SOSOKNYA kecil saja. Hitam pada rambutnya sudah diserbu pasukan putih. Dia merokok. Dia setia pada satu merek rokok. "Sudah 25 tahun saya merokok merek ini," katanya. Di lobi sebuah hotel di Tanjungpinang, kami berempat. Saya, Johannes Sugianto - sahabat penyair dari Jakarta dan dua seniman dari Yogyakarta itu.
Perhatianku terpusat pada dua sosok itu: Butet Kertaredjasa dan Joko Pinurbo. Di Yogyakarta, tempat kedua orang itu bermukim, mereka malah jarang bertemu. Ini pengakuan Butet. Penyair itu, kata Butet pada saya ketika saya menjemputnya di Bandara Hang Nadim sore harinya "tidak gaul". Jarang ikut kumpul-kumpul. Itu diiyakan oleh Jokpin - sapaan akrab Joko Pinurbo, malam itu. Kami memesan kopi. Jokpin dan Butet ternyata menggemari merek rokok yang sama. Jadilah perbincangan di lobi hotel itu penuh asap dengan aroma khas rokok yang diproduksi pabrik di Kudus itu.
Hari sudah berganti. Pukul 00.00 sudah lewat, 29 sudah menggeser 28 pada kalender bulan Desember, 2006. Kopi mulai sejuk, tapi pembicaraan kami masih hangat. Butet malam itu baru saja tampil membawakan monolog. Nano Riantiarno yang juga tampil membawakan orasi budayanya malam itu sudah tidur. Jokpin akan tampil besok malam. Paginya, akan ada dialog dengan pelajar SMA. Butet harus bangun pagi karena pesawatnya ke Yogya besok berangkat pagi. Tapi pertemuan dengan Jokpin membuatnya betah begadang hingga pukul 3 subuh. Pembicaraan tanpa arah. Kesana kemari. Itulah asyiknya. Butet ternyata tidak ada menyimpan buku kumpulan puisi Jokpin "Kekasihku". Buku itu penting buat Butet karena di sana ada sajak yang ditulis Jokpin untuk Butet dan Jadug. Jokpin berjanji akan mencarikan buku itu. Dengan buku itu pula, Jokpin akhirnya mendapatkan Hadiah Sastra Khatulistiwa pada tahun 2005. Setelah tiga tahun berturut-turut masuk nominasi.
"Hadiahnya 75 juta, potong pajak," kata Jokpin. Hadiah yang besar. Butet lalu bertanya tentang honor dari sebuah perusahaan properti mewah yang serial promosinya di sebuah surat kabar nasional menampilkan sajak-sajak sejumlah penyair. Jokpin menampilkan delapan sajak. Suatu ketika perusahaan properti itu mengundang para penyair untuk tampil baca sajak. Ketika menerima kuitansi honor Jokpin sempat tidak percaya dengan jumlah angka nol yang tertera. Kepada Sapardi Djoko Damono yang juga tampil Jokpin sempat bertanya apa benar angka itu. "Terima saja. Syukurlah kalau dihargai sebesar itu," kata Sapardi yang juga menerima honor dengan jumlah yang sama.
Jokpin tidak merisaukan sajak pesanan? Baginya proses penciptaannya sama saja. Intensitas permenungan dan kerisauan menuliskan sajak pesanan itu sama saja. "Toh ketika dibukukan orang tidak tahu mana sajak pesanan mana yang bukan," kata Jokpin. Jokpin malah risau ketika seorang rekan sastrawan memintanya menulis sajak sebagai hadiah perkawinan. Dia pun ikhlas saja ketika diminta tampil untuk membaca sajak itu pada saat acara persandingan. Yang membuat dia risau dan sempat protes adalah setelah itu dia dibayar! "Saya itu ikhlas, dan sama sekali tak minta bayaran," katanya. Butet senyum-senyum saja. "Sampai sekarang saya tidak enak kalau bertemu kawan itu," kata Jokpin. Kerisauannya agak reda ketika si kawan bilang biar saja, ini pembelajaran. Supaya masyarakat menghargai puisi dan penyair.
Di antara kepul asap rokok dan suara seruput kopi dan denting gelas, Butet bercerita soal rencana penerbitan buku 1.000 hari kematian Bagong Kussudiardjo, ayahnya. "Jok, bikin puisi buat bapak ya..." kata Butet kepada Jokpin. Jokpin bertanya kapan buku itu terbit. "Februari," kata Butet. Setelah merenung-renung, mengingat-ingat pekerjaan yang harus dia selesaikan sepanjang Januari, Jokpin bilang tidak sanggup. "Saya tidak bisa asal tulis. Puisi pesanan pun harus ditulis serius," katanya besok pagi, tidak di depan Butet. Artinya, tidak semua pesanan ia layani.
Malam itu Butet punya ide lain. Sajak-sajak tentang rokok. Kalau ada dua belas sajak bisa untuk kalender. Butet melihat peluang sponsor dari perusahaan rokok yang mereka gandrungi. "Saya belum punya sajak tentang rokok. Tapi bisa digarap itu. Cuma saya tak mau menjelek-jelekkan industri rokok. Menyerang kapitalis..." Saya menunggu saja, seperti apa kelak sajak-sajak rokok itu. "Saya sering dapat tawaran dari biro iklan untuk membuat puisi. Cuma saya belum bisa ikut irama kerjanya. Belum cocok. Saya tak bisa buru-buru," kata Jokpin.
Jokpin adalah pemerhati puisi yang cermat. Sepanjang pembicaraan selama menemani dia di Tanjungpinang, bersempena Bintan Art Festival 2006, dia menyebut nama-nama Subagio Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, dan tentu saja Sapardi Djoko Damono, hingga Inggit Putria Marga, penyair muda dari Lampung itu. Dia lancar membacakan kutipan-kutipan sajak dari penyair-penyair itu dan memberi ulasan dimana keunggulan sajak-sajak dan penyair-penyair itu. Sajak "Berdarah" ia nilai sebagai esensi dari seluruh sajak-sajak Sutardji. "Hiroshima Cintaku" disebutnya sebagai sajak Goenawan yang indah. Dan sajak "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari" adalah sajak yang lahir dari "kegilaan" Sapardi.
Jokpin adalah salah satu pendiri majalah perbukuan "Matabaca". Dia yang memberi nama majalah itu. "Matabaca" diterbitkan oleh grup media besar yang salah satu divisinya adalah penerbitan buku-buku sastra. "Kepada editornya, saya selalu memberikan nama-nama sastrawan yang harus diperhatikan untuk diterbitkan karya-karyanya," kata Jokpin. Saya tidak bertanya, siapa-siapa saja yang saat ini ia bisikkan. Begitulah caranya membantu sastrawan-sastrawan baru. Meski tanpa diminta, dan tanpa setahu si empunya nama. "Saya tidak bisa berjanji atau menjamin buku orang itu terbit, tapi selalu memberi pertimbangan kalau editornya bertanya kepada saya," kata Jokpin.
Jokpin mencemaskah beberapa nama penyair muda yang sepengamatan dia merosot mutu karyanya. Ada yang dia bilang sajak-sajaknya "terlalu rimbun" - perlu berlatih agar mahir memangkas imaji, ada yang dia bilang "stagnan" tak menawarkan "kebaruan" lagi, dan beberapa daerah yang punya tradisi sastra yang panjang sekarang menurutnya saat ini malah tidak menghasilkan nama penyair yang menonjol karyanya.
Suatu ketika pembicaraan sampai ke soal alterego. Saya bilang The Beatles justru menghasilkan album terbaik sepanjang karir grup legendaris ini ketika mereka bosan menjadi The Beatles. Mereka bikin album Sgt. Pepper's Lonely Heart Club Band. Di album itu The Beatles berperan sebagai band yang bukan The Beatles. Jokpin menyambar pancingan saya itu. "Saya sudah memikirkan itu, Hasan. Saya berpikir akan menulis sajak-sajak yang tidak seperti sajak-sajak saya yang dikenal orang sekarang. Dan saya akan terbitkan dengan nama lain. Penyair yang bukan saya. Alterego saya," katanya. Ini pekerjaan gila dan berat, diakuinya begitu. Tapi menantang sekali.
Akhirnya, saya simpulkan, Jokpin itu selalu berpikir tentang puisi, atau jangan-jangan dia berpikir pun dengan bahasa puisi. Di dalam mobil saat menjemputnya di Batam, rangkaian pembicaraannya tiba-tiba sampai pada sebuah aforisma: membaca prosa itu menghabiskan waktu, membaca puisi itu menghentikan waktu. "Kata siapa itu, Mas?" tanya saya. "Kata, saya. Ya barusan itu kata saya..." saya tertawa. Jokpin jarang tidak. Ia jarang sekali tertawa.
Kepada anak SMA peserta dialog pagi itu, di Gedung Aisyah Sulaiman, dia memberi tips bagaimana mengelola ide puisi. Jokpin mengaku selalu membawa buku kecil untuk mencatat ide yang tiba-tiba terlintas bila melihat sesuatu. Saya yang memandu dialog itu bertanya, "apa yang terbaru yang Anda catat di buku itu?" "Puisi telah memilihku..." kata Jokpin. Frasa itu, katanya kelak akan diolahnya menjadi puisi. ***