak. Judulnya "Celana Pacar Kecilku di bawah Kibaran Sarung". Ini memang sebuah buku yang merangkum tiga buku yang pernah terbit: "Celana" (1999), "Di bawah Kibaran Sarung" (2001), dan "Pacar Kecilku" (2002). Padahal Februari sebelumnya ia baru saja melahirkan kumpulan sajak terbarunya "Kepada Cium".
Penerbitan ulang ini menggembirakan, bahwa buku puisi ternyata bisa laku.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama pasti mempertimbangkan pasar. Konon, tiga buku sulung Joko ini semakin banyak dicari tapi semakin susah dicari. Konon pula, penerbit lama tidak punya daya untuk menerbitkan ulang, maka penerbit baru pun mengambil kesempatan. Sebenarnya buku puisi memang bisa laku, kok. Tengoklah buku-buku Rendra, dan Chairil Anwar. Cetaknya pun telah banyak berulang-ulang. Lantas kenapa banyak buku puisi tidak laku? Jangan-jangan memang puisinya yang kurang "nendang".
Adakah hal lain yang bisa ditinjau dari terbit ulang ini? Mungkin banyak. Saya hanya ingin meninjau dari satu jurusan: penyuntingan puisi. Ya, penyuntingan puisi. Karena belum melihat buku baru maka bahan saya adalah satu dari sembilan sajak Jokpin yang muncul dalam dua buku berturut-turut. Sajak itu adalah "Gambar Porno di Tembok Kota" yang muncul di buku "Celana" dan "Gadis Malam di Tembok Kota" dari buku "Di bawah Kibaran Sarung". Kedua sajak itu adalah sajak yang sama. Perubahan semata-mata karena sang penyair sengaja menyuntingnya. Itu dilakukan dengan sesadar-sadarnya, penuh pertimbangan dan mungkin juga sedikit keisengan.
Di pengantar buku "Di bawah Kibaran Sarung" sang penyair menulis pengakuannya. Katanya, "Hampir semua puisi yang telah diterbitkan, yang kemudian saya rekrut ke dalam buku ini, telah mengalami revisi, re-kreasi, dengan kadar bervariasi. Entahlah, ketika membaca-ulang (sampai kesekian kali) puisi-puisi yang telah "selesai" saya tulis, saya kerap digoda oleh berbagai "salah cetak" dan "salah gubah", sehingga tangan yang oh tidak suci ini sering gatal juga".
/2/
Sekarang marilah kita tengok dua sajak eh satu sajak itu dan mari kita telurusi revisi, re-kreasi yang dihasilkan oleh kegatalan tangan penyair yang oh tidak suci ini. Supaya penelurusan kita mulus maka pada bait saya beri angka Romawi, dan pada baris saya terakan nomor.
Judul Buku: Celana
Judul Sajak: Gambar Porno di Tembok Kota
I
1. Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
2. Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
3. Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
4. Seperti *angin* memamerkan *kecantiakan*:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan dunia
6. .... leher jenjang yang menyimpan beribu jeritan
7. .... dada montok yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, yang
9. .... dirimbuni semak berduri.
II
10. Dan malam itu datang seorang pangeran dengan celana
11. komprang, baju kedodoran, rambut acak-acakan.
12. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.
III.
13. "Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
14. yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot bergoyang-
15. goyang, yang jalannya sedikit goyang tapi gagah juga.
16. Selamat malam Alwy."
IV.
17. "Selamat malam Kitty. Aku datang membawa puisi.
18. Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
19. yang penuh pekik dan basa-basi.
V.
20. Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar mencecar
21. bunga-bunga layu yang bersolek di bawah cahaya merkuri.
22. Dan bila situasi politik memingkinkan, tentu akan
23. semakin banyak yang gencar bercinta tanpa merasa
24. was-was akan ditahan dan diamankan.
VI.
25. "Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
26. Ledakkan puisimu di nyeri dadaku."
VII.
27. "Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
28. Aku tak pandai meradang, menerjang."
VIII.
29. Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
30. leher hangat dan bibir lezat yang terancam kelu.
31. Dan dengan cinta yang agak *berangsan* diterkamnya
32. dada beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
33. yang menyerahkan diri pada sembilu.
IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya *beringsat* tapi
35. ada teduhnya, yang cintanya ganas tapi ada lembutnya,
36. yang jidatnya licin dan luas tempat segala kelakar
37. dan kesakitan begadang semalaman."
X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, mesti
39. kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar di puncak risau.
40. Maaf, aku tak punya banyak waktu buat bercinta.
41. Aku mesti lebih jauh mengembara di papan-papan iklan.
42. Tragis bukan, jauh-jauh datang dari Amerika cuma untuk
43. jadi penghibur di negeri orang-orang kesepian?"
XI.
44. "Terima kasih, gadisku"
45. "Peduli amat, penyairku."
Judul Buku: Di bawah Kibaran Sarung
Judul Sajak: Gadis Malam di Tembok Kota
I.
3. Tapi enak saja ia /nampang/, mengangkang
4. Seperti /ingin/ memamerkan /kecantiakan/:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan /derita/ dunia
6. .... leher /langsat/ yang menyimpan beribu jeritan/;/
7. .... dada /segar/ yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, / /
9. .... /yang/ dirimbuni semak berduri.
VIII.
31. Dan dengan cinta yang agak /beringas/ diterkamnya
33. yang menyerahkan diri /ke/pada sembilu.
IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya /beringas/
35. /tapi/ teduh /juga/, yang cintanya ganas tapi lembut /juga/,
X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, / /
39. /mesti/ kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar / /
40. /di puncak risau./ Maaf, aku tak punya banyak waktu / /
41. /buat bercinta./ Aku mesti lebih jauh mengembara / /
42. /di /poster-poster/ iklan/.Tragis bukan, jauh-jauh datang / /
43. /dari Amerika cuma untuk/ jadi penghibur / /
44. /di negeri orang-orang kesepian?"/
/3/
Dan inilah hasilnya:
1. Sajak ini terdiri atas sebelas bait dan 45 baris di versi pertama tetapi menjadi 46 baris di versi kedua. Penambahan satu baris terjadi di bait ke-10 yang semua barisnya dipenggal ulang.
2. Ada empat salah cetak yang ditemukan dan kemudian dibenarcetakkan.
- di baris ke- 4: "angin" dan "kecantiakan" dibenarkan menjadi "ingin" dan "kecantikan"
- di baris ke-31: "berangsan" diluruskan menjadi "berangasan"
- di baris ke-34: "beringsat dikembalikan menjadi "beringas"
3. Sejumlah baris di-reshuffle kata-katanya.
- di baris ke-3: "nongkrong" diganti dengan "nampang"
- di baris ke-6: "jenjang" ditukar dengan "langsat"
- di baris ke-7: "montok" ditendang oleh kata "segar"
- di baris ke-33: "pada" disundul oleh kata "kepada"
- di baris ke-41: "papan-papan" ditimpa dengan "poster-poster"
4. Ada kata yang ditambahkan.
- di baris ke-5: ditambahkan kata "derita" di depan kata "dunia"
5. Ada pula frasa yang digubah ulang:
- baris ke-35:
"ada teduhnya" menjadi "tapi teduh juga",
"ada lembutnya" menjadi "tapi lembut juga",
6. Yang terakhir yang mestinya disebut sejak awal: judul sajak ini berubah dari "gambar porno" menjadi "gadis malam". Pilihan terakhir itu terasa lebih santun memang. Penyair kita tampaknya rikuh juga dengan judul pertama yang terasa lebih vulgar itu.
/4/
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari perubahan itu?
1. Mengubah puisi yang sudah dianggap selesai bukanlah dosa. Ia bisa menawarkan kerisauan dan (karena itu juga menjanjikan sebuah) keasyikan yang harus kita sambut tawarannya itu./5/
2. Perubahan-perubahan di atas menunjukkan bahwa diksi adalah salah satu hal pokok dalam puisi. Sebuah kata di dalam puisi bisa bergantin menempati tempat yang sama dengan kata lain dan pergantian itu menawarkan sebuah permainan yang asyik: permainan makna dan permainan bunyi, juga permainan rasa. Tengoklah rasa yang berubah ketika kata "nongkrong" menjadi "nampang", atau ketika "dada montok" menjadi "dada segar".
3. Frasa bisa dipolkan tarikan gasnya untuk memaksimalkan kualitas sajak. Tengoklah, hanya dengan menambahkan kata "derita" di depan "dunia" yang sudah nangkring lebih dahulu, lalu menjadi frasa "derita dunia", maka baris sajak menjadi lebih dahsyat efek maknanya.
4. Sajak, selain olah rasa, terutama adalah olah pikir. Mengutak-atik kalimat adalah permainan yang menuntut kemampuan pikiran yang tekun, teliti, usil, nakal, jeli, dan sekaligus jernih.
Akhirulkalam, sajak bisa dimasuki lewat banyak pintu. Pilihan pada sebuah pintu, tidak berarti menutup pintu lain. Silakan keluar masuk sajak, yang mana enak sajalah. Bahkan mungkin semua pintu masuk itu harus dicoba agar kita mendapat kenikmatan yang bermacam-macam pula, dan mendapat banyak pelajaran untuk membangun rumah sajak kita sendiri. Mau tidak mau, kita harus melengkapi kunci-kunci pintu rahasia itu agar bisa membukanya dan masuk ke dalam sajak.[]