SETELAH berkibar setahun lamanya, sudah saatnya
Kalender diturunkan. Maka digelarlah upacara. Dia
sendiri bertindak sebagai Komandannya.
"Siap, gerak!" teriaknya lantang, memberi aba-aba.
Maka segera saja bulan-bulannya yang kocar-kacir,
nama-nama harinya yang belum juga becus menyusun
diri sendiri, dan angka-angka tanggalnya yang kacau
merah dan hitamnya mengatur barisan masing-masing.
"Tumben, ternyata bisa juga pasukan kalender
saya dirapikan," katanya, sambil melangkah tegap
ke depan, hendak memberi laporan, bahwa upacara
penurunan Kalender siap dilaksanakan.
"Laksanakan!" kata Waktu, sang Inspektur Upacara.
"Siap, laksanakan!" ujarnya, sambil memberi hormat
lalu balik kanan hendak kembali ke barisan pasukan.
Tapi, betapa kagetnya sang Komandan, karena dia
seperti sedang upacara sendirian saja. Tak ada lagi
bekas pasukan, tak ada tanda-tanda sebelumnya
di sana ada barisan. Dia menggerutu, "Brengsek, belum
dibubarkan, kok lapangan upacara sudah ditinggalkan."
Lebih kaget lagi dia ketika melihat Kalender baru
sudah berkibar di dinding rumahnya, sebelum dia
memberi penghormatan terakhir pada Kalender lama.
Sementara perintah sang Waktu, inspektur upacara
tadi, terus saja terngiang-ngiang di telinganya.
Catatan:
Kalender memang menarik untuk dijadikan bahan renungan dalam berpuisi. Saya pun terpukau oleh benda penanda waktu yang sangat imajinatif ini. Sajak di atas saya tulis malam hari. Sebelum menulis sajak ini saya membaca beberapa artikel menarik di beberapa surat kabar edisi Minggu, dan buku baru Bakdi Soemanto "Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya", Grasindo, 2006. Sapardi sendiri ketika saya wawancarai lewat sms pernah mengabarkan ihwal buku itu. Ikra dan Shiela sudah tidur. Yana, tidur-tidur ayam. Laptop saya boyong ke tempat tidur. Seperti biasa.
Berhari-hari saya teringat sajak Joko Pinurbo yang juga menggarap kalender sebagai bahan renungan. Saya termasuk dalam daftar beberapa orang yang menerima sajak itu lewat sur-el yang dikirim oleh penyairnya. Sajaknya mantap sekali. Bercerita soal anak dan ibu yang pergi ke keramaian untuk merayakan tahun baru, sementara ayah memilih tinggal di rumah saya menemani kalender lama pada saat-saat terakhirnya. Si anak menemukan trompet ungu di tepi jalan, tetapi trompet itu bisu ketika ditiup oleh si anak. "Mungkin karena dia terbuat dari kertas kalender," jawab si ibu ketika si anak bertanya kenapa trompetnya tidak berbunyi. Saya ingin membalas kiriman sajak itu.
Tadinya, saya membuat sajak tentang orang yang pergi keluar negeri dan dititipi oleh-oleh kalender oleh temannya yang tidak kemana-mana saat tahun baru menjelang. Lalu apa? Saya tak tahu dan ide itu berhenti sampai di situ. Saya menyerah, tak bisa melanjutkannya.
Lalu saya kembangkan lagi ide baru, yaitu tentang keluarga yang berpencar kemana-mana, pergi berlibur merayakan tahun baru, masing-masing ke beberapa tempat yang berbeda. Lalu apa? Bagaimana mengaitkannya dengan kalender? Putus lagi. Lagi-lagi saya tak bisa mendapatkan ide untuk melanjutkannya.
Sampai akhirnya saya bertemu judul sekaligus tema yang menurut saya sangat unik dan bakal membangkitkan imajinasi menyair saya. Maka jadilah: Upacara Penurunan Kalender. Lucu juga, saya pikir. Sambil menulis saya senyum-senyum sendiri. Saya keasyikan sekali menuliskannya. Saya bayangkan sebuah upacara. Siapa yang jadi komandan. Siapa yang jadi pasukan peserta upacara, siapa yang jadi inspektur upacara dan bagaimana prosesi upacara itu saya selewengkan di sana sini, sehingga saya rasakan penyelewengan itu tidak sia-sia dan membangkitkan lapisan-lapisan yang bisa dikupas kelak atau ditambah lapisan baru: lapisan-lapisan pemaknaan. Sampai selesai, lancar sekali proses persalinannya. Semoga Anda juga lancar membacanya, lancar memaknainya, dan bisa ikut tersenyum-senyum membacanya. Dan, akhirnya, saya ucapkan selamat menurunkan kalender lama, di rumah Anda.