Ini petikan dari Asrul Sani dalam "Charil Anwar", dalam buku "Surat-surat Kepercayaan", Pustaka Jaya, Cet. 2, 2000. Tulisan itu sebelum dibukukan terbit di "Siasat", 2 Mei 1954:
Kita baru dapat memastikan bahwa ia adalah "pengubah" besar dalam soal bahasa. Dengan dirinya sempurnalah perebutan bahasa dari tangan guru-guru, dan mulai saat itu bahasa Indonesia kembali ke tangan penyair. Mulai saat itu puisi bukan lagi hasil percobaan tata bahasa yang telah ditetapkan hukum-hukumnya, tapi pengucapan perasaan dan pikiran.
Saya lantas ditumbuk oleh sejumlah pertanyaan:
1. Seberapa hebatkah perebutan bahasa itu dulu dari antara guru-guru dan penyair? Adakah kajin soal ini? Dan bagaimana jadinya bahasa dan puisi Indonesia saat ini jika perebutan itu tidak pernah ada?
2. Bila Chairil berhasil memenangkan penyair dalam perebutan itu, lantas apa tanggung jawab penyair sekarang untuk mengisi kemenangan itu? Masihkah ada artinya kemenangan itu?
3. Puisi saat ini memang tak pernah dilihat sebagai percobaan tata-bahasa yang telah ditetapkan hukum-hukumnya. Saat ini kita bahkan tak tahu bahwa cara memandang puisi yang seperti itu pernah ada dulu. Tapi sungguh tidak adakah semacam hukum-hukum dasar puisi yang bisa diajarkan di luar urusan pengucapan perasaan dan pikiran? Banyak sekali pertanyaan mendasar yang berulang diajukan oleh orang yang baru menggelut puisi yang mestinya tidak perlu diajukan lagi apabila tersedia semacam hukum dasar itu.
4. Lalu sekarang dikeluhkanlah minimnya porsi pengajaran sastra di sekolah-sekolah dan terbatasnya minat guru-guru bahasa untuk mengajarkan sastra. Saya berpikir, apakah ini semacam balas dendam guru-guru itu kepada penyair yang dulu merebut bahasa dari tangan mereka?