/1/
INILAH sungai yang mengaliri negeri kami.
Arusnya berlapis tiga: di permukaan ada pedih kenyataan,
di tengahnya harapan yang kadang-kadang beku, lebih kerap buntu,
dan di dasarnya darah yang masih deras dari hulu: luka lama itu.
Di sinilah kami mandi, saling memperhatikan tubuh dan
menyimpulkan satu hal sama, "luka kita memang belum sembuh,
luka baru alangkah subur, semakin berumur, semakin tumbuh."
/2/
INILAH sungai yang mengalir ke petak-petak sawah tua,
mengentalkan lumpur, yang berabad-abad lekat di kaki kami.
Sawah tua!
Sawah tua!
Kami telah membagi-bagi di mana kelak anak-cucu memakamkan kami.
Sawah tua!
Sawah tua!
Kami telah belajar menggali bersama lubang selebar liang kubur
di tanah yang tiap hari kami taburi dengan abu: bangkai harapan
yang kami kremasi di apimata, tanpa upacara tanpa doa.
Ya, kami memang telah lama lupa cara berdoa. Memang,
ke rumah-rumah ibadah kami masih rajin datang, lalu bertegur
sapa dengan kesepian mimbar: kosong dan hambar.
/3/
INILAH sungai yang tiap liuknya menumbuk hati kami yang rindu.
Ada yang menumpahkan racun di hulu, dia yang dulu lahir dari
rahim kami, yang kami mandikan dengan hujan yang kami tampung
di takungan dua tangan, setelah kemarau yang kami kira abadi.
/4/
INILAH sungai yang kerap meluap, membawa jenazah, hanyut tengadah.
Di pelantar-pelantar kami berdiri, mencari wajah sendiri, seperti berkaca.
Kutukan itu memang terbukti kini. Dulu ada orang tua bisu dan buta yang
kami bunuh bersama karena kematiannya konon menolak seribu bala.
Sejak itu kami pun terbelah jadi dua. Sebagian lari dan bermukim di hulu.
Dan yang tertinggal, menunggu alir takdir, tergelincir dalam sesal berlendir.
/5/
INILAH sungai. Inilah kami. Inilah negeri kami.
Ada suatu kali arus sungai betapa heningnya. Alangkah tenangnya.
Lalu tangan-tangan putus hanyut. Mengetuk-ngetuk lambung perahu.
Kau tahu itu tangan siapa? Itulah tangan orang-orang yang dulu kami
antar memasuki istana di hulu, dengan seribu perahu, dengan dayung
kepingan papan yang kami lepas dari dinding rumah kami sendiri.
Hah, tanpa tangan mereka kini bisa apa?
Tapi, dengan tangan apakah ada bedanya?
Lalu perahu-perahu itu bertambat tali di kaki-kaki kami.
Kami lupa cara mendayung. Lagi pula kemana hendak berkayuh?
Karena inilah sungai yang kini mengaliri negeri kami.
Arusnya berlapis tiga: di permukaan ada perih kenyataan,
di tengahnya harapan yang terkadang hanya hanyut batu-batu,
dan di dasarnya darah yang masih panas dari hulu: duka lama itu.
/6/
INILAH sungai tempat kami mencuci kain kafan hitam, setiap hari,
lalu mengeringkannya di bawah kaki matahari. Dulu, kain-kain
itu kami tenun sendiri sebagai layar kapal yang dijanjikan
setelah kayu-kayu yang kami pilih di hutan kami serahkan
untuk tiang-tiang istana.
Dan kami tak pernah bisa berkunjung kesana.
Dan kami tak pernah bisa berbangga pada mereka, anak-anak kami sendiri:
Anak-anak yang bermain memandikan kerbau tua dan buta
Anak-anak yang menyelam memunguti batu dan membayangkan
bisa mengalungan permata di leher ibunya
Anak-anak yang menggali anaksungai sendiri lalu mengalirkan ke
halaman sekolah yang ditinggalkan guru-gurunya.
Anak-anak yang menolak diseragamkan isi otaknya.
/7/
DAN inilah sungai tua yang tabah mengalirkan sampah-sampah:
pesawat televisi yang mengapung dengan siaran 24 jam tak sudah-sudah
menyiarkan pidato bohong,
lagu-lagu angkatan nongkrong,
cerita hantu pocong,
kisah cabul dan komedi kosong,
dan iklan yang bikin otak & hati bolong!
Dan kami cuma penonton tolol, yang tertawa, digelitik khayalan konyol
tak tahu ada tangan yang jauh merogoh, ke dalam mata, mencuri cahaya.
/8/
INILAH sungai tempat kami dimandikan ketika bayi.
Inilah sungai yang semakin deras mengalir di negeri kami.
Inilah sungai yang perlahan menelan perahu-perahu kami.