WAKTU melancong ke kota itu, pemandu wisata
tua membawa kami singgah di toko peti. Letaknya
persis di sebelah toko roti, di seberang klinik pijat
refleksi. "Silakan memilih yang cocok di hati,"
katanya, "sementara saya mau menemui pemijat
langganan yang pasti sudah paling pas di kaki."
ENTAH saya yang sudah kelelahan, atau memang ini
semacam atraksi untuk wisatawan, di toko itu saya
merasa dipermainkan. Di toko roti yang dipajang peti.
Di toko peti yang ada cuma roti. Waktu saya mau
mengambil roti yang terpegang malah peti. Ketika
saya ingin membeli peti, eh kok yang dibungkus
malah roti. "Gimana sih ini?" kata saya mengajukan
keberatan. "Silakan tulis keluhan Anda di lembaran
resmi yang sudah disediakan. Masukkan ke dalam
peti saran," kata penjaga entah toko roti atau peti.
AKHIRNYA saya berhasil juga mendapatkan satu
paket roti berbentuk peti dan peti berbentuk roti.
"SUDAH selesai? Mari kita lanjutkan perjalanan,"
kata pemandu wisata tua menyengirkan senyuman.
"Selanjutnya kita akan singgah di pabrik patung."
"Huuuuuu," kata para wisatawan. Saya pun ikutan.
"Itu kan tidak ada dalam senarai acara kunjungan."
"WAH, sayang sekali kalau Tuan dan Puan tak
mampir di sana. Ini pabrik yang membuat patung
pesanan yang mirip sekali dengan si pemesan."
"Mauuuuu," serempak berseru serombongan. Kali
ini saya tak berani ikut-ikutan. Saya tiba-tiba ingat
kejadian di toko roti dan toko peti tadi, dan
menyadari betapa selama ini saya sangat asing
dengan diri saya sendiri. Berkenalan pun tak sempat
apatah lagi sampai berakrab-akraban. Saya takut
sekali, nanti tak bisa membedakan: mana diriku
yang mirip patung, mana patung yang mirip diriku.