SAYA sedang belajar mengolah Puisi sendiri. Di sekolah
tak ada pelajaran khusus mengakrabi Puisi. Di rumah
banyak puisi tapi ayah tak tahu. Ayah tak tahu ada Puisi
pada kesabaran ibu. Ibu tak tahu ada Puisi pada kediaman
ayah. Ibu juga tak tahu bahwa di rumah kami banyak Puisi.
Hanya saya yang suka mencatat Puisi dengan segala
salah cetaknya dan salah letaknya.
SAYA belajar Puisi sendiri. Saya pernah dengar Pak Tardji
bilang gembirakanlah dirimu dengan salah cetak. Saya
pernah dengar Pak Jokpin bilang hidup ini adalah salah
cetak, dan dengan berpuisilah maka kita memperbaiki
salah cetak kehidupan kita itu.
SAYA tak tahu bagian mana dari kehidupan saya yang
tercetak dengan cetakan yang salah. Saya bahkan belum
lancar membaca kehidupan saya yang memang belum
banyak saya tuliskan. Saya baru saja bisa membaca.
Saya baru saja belajar mengolah Puisi sendiri. Puisi saya
masih banyak salah cetaknya.
HIDUP yang baru dilewatkan, dan Puisi yang baru diketik,
harus ditinjau agar bisa ditemukan segera salah cetak
dan salah letak untuk segera diletakkan kembali di tempat
yang benar dan diketik kembali dengan ketikan yang benar.
AYAH dan ibu pun hidup dalam baris-baris yang hendak
mereka satukan setiap hari menjadi bait-bait Puisi. Ayah
dan ibu diam-diam saling memperbaiki salah cetak
dan salah letak dalam Puisi yang mereka ketik setiap
hari itu, meskipun mereka tak tahu bahwa apa yang
diam-diam mereka perbaiki salah cetak dan salah letaknya
itu adalah Puisi. Hanya saya yang suka mencatat
Puisi dengan segala salah cetaknya dan salah letaknya,
dan diam-diam belajar juga dari ayah dan ibu bagaimana
bisa menghindari salah cetak dan salah letak sehingga nanti
bisa menulis Puisi tanpa salah cetak dan salah letak lagi.