Thursday, November 1, 2007

Pengantar "Buku Menapak ke Puncak Sajak"
Karena Menulis Puisi (pun)  Harus (Dianggap) Gampang
Oleh Hasan Aspahani


MENGARANG, menulis puisi, seharusnya dihadapi seperti berbicara. Pernahkah kita dihadapkan pada sejumlah teori ketika pertama kali belajar bicara? Tidak. Kita langsung mempraktekkannya kata demi kata yang kita perlukan.

Anak saya, Ikra Bhaktiananda yang ketika saya tulis pengantar ini berusia empat tahun, masih percaya diri dengan kata-katanya sendiri. Ia menyebut “pesawat” dengan “sepawat”, “berapa” dengan “derapa”, dan sejumlah kata lain yang ia ciptakan sendiri. Kami – saya ayahnya, ibunya, dan Shiela kakaknya – mengerti apa yang ia maksud. Ikra bicara dalam lingkungan kecil yang akrab dan mudah memahami dia.

Menulis puisi bisa dianggap sama dengan berbicara, karena sama-sama memberdayakan fungsi bahasa. Tetapi, penulis puisi tidak lagi menghadapi lingkungan kecil yang akrab yang bisa dengan mudah dan penuh permakluman memahami produk bahasa si penulis puisi itu. Kadang-kadang ini menjadi kendala bagi orang untuk masuk ke dunia puisi.

Buku ini, ingin membuang kendala itu. Belajar menikmati puisi (menulis dan membaca serta memetik makna darinya) sebaiknya juga dilakoni seperti Ikra kecil belajar bahasa. Langsung saja baca, langsung saja menulis. Sambil pelan-pelan mempelajari jurus-jurus serangan dan tangkisan kecil yang diperlukan. Memang ada jalan lain, yaitu langsung belajar jurus-jurus dasar sampai lulus sebagai pendekar. Tapi pilihan kedua tidak ditempuh dalam buku ini.

Buku ini, karena pilihan tadi, secara sadar tidak mendedahkan teori-teori dan kutipan-kutipan ilmiah. Buku ini dari bab ke bab adalah rangkaian tanya jawab antara seorang penyair dan seorang yang antusias ingin masuk ke dunia sajak. Ini bukan pendekatan baru sebenarnya. Arswendo Atmowiloto sudah menerapkan jurus yang sama lebih dari 25 tahun yang lalu. Bukunya “Mengarang itu Gampang” (Gramedia: Jakarta, 1982), hingga saat ini saya letakkan di rak buku di meja kerja saya pada bagian buku yang paling sering saya baca. Karena itu kepada beliaulah pertama-tama terima kasih ingin saya ucapkan. Saya menyusun buku ini dengan semangat ingin menularkan anggapan bahwa puisi juga harus dianggap gampang, agar semakin banyak orang mencintai puisi dengan menuliskan dan membacanya.

Ya, ini bukan pendekatan baru. Tapi, untuk puisi, saya rasa belum ada yang menempuh jalan serupa. Puisi, sepertinya selalu didekati dengan serius. Jalan menuju puisi jadinya terasa sempit dan licin sekali. Buku ini berniat membuat jalan setapak yang mungkin tidak terlalu lebar tapi asyik untuk ditempuh agar siapapun bisa nyaman, riang dan bersemangat menuju puncak sajak masing-masing.

Buku ini cikal bakalnya adalah rubrik “Ruang Renung” di blog Sejuta-Puisi (www.sejuta-puisi.blogspot.com). Itu adalah rubrik tanya jawab saya sendiri tentang puisi, atau renungan-renungan saya sendiri tentang puisi, yang makin lama makin asyik. Pertanyaan-pertanyaan saya, ternyata juga pertanyaan banyak teman-teman di sejumlah mailing list puisi yang saya ikuti. Jawaban-jawaban yang saya upayakan ternyata juga menjadi jawaban mereka. Maka, ketika Ikra dan Shiela tidur di malam hari, saya menemani istri saya menyetrika pakaian, dengan menyusun pertanyaan dan jawaban itu menjadi lebih berurutan. Maka jadilah draf awa buku ini.

Ketika puisi saya mulai muncul di surat kabar nasional, saya pun semakin “gaul” di dunia sastra. Saya kata seorang kawan sudah menjadi “selebriti puisi”. Saya terima sajalah guyonan itu, dan saya ambil manfaatnya. Saya punya akses mudah ke beberapa penyair yang dulu mungkin hanya saya bisa kagumi karyanya.

Saya misalnya berhasil berhubungan dengan Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono (!). Di hadapan kedua penyair besar itu, saya adalah murid yang tentu bebas bertanya. Saya murid yang kurang ajar. Saya mengajukan pertanyaan lewat SMS. Mereka ternyata lebih “gila” karena mau saja melayani tanya jawab itu bahkan sampai berhari-hari. Hasilnya, saya lampirkan juga di buku ini, dan tentu saja menjadi tambahan makanan yang amat bergizi.

Wabilakhir, pengantar ini sama sekali tak menambah gizi, hanya semacam basa-basi juru masak sebelum mempersilahkan para penikmat menyantap hidangan yang disajikan. Sebelum saya berhenti menulis pengantar ini, saya harus berterima kasih kepada Rike Dyah Pitaloka dan Donny Gahral Adian, dari Penerbit Koekoesan (serta Damhuri Muhamad yang sabar dan dari ekpresinya yang teduh itu saya bayangkan dia adalah editor yang cermat dan amat teliti); kepada penyair Medy Lukito yang hingga kini belum pernah saya jumpai yang pada awal-awal masa menyair saya memberi semacam petunjuk jalan perpuisisan saya dengan ulasan-ulasannya; kepada T.S. Pinang yang menghadiahi desain blog yang saya pertahankan hingga sekarang, dan persahabatan dalam mencitai puisi yang lama ini; kepada Nanang Suryadi, yang ketika dia menjadi pemimpin redaksi Cybersastra (www.cybersastra.net) membuka jalan bagi saya untuk makin laju di jalan puisi; kepada Ikra dan Shiela yang memberi giliran saya memakai laptop setelah puas main game; kepada abah dan mama di kampung yang ikhlas melepas saya pergi jauh, juga membebaskan saya menjadi apa saja yang saya inginkan; dan kepada Dhiana Daharimanoza yang selalu menjadi inspirasi, “seperti DNA yang melengkapi gen puisi-puisi saya!”

Terima kasih tentu harus saya ucapkan kepada Anda, sidang pembaca sekalian, yang semoga bisa mengambil banyak manfaat dari buku ini, dan buku-buku saya selanjutnya!


Tiban Indah Permai, Oktober 2007