SETELAH gagal meraih cita-citanya menjadi ahli
otopsi, kawan lamaku itu menjadi pengrajin peti
mati. "Di tingkat akhir aku lari dari studi, karena
tak tahan harus praktek membedah tubuhku
sendiri," katanya padaku, pada suatu hari, ketika
kami bertemu, setelah sekian lama aku mengira
dia sudah mati, dan dia mengira aku pun sudah
tak hidup lagi. Kami pun tertawa, tergelak-gelak.
"KENAPA harus peti mati? Kau dulu paling takut
kalau ada orang mati," tanyaku penasaran sekali.
"SEBENARNYA saya membuat bermacam-macam
peti. Peti mata, peti hati, peti duka, peti kaki,
peti tawa, peti bayi, peti tua, peti sembunyi. Tapi,
sejauh ini, yang paling laku ya cuma peti mati."
"BETUL juga ya kata guru kita dahulu. Kau masih
ingat, kan? Setiap yang bernyawa pasti mati..."
"DAN setiap yang mati perlu peti mati. He he he."
IA bahkan pernah menerima pesanan, cendera
mata berbentuk peti mati mini. Konon itu pesanan
seorang bupati. Konon pula pesanannya itu disiapkan
untuk tamu-tamu kehormatan, para kolega, dan
para pengusaha yang suka bertamu mengajak kolusi,
dan ingin menjerumuskan dia ke jurang korupsi. Aku
bilang rasanya aku pernah wawancara dengannya
dan mendapat kado istimewa berisi miniatur peti mati.
"TAPI, aku sama sekali tak menyangka, kalau itu
produksi kawanku sendiri, yaitu orang yang dulu
harus bolos sekolah karena trauma, setelah guru biologi
mati mendadak di kelas waktu mengajarkan bab anatomi,"
kataku. Kami pun tertawa lagi, sampai tersedak-sedak.
IA juga pernah bekerja sama dengan biro jasa kematian
bayaran. "Pembunuhan bayaran?" tanyaku heran. "Bukan,
ini semacam jasa penyedia kematian, lengkap dengan
surat resmi dan upacara pemakaman. Si pemesan
kematian itu tentu saja masih ada di kehidupan. Ia hanya
ingin bertamasya keluar kefanaan. Sesekali jadi orang
mati konon asyik juga dilakoni sebagai selingan di dunia
yang semakin membosankan dan menegangkan," katanya.
SETIAP hari, puluhan peti mati yang harus ia persiapkan.
"Lumayan juga, orderan rutin, jaminan penghasilan," katanya.
Sampai pada suatu hari, tidak ada pesanan lagi,
karena si pemati bayaran membayar dirinya sendiri
untuk mematikan dirinya sendiri. Ini mati betulan.
"Konon itulah prestasi paling bergengsi di kalangan para
pengelola kematian bayaran," katanya. Aku cuma bilang,
ah, ada-ada saja hidup ini. Dia pun bilang, ah hidup-hidup
saja ada ini. Kami pun kembali tertawa, terbahak-bahak.
SETELAH menghabiskan masing-masing tiga gelas kopi,
kami pun berpisah. "Sudahkah kau buat peti mati untuk
dirimu sendiri?" tanyaku bercanda sambil meninju perutnya.
DIA mendadak tampak murung sekali. "Sudah lama
aku pasang iklan, perusahaan ini mau kulego saja.
Tapi, tidak ada peminat yang bisa menghargai kematian.
Aku sendiri sudah lama ingin merasakan nikmatnya
peti mati buatan sendiri," katanya. Kami tak tertawa lagi.
SEPANJANG jalan pulang, aku melewati beberapa
taman kuburan. Kupandangi kartu bisnis yang ia berikan.
Aku baca berulang kali namanya, di bawah gambar logo
perusahaannya: PT Keranda Hidup Jaya Abadi. Alamat
kantor dan pabrik, serta nomor teleponnya. Eh, kok
tiba-tiba saja, ingin sekali aku segera menghubunginya.