Sunday, January 28, 2007

.: Tuntutan dari Wilayah Pengetahuan Bersama

Esei Hasan Aspahani

/1/
KEPADUAN teks puisi, juga yang bukan puisi, bisa ditilik dari kohesi dan koherensi pada teks tersebut. Yang pertama melihat kepaduan unsur-unsur di dalam teks itu sendiri, yang kedua melihat hubungan antara teks dengan faktor di luar teks tersebut. Sebuah teks tidak koheren apabila tidak ada keberterimaan dalam teks tersebut. Keberterimaan itu ditentukan oleh pengetahuan bersama (shared-knowledge) di luar teks yang disebut konteks bersama (shared-context). Ketika mengutak-atik koherensi di dalam puisinya, penyair benar-benar diuji.


/2/
Jika koherensi ini menjadi pertimbangan ketika menulis puisi, maka penyair sebenarnya adalah orang yang sadar dan pandai mengukur seberapa banyakkah pengetahuannya dan pengetahuan orang yang kelak membaca puisinya berada dalam wilayah "bersama". Penyair boleh sesekali merendah, tapi tidak harus selalu merendah, apalagi sampai menganggap pembacanya berpengetahuan miskin alias tak sekaya pengetahuan yang ia miliki. Wilayah pengetahuan bersama itu abstrak. Di situlah asyiknya puisi, yaitu ketika penyair mengepas-ngepaskan di mana letak puisinya di wilayah "pengetahuan bersama" itu.

/3/
Penyair seringkali menantang pembaca puisinya untuk masuk ke wilayah pengetahuan bersama yang ia tawarkan. Ada pembaca yang menolak untuk masuk ke tawaran wilayah baru itu, ada pembaca yang sukarela melibatkan diri, ada pembaca ikhlas menerima, ada pembaca yang menciptakan wilayah sendiri yang bukan wilayah yang dimaksudkan oleh penyair. Pembaca adalah pencipta koherensi sendiri pada teks puisi yang ia hadapi. Bebas saja.

/4/
Tapi jangan terlalu asyik pada permainan koherensi itu saja. Ini permainan. Penyair boleh menciptakan sajak yang seakan-akan abai pada koherensi. Sesekali, ya sesekali, penyair boleh saja berakrobat kata-kata. Melompat keluar masuk dari wilayah "pengetahuan bersama". Sesekali, ya sesekali, apa salahnya berakrobat? Barangkali dari akrobat itu terpicu imajinasi yang lebih liar untuk sajak-sajaknya berikutnya. Tapi, jangan akrobat itu langsung disodorkan kepada pembaca, apalagi pembaca dipaksa untuk menerima itu sebagai sebuah keberhasilan atau penemuan pengucapan baru. Pada saat penyair menyodorkan hasil percobaan pengucapannya kepada pembaca dia mestinya sudah yakin bahwa memang ada sesuatu yang berharga untuk ditempatkan di wilayah bersama. Mungkin sesuatu yang baru itu makan waktu untuk diterima. Tak apa-apa.

/5/
Selain pengetahuan bersama, ada hal lain di luar bahasan linguistik yang khas pada puisi, yaitu wilayah perasaan yang sama. Tepatnya: serupa tapi tak sama, sebab tidak pernah ada perasaan yang persis sama. Penyair dalam sajak-sajaknya berusaha menggenerikkan perasaaannya yang khas. Bila upaya itu berhasil, maka pembaca kemudian bisa dan ikhlas mengidentikkan perasaannya yang juga khas kepada apa yang sudah digenerikkan oleh penyair itu.

/6/
Ketika menulis sajak "Pada Album Miguel De Covarobias" dan sajak "Untuk Frida Kahlo", saya kira penyair Goenawan Mohamad tidak mempertimbangkan apakah pembacanya tahu siapakah tokoh yang namanya ia jadikan judul itu sajak. Dia pasti tidak peduli apakah pengetahuannya itu berada di wilayah bersama dengan pengetahuan pembaca sajak-sajaknya. Saya sendiri yakin si penyair punya pengetahuan banyak tentang nama yang ia tulis. Pasti ada yang memukau dari nama itu sehingga ia sajakkan. Covarobias adalah seorang traveler Meksiko yang menulis tentang buku Bali dan kemudian membuat Bali masyhur dalam khazanah pelancongan dunia. Kahlo adalah pelukis wanita beraliran surealis yang juga berasal dari Meksiko. Bergunakah pengetahuan itu ketika membaca sajak tersebut? Dengan mengambil contoh dua sajak diatas, jawabannya bisa ya, bisa tidak. Bisa digunakan, bisa tidak. Dia bisa menjadi konteks yang mengikat, dia bisa juga dilepaskan untuk dicarikan konteks lain.

/7/
Ada pembaca yang rajin berburu konteks pada teks-teks puisi-puisi penyair yang mereka baca. Jika mereka tak menemukan konteks yang mereka butuhkan - dengan kata lain pembaca itu tidak bisa memberi makna yang memadai, dan tidak bisa mengambil manfaat dari sajak itu - maka mereka menjatuhkan vonis mati kepada sajak yang mereka baca, atau bahkan pada penyair yang menulis sajak itu. Itu risiko menyair. Hadapi saja. Ketika dibunuh oleh sekelompok pembaca, bukankah penyair dan sajak-sajaknya mungkin diberi tempat yang nyaman oleh sekelompok pembaca lain? Penyair bahkan disebut-sebut telah mati di hadapan sajaknya sendiri, setelah ia selesai melahirkan sajak itu, bukan? Mati di hadapan sebuah sajak, penyair tetap hidup untuk melahirkan sajak berikutnya.

/8/
Soal manfaat sajak - dan karya sastra umumnya - sudah lama menjadi bahan kajian dan debat. Horatio menulis buku "Ars Poetica" pada tahun 14 SM. Ia mengatakan tolok ukur sastra ialah "dulce" atau nikmat, dan "utile" alias bermanfaat. Mana yang lebih penting antara keduanya? Itu menarik untuk dipermainkan. Kedua hal itu bisa pula ditarik ke ranah yang lebih luas. "Utile" berlanjut pada debat yang moralis, "dulce" bisa diseret ke ranah estetis. Sedang apakah manfaat dan apakah indah sendiri sudah bisa memancing sebuah debat panjang dan tak habis-habis. Saya kira penyair tak perlu terlalu pusing. Ia lebih baik menyibukkan diri dengan menerjemahkan apakah yang "dulce" dan "utile" itu dengan sajak-sajaknya.

/9/
Penyair Subagio Sastrowardoyo ada menulis sajak yang amat bagus tentang peran penyair dan tuntutan "utile" pada sajak-sajaknya. Sajak "Mata Penyair" itu dibuka dengan bait: //Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."// Penyair memang sering mengambil peran sebagai orang yang ambil risau. Ia risau bahkan risau pada peran dan posisinya sendiri. Ia risa pada tuntutan-tuntutan pihak luar yang dialamatkan padanya.

/10/
Sajak "Mata Penyair" Subagio Sastrowardoyo menggambarkan adegan rakyat miskin yang merangsak kemuka. Kami ingin matamu, kata rakyat miskin itu kepada penyair. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butur pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!" Tuntutan yang mencemaskan. Wajar jika penyair dalam sajak itu mencamtumkan pembelaan bahwa tanpa mata penyair menjadi buta. Tapi rakyat yang putus asa tak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya. "Dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya..." Tapi tak terjadi perubahan. Pasir tetap pasir bukan emas. Rakyat miskin kecewa dan merebut kedua bola mata itu dan melahapnya. Setelah itu? Juga tidak terjadi apa-apa.

/11/
Dari wilayah pengetahuan bersama, dari daerah kerisauan bersama, penyair memberangkatkan teks sajak-sajaknya. Dari wilayah itu pula datang tuntutan kepada penyair. Tak usah mengelak, tak perlu pula sok hebat melayani tuntutan itu seakan pasti kita bisa memenuhinya. Sebaiknya berperanlah sebagai penyair buta sebagaimana digambarkan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya "Mata Penyair" tadi. Penyair telah menyerahkan matanya, memenuhi tuntutan "rakyat miskin". Tak terjadi apa-apa. Dan sajak itu lalu menggambarkan: "Penyair yang buta duduk di jendela dan tertawa menghadap kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!"


Bacaan:
1. Mohamad, Goenawan. "Misalkan Kita di Sarajevo". Cetakan Pertama, 1998. Jakarta: Penerbit Kalam.
2. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 100-101. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 78. 2005. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4. Sastrowardoyo, Subagio. "Dan Kematian Makin Akrab". Halaman 133. 1995. Jakarta: PT Grasindo.