Saya Menggambar Teman-teman Saya
SAYA suka menggambar di sekolah. Saya suka
menggambar teman-teman saya. Teman-teman
saya suka menggambar pemandangan. Saya suka
menggambar teman-teman saya menggambar
pemandangan. Teman-teman saya menggambar
gunung, sawah, rumah, jalan dan tiang listrik.
SAYA menggambar Samsul dan ayahnya yang
suka menebang pohon di gunung, dan gunung
sekarang jadi tak berhutan lagi. Ayah Samsul
sekarang tak menebang pohon lagi. Karena tidak
ada pohon yang bisa ditebang lagi.
SAYA menggambar Marjuki yang bapaknya bekerja
di sawah tapi sawah itu bukan sawah bapaknya lagi
karena digadaikan waktu bapaknya sakit dan bapaknya
tak bisa menebus sawah itu lagi.
SAYA menggambar Arif yang tak punya rumah tapi
dia suka sekali menggambar rumah. Arif juga tak
punya ayah dan ibu. Dia tak tahu siapa ayah dan
ibunya. Dia tinggal di panti bersama anak-anak
yang juga tak tahu siapa ayah dan siapa ibunya.
Arif jarang pulang ke panti. Dia suka tidur di masjid.
SAYA menggambar Usman yang rumahnya jauh
dari sekolah sehingga sejak subuh dia sudah berjalan
agar tidak terlambat waktu sampai ke sekolah. Usman
sering tidak masuk sekolah. Kalau hujan jalan yang
ditempuh usman tergenang, basah dan becek.
SAYA menggambar Sabri yang pernah ke kota
bersama truk ayahnya membawa hasil pertanian
ke kota dan melihat banyak tiang listrik. Di kota, kata
Sabri, juga banyak tiang yang tak ada kabelnya tapi
lampunya bisa menyala. Lampu-lampu itu membuat
kota terang di malam hari. Tidak seperti desa kami.
SAYA suka menggambar di sekolah. Saya suka
menggambar teman-teman saya yang sedang
menggambar di sekolah. Teman-teman saya suka
saya menggambar mereka. "Gambarmu lucu," kata
mereka. Tapi, Pak Guru tak pernah tertawa melihat
teman-teman saya yang ada dalam gambar saya.