Sunday, January 14, 2007

[Tadarus Puisi # 017] Belajar Membaca "Belajar Membaca"

BELAJAR MEMBACA
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku

(O, Amuk, Kapak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981)



Sajak "Belajar Membaca" bukan kebetulan ditempatkan di urutan terakhir dari penggal "Amuk" artinya dia juga sajak terakhir dari seluruh buku "O, Amuk, Kapak". Setelah membaca seluruh sajak Sutardji dalam buku itu, kita memang seperti harus belajar membaca lagi. Tak boleh berhenti belajar membaca. Sajak-sajak Sutardji memungkinkan kita untuk melakukan berbagai ragam pembacaan yang kreatif, dan tentu juga pemaknaan yang variatif.

Dalam satu acara dialog sastra di Batam, Sutardji pernah menjadikan sajak ini sebagai contoh pembacaan dan pemaknaan. Dia membaca sajak "Belajar Membaca" dengan gaya persis seperti anak yang tak lancar membaca. Seperti mengeja membunyikan bacaan setelah susah payah menggabungkan konsonan dan vokal supaya dapat bunyi. "...ka... ki... ku... lu...ka... lu... ka... ka .. ki... ku...." dan seterusnya. Datar saja pembacaannya. Datar juga ekpresinya. Tapi amat menarik. Peserta dialog yang kebanyakan murid SMA bertepuk tangan spontan, sehabis dia membaca.

Lalu Sutardji menjelaskan bagaimana sajak itu bisa diberi makna. Sajak ini tersusun atas sejumlah pernyataan dan pertanyaan: "kalau kakikau luka / lukakukah kakikau (?) // kakiku luka // lukakaukah kakiku (?) // kalau lukaku lukakau // kakiku kakikaukah (?) // kakikaukah kakiku (?)// Selang-seling antara pernyataan dan pertanyaan itulah yang menimbulkan rangsang pikir, kemudian bangkitlah makna.

Dalam bahasa sehari-hari pesan yang disampaikan dalam sajak di atas mungkin bisa kita uraikan begini: aku luka, kamu luka jugakah? Aku sakit, kamu merasakan juga sakitku? Kalau kakiku sakit karena luka, apakah kakiku ini kakimu juga? "Ini sajak bicara tentang solidaritas. Tentang kesetiakawanan," kata Sutardji kala itu, kurang lebih. Bagi muslim bukankah muslim lain seperti satu tubuh? Itu pesan dalam hadis Rasul. "Kalau satu orang muslim luka, maka seperti bagian tubuh, maka bagian tubuh lain, atau muslim yang lain harus merasakan sakitnya juga," kata Sutardji.

Bahasa puisi memang takdirnya berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kenikmatan puisi justru ketika makna yang ingin disampaikan diantar dengan ucapan kreatif. Bila pesan dalam bahasa percakapan sehari umumnya disampaikan langsung, puisi menunda. Penudaan itulah yang mestinya mengundang kenikmatan bagi pembaca. Ketidaklangsungan makna yang hendak dicerna pembaca, menurut Riffatere disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pemindahan tempat arti (displacing); Kedua, penyimpangan arti (distorting); Ketiga, penciptaan arti baru (creating). Penyair adalah orang yang mahir memainkan ketika permainan makna itu.

Menyimpang, memindah, dan mencipta makna baru. Ayolah, inilah kenikmatan kita menyair. Inilah aturan main kita dalam bersyair. Tentu permainan itu ada batasnya. Tapi jangan takut, bermainlah. Ada pembaca sajak yang tidak betah dengan permainan-permaian ala penyair ini, biar saja. Ada yang tidak tahu betapa nikmatnya permainan ini, biar saja. Ada yang bilang permainan ini sia-sia saja, biar saja.