/1/
Mengaku sajalah, kita paling sering mendengar kata wacana, bukan? Bukan hanya mendengar, kita mungkin sering pula ikut memakai kata itu. Sebenarnya apakah wacana itu? Linguistik mendefinisikan wacana (discourse) sebagai "kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangunan bahasa". Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Menurut fungsi bahasa, wacana dibedakan atas: wacana eskpresif, wacana fatis, wacana informasial, wacana estetik, dan wacana direktif. Puisi tergolong wacana estetik, yaitu wacana dengan muatan pesan dan penekanan pada keindahan wacana tersebut. Keindahan ini tentu relatif dan bisa panjang lebar diperdebatkan.
/2/
Mengaku lagilah, kita juga sering mendengar wacana dihubung-hubungkan dengan teks (text) bukan? Apakah hubungan wacana dengan teks? Wacana itu wujud konkretnya adalah teks. Teks itu adalah wujud reprentasi atau keberadaan dari wacana. Jika yang jadi wacana adalah sistem pernapasan manusia, maka salah satu teksnya adalah paru-paru. Jika wacananya adalah sajak, maka teksnya adalah rangkain judul, baris-baris dalam bait-bait, dan tanda baca dalam sajak itu.
/3/
Teks bisa berupa lisan (spoken text) juga teks tertulis. Dalam praktik ilmu sastra wacana dibatasi sebagai teks tertulis saja. Puisi atau karya sastra lain adalah wacana yang teksnya bisa diutak-atik pisau analisa untuk didapatkan sebuah pemahaman darinya. Para ahli Linguistik mungkin setelah berkomplot dengan ahli Kesusasteraan menyusun Teori Analisis Wacana sebagai salah satu metode menganalisa karya sastra. Penyair boleh memanfaatkan teori itu untuk membuat karya sajaknya menjadi menantang dan menarik untuk dianalisa. Ibarat memikat hati calon mertua, penyair adalah calon menantu. Dengan mengetahui teori teori wacana, penyair tahu apa maunya sang calon mertua. Tentu saja penyair terlebih dahulu harus menjamin bahwa anak gadis si calon mertua itu telah cinta mati padanya.
/4/
Agar bisa menampilkan makna utuh, wacana terikat pada konteks. Kalimat "Kenakan Kondom, Atau Kena!" adalah kalimat biasa. Ia menjadi sebuah wacana yang utuh bila dipakai pada konteks yang tepat. Maka gunakanlah kalimat itu pada tempat, waktu dan pembaca yang tepat. Tentu saja kalimat itu bukan sebuah wacana yang utuh bila ditempatkan di tempat wudhu, atau di kantin sekolah. Teks puisi yang baik memungkinkan semungkin-mungkinnya untuk dimaknai atau diberi konteks oleh pembaca sendiri.
/5/
Sajak "Aku" Chairil Anwar yang ditulis pada tahun 1943, oleh pembaca pada tahun-tahun itu ia bisa dimaknai sebagai pembakar semangat melawan penjajah, meneguhkan keinginan untuk merdeka. Pembaca sekarang bisa pula memberi makna yang berbeda sesuai konteks keadaan saat ini. Chairil Anwar sendiri konon menulis sajak itu sebagai pernyataan "melawan" ayahnya. Ada juga yang menafsirkan sajak itu adalah keinginannya untuk bebas dari seorang wanita. Apa sajalah. Sajak yang baik tidak lagi terikat pada konteks yang menyebabkan ia ada sebagai sajak. Ia bebas terbang tak terkurung. Ia girang hinggap atau dihinggapkan dari konteks ke konteks, menelurkan makna demi makna.
/6/
Di dalam sebuah teks kalimat-kalimatnya berkaitan satu sama lain. Kalimat-kalimat dalam sebuah teks saling merujuk dan berkaitan secara semantis menciptatakan suatu wacana. Menciptakan keutuhan. Tuntutan akan keutuhan itu terlebih harus dituntut pada sebuah teks puisi. Penyair harus bermain-main dengan keutuhan itu. Menarik mengulur, pokoknya dia harus sadar, salah satu "tugas"-nya saat menyusun teks puisinya adalah membangun keutuhan. Kadar keutuhannya tentu pertama-tama penyair itu sendiri yang harus menentukan.
/7/
Keadaan unsur-unsur bahasa bahasa yang saling merujuk dan berkaitan secara semantis itu disebut "kohesi". Dengan kohesi sebuah wacana menjadi kompak, setiap bagian pendukungnya dan pembentuknya berikatan dengan bagian lain dengan "wajar". Kata wajar sengaja diberi tanda petik. Sebab kewajaran, meskipun dia amat relatif, jauh lebih mudah ditetapkan ketentuannya pada wacana yang bukan wacana estetis seperti puisi. "Kewajaran" perpaduan hubungan antar bagian dalam sebuah teks puisi sepenuhnya ditentukan oleh penyair.
/8/
Penyair tentu boleh mengikuti kewajaran umum, ia juga sangat boleh mengajak pembaca awam untuk mencoba batas kewajaran baru. Hubungan antar frasa-frasa dan kalimat-kalimat dalam teks puisi Afrizal Malna misalnya bisa menyesatkan atau membingungkan pembaca yang terbiasa dengan kalimat-kalimat biasa. Afrizal menawarkan kewajaran baru yang bisa jadi pada awalnya dianggap tidak wajar. Atau bahkan selamanya akan dianggap tidak wajar. Atau dia hanya akan diwajarkan alias dianggap wajar dalam konteks puisi-puisinya sendiri. Cobalah raba-raba keutuhan apa yang hendak dibangun dalam sajak Afrizal berikut: //Taman itu tidak menyimpan bangkai kereta, tempat engkau mengenang sebuah tempat. Tidak ada lemari es yang dipecahkan di situ. Kita bergembira, seperti menemukan kucing mati di selokan. Anak-anak sering datang juga, untuk bertemu dengan angsa, gajah, harimau dan putri dalam patung-patung batu di taman itu//(Taman Umum dan Patung-patung Batu).
/9/
Ada kohesi gramatikal, ada pula kohesi leksikal. Kohesi gramatikal adalah hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal - yaitu alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa. Kohesi jenis ini dapat berwujud referensi atau pengacuan; substitusi atau penyulihan; elipsis atau pelepasan; dan konjungsi atau penghubungan. Contoh sederhana bagaimana penyair Sapardi Djoko Damono mengutuhkan sajaknya dengan referensi atau pengacuan: //aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan// (Berjalan ke Batar Waktu Pagi Hari). Kata "kami" tentu mengacu pada "aku dan bayang-bayang".
/10/
Kohesi leksikal adalah hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur kata atau leksikal. Jurusnya dua: "Reitrasi" dan "Kolokasi". Ini jurus yang harus sangat dikuasai oleh penyair. Sebab jurusya memang ampuh dan asyik untuk latihan berciat-ciat atau dalam pertarungan sungguhan.
Reitrasi menawarkan lima kembangan jurus: 1. Jurus "repetisi" yaitu mengulang-ulang kata yang sama; 2. Jurus "sinonimi" yaitu memakai kata-kata yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama; 3. Jurus "hiponimi" yaitu memberdayakan rangkaian kata-kata yang bermakna khusus dan kata lain yang lebih generik; 4. Jurus "Metonimi" yaitu memakai nama atau benda yang lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya; 5. Jurus "Antonimi" yaitu memakai kata yang maknanya saling berlawanan.
/11/
Jurus "Kolokasi" adalah pemakaian kata yang berada pada bidang atau lingkungan yang sama. Jurus-jurus tadi selain harus dikuasai oleh penyair agar mahir digunakan juga harus dibayangkan kemungkinan menyelewengkannya. Coba kita simak sajak Joko Pinurbo berikut ini:
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(Mampir, dalam Pacar Senja)
Ada beberapa jurus reitrasi di sajak pendek ini. Dan ada kolokasi (pintu, jendela). Ada repitisi (tubuhmu, tidak berani, aku), ada hiponimi (tubuhmu, lambungmu). Ada jurus "soninimi", yang diselewengkan atau dipaksakan dengan sadar dan bisa kita terima dengan wajar (tubuhmu = rumah), meski kata "rumah" tak muncul dalam sajak itu. Kata "rumah" hanya diisyaratkan dengan kata "mampir". Bukankah kita memang mampir ke rumah? Lalu kewajaran itu lebih ikhlas lagi kita terima karena penyair bisa mengutuhkan sajaknya dengan kata-kata dan frasa-frasa berikutnya. Begitulah, teks sajak pendek itu tampil secara teramat utuh sebagai sebuah wacana estetis. Silakan maknakan!
Bacaan:
1. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 92-103. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2. Malna, Afrizal. "Arsitektur Hujan". Hal 33. Cetakan Pertama. 1995. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
3. Damono, Sapardi Djoko. "Mata Pisau". Hal. 32. Cetakan ke-6. 2000. Jakarta: Balai Pustaka.
4. Pinurbo, Joko. "Pacar Senja". Hal 38. Cetakan Pertama. Jakarta: Grasindo.
2. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 34. 2005. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.