Monday, January 15, 2007

[Tadarus Puisi # 019] Melabuh Puisi di Pelabuhan Sebelum Pasang

Pelabuhan Sebelum Pasang
Sajak Taufiq Ismail

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Pelayaran panjang yang mengantarkan kita
Dalam gelombang benua

Di kuala perairan, ketika malam sangat muda
Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan
Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan
Anak arus yang naik dan turun pelahan

Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan bintang di langit bersemu biru
Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang
Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!

Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan
Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali
Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan
Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.

1964

(Dari Sajak Ladang Jagung, Budaya Djaya, Jakarta, 1973)
Pelabuhan, kapal, dan laut adalah inspirasi abadi. Banyak penyair menggubah ketiga hal itu menjadi sajak. Chairil Anwar menulis "Senja di Pelabuhan Kecil". Juga penyair Taufiq Ismail dengan sajak ini: "Pelabuhan Sebelum Pasang".

Kenikmatan pertama saya ketika membaca sajak di atas adalah pertemuan kembali dengan tiga kata yang sebenarnya amat saya kenal tapi jarang saya jumpai dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata itu adalah "kuala", "palka", dan "kandil". "Kuala" bersinonim dengan "muara", "palka" adalah ruang pada kapal, "kandil" adalah kata lain untuk "lampu" atau "pelita". Bahasa ternyata menyediakan banyak pilihan, bukan? Maka, berdayakanlah apa yang disediakan bahasa itu. Memilih kata tentu bukan untuk sekadar merumit-rumitkan sajak. Memilih kata harus dilakukan untuk memaksimalkan fungsi semua anggota tubuh dan fungsi batin puisi.

Sajak ini adalah rangkaian kwatrin yang tidak tertib menjaga rima - dan dengan pandang sekilas hanya tampak kewajaran dan kesederhanaannya. Tapi menurut saya sajak ini menarik dan unik. Keunikannya ada pada penempatan dua baris pertama di bait pertama yang saya nilai sebagai intisari dari semua yang paparkan dalam bait-bait berikutnya.

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Dua baris ini saja bisa berdiri sendiri sebagai sebuah puisi pendek yang kuat. Baris-baris ini juga bisa menjadi aforisma yang amat merangsang pemaknaan. Laut adalah jawaban atas tanya kesepian, topan adalah ucapan atas sapa kesedihan. Ada kebenaran yang tidak memaksa, tetapi menyaran saja lalu dengan ikhlas kita menerimanya, meresapi seperti sebuah hasil penghayatan kita sendiri atas pengalaman hidup kita sendiri. Begitulah memang mestinya puisi yang baik datang kepada kita.

Sajak ini menunjukkan kematangan penyair membuat pencitraan-pencitraan. Gambar-gambar tanpa percakapan seperti direkam dengan kamera oleh seorang juru kamera sekaligus sutradara yang handal. Kita diajak melihat permukaan air muara, malam yang baru saja malam, lalu beralih ke nyala lampu yang mungkin baru saja dinyalakan, ruang makan, buritan, garis-garis putus pelabuhan yang gemetaran seperti posisi kamera bergoyang karena ombak menggoyang kapal. Bergoyang karena arus yang turun dan naik perlahan.

Lalu langit dan bintang yang biru samar, semu. Lalu gambar mendung yang bergulung, yang menyarankan napas gelombang. Tak ada percakapan hanya tiga kali peluit melengking. Isyarat keberangkatan. Dan tali-temali jangkar yang harus dikemas yang mengingatkan jurang-jurang lautan. Gambar-gambar itu amat berkhasiat mengaduk-aduk perasaan: muncullah cemas, was-was, gentar, takut, ragu. Tapi, hei bukankah semua itu kewajaran hidup? Sajak pun ditutup untuk meyakinkan dan menjawab semua was-was itu. Kita kan memang selalu bertetap mengembara untuk pelayaran panjang sekali. Penutup yang sudah disebut di bait pertama, "pelayaran panjang yang mengantarkan kita dalam gelombang benua". Puisi pun berlabuh dan berangkat di lautan pemaknaan.

Begitulah, makna sajak secara tidak langsung diberikan penyair lewat sajak, bukan ia sembunyikan. Demikianlah kearifan ditawarkan kepada pembaca oleh penyair, bukan dipaksakan.