Sunday, January 14, 2007

[Tadarus Puisi # 018] Di Tangan Penyair, Di Tangan Anak-anak

DI TANGAN ANAK-ANAK
Sajak Sapardi Djoko Damono

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."

(Dari buku "Perahu Kertas", Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kedua, 1991)



ADAKAH jerit burung yang membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan? Ini adalah "penemuan" penyair. Penemuan setelah penyair menjelajah rimba imajinasinya, dan ia abadikan untuk memberi nilai pada puisinya. Dalam logika di luar logika puisi, tak akan pernah ada jerit burung yang membukakan kelopak bunga, di hutan atau di manapun. Pertanyaan serupa bisa diajukan untuk frasa-frasa lain dalam sajak ini, juga untuk sajak-sajak Sapardi lainnya. Juga kepada sajak-sajak lain karya penyair lainnya.

Buku "Perahu Kertas" pernah dibahas oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam kertas kerja yang ia hamparkan dalam "Temu Kritikus dan Sastrawan" 1984, kerjasama Ditjen Kebudayaan Depdikbud dengan Dewan Kesenian Jakarta. Buku Sapardi itu pertama kali dicetak pada 1983.
"Memasuki dunia sajak-sajak Sapardi serasa memasuki suatu dunia yang aneh, suatu hal yang sebenarnya lumrah kalau memasuki dunia sebuah sajak," tulis Sutardji, "karena sebuah sajak menampilkan suatu dunia yang unik."

Tapi, kata Sutardji, tentu saja sebuah sajak tidak hanya sekadar aneh ataupun unik saja. Sebuah sajak harus bisa memberikan arti bagi pembacanya agar tidak sia-sia. Arti dalam upaya pemahaman akan hidup, dari upaya mendapatkan makna. "Menulis sajak bukanlah sekadar mengkonkritkan pengalaman puitik. Tapi kehadiran konkrit dari pengalaman itu memberikan kesempatan, menghimbau, bahkan mendorong pembacanya untuk mencari pemahaman akan hidup, pemahaman akan kebenaran," tulisnya.

Bagi Sutardji, sajak "Di Tangan Anak-anak", adalah pernyataan tentang bahasa sajaknya. Atau boleh kita sebut kredo sajak-sajaknya. Kredo tentu boleh juga dinyatakan dalam puisi. "Permainan bahasa anak-anak yang dimaksudkan Sapardi sebenarnya permainan imaji-imaji, pertentangan-pertentangan ataupun nuansa-nuansa antar imaji-imaji yang dipertentangkan, sisip-menyisip antara imaji-imaji itu dan lain-lain dan semacamnya. Suatu permainan imaji yang sering muncul dengan segar pada anak-anak," tulis Sutardji.

Tetapi, permainan itu selalu berada di bawah tekanan. Di bawah ancaman. Ingatkah kita, ketika asyik bermain, tiba-tiba ayah atau ibu memanggil untuk pulang? Atau mengingatkan untuk segera mandi? Mengerjakan PR? Itulah ancaman. Dalam hal sajak, ancamannya adalah keraguan dalam diri penyair soal apakah sajaknya cukup berarti, atau kelak mungkin penyair takut sajaknya kelak disalahmaknai oleh pembaca. Sebab itu agaknya, Sapardi menutup sajaknya dengan bait: "Tuan, jangan kauganggu permainanku ini." Saya kira, bait itu bukan ingin menolak ancaman atau gangguan, tapi menegaskan bahwa potensi gangguan itu ada dan harus disadari oleh penyair.

Setidaknya bagi saya, bait itu sebagai permohoan atau ajakan untuk menjaga otoritas penyair di dunia permainannya di dunia sajaknya. Tetapi, ancaman toh tidak harus diberantas hingga habis. Sebab dengan adanya ancaman dari luar diri penyair maka si penyair bisa terus menerus sadar bahwa yang sedang ia lakoni hanyal sebuah "permainan". Permainan yang menjanjikan penemuan-penemuan imaji, permainan yang mengkonkritkan pengalaman yang seperti tafsiran Sutardji "...memberikan kesempatan, menghimbau, bahkan mendorong pembacanya untuk mencari pemahaman akan hidup, pemahaman akan kebenaran."

Begitulah! Bermainlah!