KAU bertanya pada lebah kemana mencari ketika
rindu pada wangi bunga-bunga yang kau hafal namanya
padahal musim itu sudah hilang berlalu tetapi lebah tak
menjawab dan lebah pun bertanya pada angin kemana
mencari taman ketika mimpinya tentang nektar dan
madu yang tak pernah ia rasakan manisnya tetapi angin
tidak menjawab dan angin pun bertanya kepada tanah
tentang benih-benih bunga yang ia bawa dari sebuah
negeri yang dicintai oleh para petani tetapi tanah tidak
menjawab dan tanah pun bertanya kepadamu tentang
bau lumpur di tangan dan kakimu dan ia ingin sekali
engkau menjawab ketika ia bertanya kaukah petani itu.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Monday, July 31, 2006
Mitologi Awan
     KASIH itu melahirkan kisah yang berakhir
tidak berlanjut pun tidak dan karena itu menjadi
mitologi dan lelaki petani itu terus saja mengolah
tanah ladangnya dan di hatinya nama dan wajah
kekasih itu diingatnya tidak dilupakan pun tidak
dan karena itu dia pun tak berhenti mengenang
perempuan peri yang pergi meninggalkannya dan
berumah di sebuah gunung rahasia dan di sana
ia mengumpulkan awan-awan untuk menyembunyikan
airmatanya lalu mengirimnya sebagai hujan ke
ladang lelaki petani seperti hujan kegaiban
yang dulu pernah mereka bayangkan tetapi dulu
tak mungkin pernah bisa mereka wujudkan.
tidak berlanjut pun tidak dan karena itu menjadi
mitologi dan lelaki petani itu terus saja mengolah
tanah ladangnya dan di hatinya nama dan wajah
kekasih itu diingatnya tidak dilupakan pun tidak
dan karena itu dia pun tak berhenti mengenang
perempuan peri yang pergi meninggalkannya dan
berumah di sebuah gunung rahasia dan di sana
ia mengumpulkan awan-awan untuk menyembunyikan
airmatanya lalu mengirimnya sebagai hujan ke
ladang lelaki petani seperti hujan kegaiban
yang dulu pernah mereka bayangkan tetapi dulu
tak mungkin pernah bisa mereka wujudkan.
Mitologi Kupu-kupu
      LELAKI pengecup mawar itu membayangkan
bibir kekasihnya yang membisikkan sebuah rahasia
dan dia pun menjelma jadi kupu-kupu buta sehingga
ia hanya membayangkan gairah warna dari sejuk
embun yang membekas di lembar-lembar mahkota
yang gugur seperti kata yang gagal diucapkannya
dan ada yang masih ingin disentuhkannya pada kelopak
yang tersisa tetapi angin telah menunggunya di luar
taman dan dia pun ikhlas menjauh meski ingin sekali
ia memberanikan diri mengucapkan sebuah janji yang
sudah lama ia persiapkan.
bibir kekasihnya yang membisikkan sebuah rahasia
dan dia pun menjelma jadi kupu-kupu buta sehingga
ia hanya membayangkan gairah warna dari sejuk
embun yang membekas di lembar-lembar mahkota
yang gugur seperti kata yang gagal diucapkannya
dan ada yang masih ingin disentuhkannya pada kelopak
yang tersisa tetapi angin telah menunggunya di luar
taman dan dia pun ikhlas menjauh meski ingin sekali
ia memberanikan diri mengucapkan sebuah janji yang
sudah lama ia persiapkan.
Mitologi Embun
     LANGIT seperti selalu menyimak rintihan
pertama yang seakan dikekalkan oleh malam
dan dia ingin sekali menguapkan air mata yang
ditampung oleh daun-daun itu agar ada cukup
awan untuk sebuah hujan yang akan dia turunkan
sebagai isyarat bagi seseorang yang pasti ingin
sekali mendengar rintih itu agar bisa mempertegas
rindu tetapi subuh terlalu lekas datang dan langit
pun diam-diam mengirim air matanya ke daun-daun
agar jejak rintihan bisa disamarkan dan kesedihan
mungkin dipudarkan dan pencarian bisa dimulakan.
pertama yang seakan dikekalkan oleh malam
dan dia ingin sekali menguapkan air mata yang
ditampung oleh daun-daun itu agar ada cukup
awan untuk sebuah hujan yang akan dia turunkan
sebagai isyarat bagi seseorang yang pasti ingin
sekali mendengar rintih itu agar bisa mempertegas
rindu tetapi subuh terlalu lekas datang dan langit
pun diam-diam mengirim air matanya ke daun-daun
agar jejak rintihan bisa disamarkan dan kesedihan
mungkin dipudarkan dan pencarian bisa dimulakan.
Mitologi Hewan
     BERSAMA Bunda Hawa dan Bapa Adam di damai
surga Tuhan juga menghidupkan hewan-hewan selain ular
yang entah kenapa membisikkan dusta yang akhirnya
menjadi alasan bagi sebuah mulai kisah kehidupan di
dunia dan hewan-hewan itu mengira ular akan dihukum
oleh Tuhan terpenjara sendiri di surga sementara mereka
ikhlas menyusul sepasang manusia pertama ke dunia
meskipun harus menyetujui syarat menjadi lupa bahasa
surga sehingga tidak bisa lagi bercakap-cakap dengan
bahasa manusia karena ada sebuah rahasia di surga
yang harus mereka jaga dan alangkah terkejutnya
hewan-hewan itu ketika mereka juga bertemu ular di
hutan-hutan dan betapa inginnya ular itu menjelaskan
betapa tidak nyamannya terhukum sendiri di surga.
surga Tuhan juga menghidupkan hewan-hewan selain ular
yang entah kenapa membisikkan dusta yang akhirnya
menjadi alasan bagi sebuah mulai kisah kehidupan di
dunia dan hewan-hewan itu mengira ular akan dihukum
oleh Tuhan terpenjara sendiri di surga sementara mereka
ikhlas menyusul sepasang manusia pertama ke dunia
meskipun harus menyetujui syarat menjadi lupa bahasa
surga sehingga tidak bisa lagi bercakap-cakap dengan
bahasa manusia karena ada sebuah rahasia di surga
yang harus mereka jaga dan alangkah terkejutnya
hewan-hewan itu ketika mereka juga bertemu ular di
hutan-hutan dan betapa inginnya ular itu menjelaskan
betapa tidak nyamannya terhukum sendiri di surga.
Mitologi Waktu
     BILAKAH mereka saling menemukan kata sebuah
pertanyaan dan ketika itu berulang kali diajukan dalam
bisik hati dan lisan ucapan maka waktu pun diciptakan
sebab bumi pun jadi berputar seakan ingin menunjukkan
kemanakah harus diarahkan pencarian dan pagi siang sore
dan malam seakan menjadi tanda bahwa waktu telah ada
dan sebelum kejadian pertemuan maka pencarian itu tidak
pernah sia-sia karena pertemuan adalah sebuah kepastian
dan setiap kali pencarian bisa diistirahkan sejenak dan
setiap kali pula pasti bisa dimulakan lagi.
pertanyaan dan ketika itu berulang kali diajukan dalam
bisik hati dan lisan ucapan maka waktu pun diciptakan
sebab bumi pun jadi berputar seakan ingin menunjukkan
kemanakah harus diarahkan pencarian dan pagi siang sore
dan malam seakan menjadi tanda bahwa waktu telah ada
dan sebelum kejadian pertemuan maka pencarian itu tidak
pernah sia-sia karena pertemuan adalah sebuah kepastian
dan setiap kali pencarian bisa diistirahkan sejenak dan
setiap kali pula pasti bisa dimulakan lagi.
Sunday, July 30, 2006
Mitologi Airmata
      TIDAK selalu dua pasang tangan cinta
bisa saling merangkul tubuh cinta dan tidak
selamanya dua hati cinta dapat menyatukan
niat cinta maka ketika itu terjadi maka sebuah
janji tersebutkan bahwa dia yang pergi akan
tetap ada di dalam diri dia yang ditinggalkan
dan dia yang pergi mengisyaratkan diri dengan
airmata dalam tangis dia yang ditinggalkan
agar dia yang pergi bisa memastikan telah
adakah seseorang yang ikhlas mengusap
kesedihan di wajah dia yang dia tinggalkan.
bisa saling merangkul tubuh cinta dan tidak
selamanya dua hati cinta dapat menyatukan
niat cinta maka ketika itu terjadi maka sebuah
janji tersebutkan bahwa dia yang pergi akan
tetap ada di dalam diri dia yang ditinggalkan
dan dia yang pergi mengisyaratkan diri dengan
airmata dalam tangis dia yang ditinggalkan
agar dia yang pergi bisa memastikan telah
adakah seseorang yang ikhlas mengusap
kesedihan di wajah dia yang dia tinggalkan.
Friday, July 28, 2006
Mitologi Cinta
     KETIKA dua manusia pertama harus memulai
perjalanan ke dunia maka malaikat di surga cemas
sekali bila damai yang dulu ada di surga di hati keduanya
akan hilang karena malaikat tak bisa membayangkan
seperti apa dunia itu nantinya maka dua malaikat
meminta agar mereka ditugaskan saja mengiringi
Bunda Hawa dan Bapa Adam ke dunia tapi Tuhan hanya
mengizinkan keduanya terikut di dalam hati dan
Tuhan pun mengubah dua malaikat itu menjadi Cinta
yang serta merta menghadirkan rindu yang pertama
sehingga terciptalah pertemuan yang pertama
lalu terselenggaralah persetubuhan yang pertama dan
ketika diminta kembali dua malaikat itu meminta
diri untuk meneruskan tugas yang hingga kini
tak pernah membuat keduanya jenuh menunaikannya.
perjalanan ke dunia maka malaikat di surga cemas
sekali bila damai yang dulu ada di surga di hati keduanya
akan hilang karena malaikat tak bisa membayangkan
seperti apa dunia itu nantinya maka dua malaikat
meminta agar mereka ditugaskan saja mengiringi
Bunda Hawa dan Bapa Adam ke dunia tapi Tuhan hanya
mengizinkan keduanya terikut di dalam hati dan
Tuhan pun mengubah dua malaikat itu menjadi Cinta
yang serta merta menghadirkan rindu yang pertama
sehingga terciptalah pertemuan yang pertama
lalu terselenggaralah persetubuhan yang pertama dan
ketika diminta kembali dua malaikat itu meminta
diri untuk meneruskan tugas yang hingga kini
tak pernah membuat keduanya jenuh menunaikannya.
Mitologi Huruf
      SETELAH anak-anaknya besar dan pergi
mengikuti suara nasib dan bunyi hati sendiri-sendiri
ibu itu tinggal sendiri dan mengisi sunyi hari-harinya
dengan mengumpulkan bunyi dari bisik hingga berisik
dari lirih hingga riuh dari tik tik tik hingga krak
krak gedebum bum semua diberinya wadah seperti sebuah
poci kecil yang lama-lama memenuhi rumah kecilnya
lalu menjelang ajalnya dikirimnya suara-suara celoteh
anak-anaknya yang dulu sempat diam-diam disimpannya
dan ketika anaknya lengkap berkumpul ia pun berwasiat
peliharalah koleksi bunyi yang akan ia tinggalkan tapi
tak ada seorangpun yang mau repot mengurusi bunyi itu
kecuali si bungsu yang paling pendiam maka sepeninggal
ibunya si bungsu pun membuka satu per satu tutup
poci penyimpan bunyi itu dan dia menemukan suara-
suara itu telah berubah jadi huruf-huruf yang bisa
disuarakan oleh oleh siapa saja dan disusunnya
huruf-huruf itu ke dalam sebuah alfabet dan lewat
surat dia kirimkan ke semua alamat saudaranya
dengan pesan ajarilah anak-anak yang tak sempat
mendengar bunyi-bunyi purba ini membaca agar mereka
tahu hakikat sunyi dalam bunyi dan bunyi dalam sunyi.
mengikuti suara nasib dan bunyi hati sendiri-sendiri
ibu itu tinggal sendiri dan mengisi sunyi hari-harinya
dengan mengumpulkan bunyi dari bisik hingga berisik
dari lirih hingga riuh dari tik tik tik hingga krak
krak gedebum bum semua diberinya wadah seperti sebuah
poci kecil yang lama-lama memenuhi rumah kecilnya
lalu menjelang ajalnya dikirimnya suara-suara celoteh
anak-anaknya yang dulu sempat diam-diam disimpannya
dan ketika anaknya lengkap berkumpul ia pun berwasiat
peliharalah koleksi bunyi yang akan ia tinggalkan tapi
tak ada seorangpun yang mau repot mengurusi bunyi itu
kecuali si bungsu yang paling pendiam maka sepeninggal
ibunya si bungsu pun membuka satu per satu tutup
poci penyimpan bunyi itu dan dia menemukan suara-
suara itu telah berubah jadi huruf-huruf yang bisa
disuarakan oleh oleh siapa saja dan disusunnya
huruf-huruf itu ke dalam sebuah alfabet dan lewat
surat dia kirimkan ke semua alamat saudaranya
dengan pesan ajarilah anak-anak yang tak sempat
mendengar bunyi-bunyi purba ini membaca agar mereka
tahu hakikat sunyi dalam bunyi dan bunyi dalam sunyi.
Thursday, July 27, 2006
Mitologi Hujan
      KETIKA hutan bertanya tentang laut maka hujan
bercerita tentang ikan-ikan dan ketika laut
bertanya tentang hutan maka hujan pun bercerita
tentang burung dan hewan-hewan lalu ketika bumi
bertanya tentang langit hujan bercerita tentang
awan dan angin dan ketika langit bertanya tentang
bumi maka hujan pun bercerita tentang sungai dan
batu begitulah karena hutan laut langit dan bumi
tak pernah berhenti bertanya maka hujan pun tak
pernah behenti turun di hutan menguap di laut
mengalir di sungai dan mengawan di langit dan
dia lupa untuk bercerita tentang dirinya sendiri
sebab memang hutan laut sungai dan langit tak
pernah bertanya padanya tentang kabar dirinya.
bercerita tentang ikan-ikan dan ketika laut
bertanya tentang hutan maka hujan pun bercerita
tentang burung dan hewan-hewan lalu ketika bumi
bertanya tentang langit hujan bercerita tentang
awan dan angin dan ketika langit bertanya tentang
bumi maka hujan pun bercerita tentang sungai dan
batu begitulah karena hutan laut langit dan bumi
tak pernah berhenti bertanya maka hujan pun tak
pernah behenti turun di hutan menguap di laut
mengalir di sungai dan mengawan di langit dan
dia lupa untuk bercerita tentang dirinya sendiri
sebab memang hutan laut sungai dan langit tak
pernah bertanya padanya tentang kabar dirinya.
Mitologi Kunci
      DIA seorang penjaga yang selalu setia menunggu rumah ketika
tuannya seorang pemburu pergi mencari kata dan kala itu ada
saatnya tuannya pergi lama sekali sepertinya ada yang ingin
dijemputnya ke sebuah tempat padahal saat itu si penjaga setia
sudah merasa semakin tua dan ingin kembali ke rumah lain di mana
ia tidak perlu cemas setiap saat berjaga di mana dia justru dijaga
oleh pintu yang juga setia seperti dirinya maka ketika tuan pemburu
pulang kembali dengan seorang Putri dia tak menemukan lagi penjaga
tua setianya kecuali sebuah kunci di pintu dan anak kuncinya yang
tiba-tiba saja sudah ada si kantung bajunya dan sebuah kalimat
yang pernah diucapkan oleh penjaga tua dan seperti tiba-tiba saja
menyentuh gendang telinganya dan dia tersenyum kepada Sang Putri dan
bergegas membuka kunci membuka pintu mengajak memasuki rumahnya.
tuannya seorang pemburu pergi mencari kata dan kala itu ada
saatnya tuannya pergi lama sekali sepertinya ada yang ingin
dijemputnya ke sebuah tempat padahal saat itu si penjaga setia
sudah merasa semakin tua dan ingin kembali ke rumah lain di mana
ia tidak perlu cemas setiap saat berjaga di mana dia justru dijaga
oleh pintu yang juga setia seperti dirinya maka ketika tuan pemburu
pulang kembali dengan seorang Putri dia tak menemukan lagi penjaga
tua setianya kecuali sebuah kunci di pintu dan anak kuncinya yang
tiba-tiba saja sudah ada si kantung bajunya dan sebuah kalimat
yang pernah diucapkan oleh penjaga tua dan seperti tiba-tiba saja
menyentuh gendang telinganya dan dia tersenyum kepada Sang Putri dan
bergegas membuka kunci membuka pintu mengajak memasuki rumahnya.
Mitologi Ibu
      PARA lelaki menyimpan aroma lemak susu ibu jauh di sembunyian
ingatan karena dengan niat melupakan dia berhadapan dengan kerinduan
dan dengan demikian kejantanan diberi tantangan diberi kebebasan untuk
memberi makna pada beda kata lelaki dan wanita sebab dulu ada semacam
rencana yang ditolak Bunda Hawa biarkan saja katanya kukandung janin ini
sembilan bulan di rahimku dan besarkan saja dadaku agar penuh terisi susu
yang cukup untuk dahaga pertama anak-anakku dan Bapa Adam yang tak
tahu harus mencium kaki siapa untuk mengingat lagi aroma surga
berbaringlah juga sesekali di dadaku dan sesungguhnya tak ada hukuman
lagi setelah pengusiran yang pertama kecuali bila lelaki benar-benar
lupa di mana ia sembunyikan rindu pada bunda rindu pada surga.
ingatan karena dengan niat melupakan dia berhadapan dengan kerinduan
dan dengan demikian kejantanan diberi tantangan diberi kebebasan untuk
memberi makna pada beda kata lelaki dan wanita sebab dulu ada semacam
rencana yang ditolak Bunda Hawa biarkan saja katanya kukandung janin ini
sembilan bulan di rahimku dan besarkan saja dadaku agar penuh terisi susu
yang cukup untuk dahaga pertama anak-anakku dan Bapa Adam yang tak
tahu harus mencium kaki siapa untuk mengingat lagi aroma surga
berbaringlah juga sesekali di dadaku dan sesungguhnya tak ada hukuman
lagi setelah pengusiran yang pertama kecuali bila lelaki benar-benar
lupa di mana ia sembunyikan rindu pada bunda rindu pada surga.
Mitologi Sepatu
      DUA kakinya mengerti hakikat langkah berganti
kanan kiri karena ia telah kelilingi lingkaran bumi
ribuan kali sebab dialah pengembara yang tak mencari
arah karena arah tercipta dalam tiap jejak karena
dialah penjelajah yang tak mencari rumah sebab rumah
terbangun dalam tiap langkah dan dialah petualang yang
hanya memberi lambai ramah pada tiap tawaran singgah
sebab singgah yang paling sudah ada pada tiap langkah
dan dia melangkah dalam diamnya melangkah dalam lelapnya
dan dia mencapai seribu langkah pada seayun langkahnya
hingga tak ada lagi gunung ragu yang tak runtuh tak ada
lagi bukit sakit yang tak melandai dan tak ada lagi
nganga ngarai yang tak katup sampai ia sampai di sebuah
kota tempat seorang petapa menuntaskan semedinya dan
ia serahkan kedua kakinya untuk dijadikan sepasang
sepatu dan ia berkata serahkanlah pada siapa saja
yang mau menjelahi kedalaman diri manusia: diri sendiri.
kanan kiri karena ia telah kelilingi lingkaran bumi
ribuan kali sebab dialah pengembara yang tak mencari
arah karena arah tercipta dalam tiap jejak karena
dialah penjelajah yang tak mencari rumah sebab rumah
terbangun dalam tiap langkah dan dialah petualang yang
hanya memberi lambai ramah pada tiap tawaran singgah
sebab singgah yang paling sudah ada pada tiap langkah
dan dia melangkah dalam diamnya melangkah dalam lelapnya
dan dia mencapai seribu langkah pada seayun langkahnya
hingga tak ada lagi gunung ragu yang tak runtuh tak ada
lagi bukit sakit yang tak melandai dan tak ada lagi
nganga ngarai yang tak katup sampai ia sampai di sebuah
kota tempat seorang petapa menuntaskan semedinya dan
ia serahkan kedua kakinya untuk dijadikan sepasang
sepatu dan ia berkata serahkanlah pada siapa saja
yang mau menjelahi kedalaman diri manusia: diri sendiri.
Wednesday, July 26, 2006
Mitologi Semangka
       DAN bocah petani itupun menanam semangka yang diberikan nenek
penyemai benih di halaman rumah pohon dan merambatlah tanamannya
ke batang tangga seperti dia yang mengajarinya memanjat dan dia
berseru ke sinilah ada sarang lebah di atas dan dia tahu kelak di bungamu
ada bubuk madu dan tepat di depan pintuku dia akan pertemukan
putik dan serbuksari dan buahnya kelak menggembung sepelukanku
dan tiba-tiba ada yang mengetuk-ngetuk di dalamnya meminta dia
memetik dan membelah den mengecupi merah tapi dia tiba-tiba dia
teringat nenek tadi dan ingin bertanya siapa putri dalam dongeng
yang ia sembunyikan di semangka yang dulu benihnya ia berikan padanya.
penyemai benih di halaman rumah pohon dan merambatlah tanamannya
ke batang tangga seperti dia yang mengajarinya memanjat dan dia
berseru ke sinilah ada sarang lebah di atas dan dia tahu kelak di bungamu
ada bubuk madu dan tepat di depan pintuku dia akan pertemukan
putik dan serbuksari dan buahnya kelak menggembung sepelukanku
dan tiba-tiba ada yang mengetuk-ngetuk di dalamnya meminta dia
memetik dan membelah den mengecupi merah tapi dia tiba-tiba dia
teringat nenek tadi dan ingin bertanya siapa putri dalam dongeng
yang ia sembunyikan di semangka yang dulu benihnya ia berikan padanya.
[Ruang Renung # 156] Mengakrabi Kata
BANYAK penyair (Sutardji adalah salah soerangnya) memberi nasihat ini: Akrabi kata-kata, akrabi! Tapi bagaimana? Mari kita bikin kurikulum sendiri. Cobalah tengok langit. Kata apa yang ada di sana? Kau bilang: awan, biru, putih, gumpal, anjak, punjung, kepak, sayap, jejak, kosong, terbang, kibar, asap, sembunyi, terang, perjalanan ..... Banyak sekali. Apa saja bisa kita temui atau kita hadirkan di langit.
MENGAKRABI bisa berarti menyadari kehadiran kata-kata. Merasakan ia ada. Mengesek-gesekkan tubuhnya di jemari atau lidahmu, minta dituliskan dan minta diucapkan. Seperti kata-kata yang tadi kita sapa di langit itu.
MENGAKRABI dapat juga berarti mendudukkan niat yang tulus. Tidak sekadar memperdaya atau menjadikan mereka alat untuk menukangi puisi kita. Ini sebenarnya semacam akal muslihat juga. Trik tipu-tipu. Tapi kata yang kita perdaya itu ikhlas saja. Soalnya kita sudah mengakrabi mereka. He he he.
MENGAKRABI bisa berarti menyadari kehadiran kata-kata. Merasakan ia ada. Mengesek-gesekkan tubuhnya di jemari atau lidahmu, minta dituliskan dan minta diucapkan. Seperti kata-kata yang tadi kita sapa di langit itu.
MENGAKRABI dapat juga berarti mendudukkan niat yang tulus. Tidak sekadar memperdaya atau menjadikan mereka alat untuk menukangi puisi kita. Ini sebenarnya semacam akal muslihat juga. Trik tipu-tipu. Tapi kata yang kita perdaya itu ikhlas saja. Soalnya kita sudah mengakrabi mereka. He he he.
Steven Kurniawan - Singapura
Biarkan Aku Mampir
: Hasan Aspahani
Semangatmu masih membekas:
Siramilah puisi di negeri sana.
Maka aku pun berangkat dengan
terlunta-lunta dan hanya membawa
sedikit kata-kata yang mudah-mudahan
cukup untuk hidup beberapa hari.
Setibanya aku, ternyata tak ada
puisi. Entah aku ini pangling
dengan puisi atau puisi sudah
merasa asing dengan saya.
"Anda, penyair?" Todong sebuah
sajak. Aku langsung merinding
sampai tak mampu menjawab.
"Ah, kami tidak butuh engkau."
Biarlah aku pulang, bang.
Di bawah langitmu: rumah kecil
tempat kita minum teh sambil
melafalkan tingkah senja.
Bolehlah aku menumpang tidur
hingga tanpa sadar liurku sudah
memenuhi ranjang. Kemudian aku
sajikan untukmu sebuah kata: maaf.
Biarkan Aku Mampir
: Hasan Aspahani
Semangatmu masih membekas:
Siramilah puisi di negeri sana.
Maka aku pun berangkat dengan
terlunta-lunta dan hanya membawa
sedikit kata-kata yang mudah-mudahan
cukup untuk hidup beberapa hari.
Setibanya aku, ternyata tak ada
puisi. Entah aku ini pangling
dengan puisi atau puisi sudah
merasa asing dengan saya.
"Anda, penyair?" Todong sebuah
sajak. Aku langsung merinding
sampai tak mampu menjawab.
"Ah, kami tidak butuh engkau."
Biarlah aku pulang, bang.
Di bawah langitmu: rumah kecil
tempat kita minum teh sambil
melafalkan tingkah senja.
Bolehlah aku menumpang tidur
hingga tanpa sadar liurku sudah
memenuhi ranjang. Kemudian aku
sajikan untukmu sebuah kata: maaf.
Tuesday, July 25, 2006
Mitologi Sirih
       ULAR yang dulu memperdaya Bunda Hawa melilit saja di batang
khuldi pohon yang segera meranggas mati setelah buah pertamanya
dipetik Bapa Adam dan sisiknya menjadi daun pedas lalu kini kita
menyebutnya sirih yang sempat dipetik beberapa lembar oleh Bunda
Hawa sebelum dia menjejakkan kaki di dunia dan menanamnya sebagai
isyarat perih dan sesal serta mengunyah daunnya untuk mengusir mual
karena waktu tiba-tiba ada dan tiba-tiba saja mulai membuat tanda
batas nun di kelak sana batas antara degup hidup yang gugup dan mati
yang menanti dan Bunda Hawa merasa harus bergegas bertemu dengan
Bapa Adam dengan sebuah maaf dan rindu yang juga tumbuh bersama
waktu dan Bunda Hawa ingin mempersembahkan sirih yang ia pelihara
bagi Adam kelak di pertemuan pertama mereka setelah saling mencari
sekian lama sedemikian lara sekian rindu hati sedemikian merdu sunyi.
khuldi pohon yang segera meranggas mati setelah buah pertamanya
dipetik Bapa Adam dan sisiknya menjadi daun pedas lalu kini kita
menyebutnya sirih yang sempat dipetik beberapa lembar oleh Bunda
Hawa sebelum dia menjejakkan kaki di dunia dan menanamnya sebagai
isyarat perih dan sesal serta mengunyah daunnya untuk mengusir mual
karena waktu tiba-tiba ada dan tiba-tiba saja mulai membuat tanda
batas nun di kelak sana batas antara degup hidup yang gugup dan mati
yang menanti dan Bunda Hawa merasa harus bergegas bertemu dengan
Bapa Adam dengan sebuah maaf dan rindu yang juga tumbuh bersama
waktu dan Bunda Hawa ingin mempersembahkan sirih yang ia pelihara
bagi Adam kelak di pertemuan pertama mereka setelah saling mencari
sekian lama sedemikian lara sekian rindu hati sedemikian merdu sunyi.
[Kutipan] Mendengar & Melihat
MEMBACA puisi adalah mendengarnya dengan mata kita; mendengar puisi adalah melihatnya dengan telinga kita.
Octavio Paz, esais dan penyair Meksiko.
Octavio Paz, esais dan penyair Meksiko.
[Ruang Renung # 155] Pembicaraan Diluar Puisi
ADA kalanya penyair dibicarakan di luar urusan puisinya. Ada kalanya satu penyair dibandingkan dengan penyair lain, dibanding-bandingkan riwayat hidupnya.
MEMANG, ada yang benar pada kalimat: setelah berkarya maka pengarang telah mati. Tak apa, sesekali, kita boleh ikuti pembicaraan itu, tapi kita harus menggiring jejak ikutan kita ke arah puisi-puisi si penyair yang dibicarakan, ketika pembicaraan berlangsung atau pun setelah itu. Lebih afdol apabila pembicaraan tentang penyair itu didahului dengan pendalaman pada puisi-puisinya.
ADA sebuah aforisma: semua hasil karya - dalam hal penyair adalah puisi-puisinya - adalah biografi si seniman. Hal lain di luar karya adalah catatan kaki saja.
SAYA ingin terus menambah alasan dan pembuktian untuk terus-menerus setuju pada aforisma itu. Sebuah puisi akhirnya bisa diberi catatan banyak: kenapa penyair menulis puisi itu? Di mana dia menulis? Kapan penulisannya? Tengoklah, semua jawaban atas pertanyaan itu berkelindan tetapi berada di luar puisi itu bukan? Semua menjadi catatan kaki yang menarik bagi puisi itu, dan tentu saja bagi si riwayat hidup si penyairnya. ***
MEMANG, ada yang benar pada kalimat: setelah berkarya maka pengarang telah mati. Tak apa, sesekali, kita boleh ikuti pembicaraan itu, tapi kita harus menggiring jejak ikutan kita ke arah puisi-puisi si penyair yang dibicarakan, ketika pembicaraan berlangsung atau pun setelah itu. Lebih afdol apabila pembicaraan tentang penyair itu didahului dengan pendalaman pada puisi-puisinya.
ADA sebuah aforisma: semua hasil karya - dalam hal penyair adalah puisi-puisinya - adalah biografi si seniman. Hal lain di luar karya adalah catatan kaki saja.
SAYA ingin terus menambah alasan dan pembuktian untuk terus-menerus setuju pada aforisma itu. Sebuah puisi akhirnya bisa diberi catatan banyak: kenapa penyair menulis puisi itu? Di mana dia menulis? Kapan penulisannya? Tengoklah, semua jawaban atas pertanyaan itu berkelindan tetapi berada di luar puisi itu bukan? Semua menjadi catatan kaki yang menarik bagi puisi itu, dan tentu saja bagi si riwayat hidup si penyairnya. ***
Sunday, July 23, 2006
[Kutipan] Memperkaya dan Memelihara Bahasa Indonesia
Benar, Indonesia dalam banyak hal ekonominya ke belakang (untuk sementara waktu) tetapi bahasa, seni budayanya, kejiwaannya amat integral dan bersepadu. Mereka mempertahankan bahasa Melayu yang sudah menjadi bahasa ibundanya dalam nama yang lain bahasa Indonesia, mereka memperkaya, memelihara dan penuh cemburu kalau ada tangan-tangan dan otak-otak yang jahil mahu memusnahkannya.
- AHMAD KAMAL ABDULLAH, Presiden Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia (PKBM) pada Mesyuarat Agung 9 Jun 2006.
Thursday, July 20, 2006
Demi Ibu yang Didurhakai
/1/
APAKAH dusta dosa
larut terlarung di laut?
Kita pelaut penakut
cuma memijah
sejuta benih musibah
menyemai mahabadai
di ladang-ladang gelombang.
DEMI Hiu,
yang membawa
isyarat dan syarat:
Telah tiba musim panen petaka,
ketika kita melancong ke pantai
meliburkan semua ingatan.
"Elakkanlah!" seru laut.
"Elukanlah!" kita menyahut.
/2/
KAPAL ini,
7 tiangnya telah patah.
40 rusuknya retak.
1.000 tebah lambungnya
akan kalah,
pecah
oleh sesibak saja ombak.
Kita pelaut pengecut,
DEMI Ibu
yang didurhakai
di setiap dermaga,
Masihkah bisa kita ingat
cara memegang tombak?
Membidik pundak todak?
APAKAH dusta dosa
larut terlarung di laut?
Kita pelaut penakut
cuma memijah
sejuta benih musibah
menyemai mahabadai
di ladang-ladang gelombang.
DEMI Hiu,
yang membawa
isyarat dan syarat:
Telah tiba musim panen petaka,
ketika kita melancong ke pantai
meliburkan semua ingatan.
"Elakkanlah!" seru laut.
"Elukanlah!" kita menyahut.
/2/
KAPAL ini,
7 tiangnya telah patah.
40 rusuknya retak.
1.000 tebah lambungnya
akan kalah,
pecah
oleh sesibak saja ombak.
Kita pelaut pengecut,
DEMI Ibu
yang didurhakai
di setiap dermaga,
Masihkah bisa kita ingat
cara memegang tombak?
Membidik pundak todak?
Kanvas Itu, Kafan Itu
DI dinding
hanya bayanganku.
Kami bertatapan:
sama terpaku.
dikekalkan oleh dingin.
Dan bisu.
SIAPA melukis
tubuhku? Di kanvas itu.
Kafan itu.
ADA bisik.
Air gemerisik.
Siapa yang dimandikan?
Jasad telanjang. Bergeming.
Tanpa gelinjang.
DI dinding
Cermin beku itu
Ada mata nyalang.
Menatap menembus tubuhku.
hanya bayanganku.
Kami bertatapan:
sama terpaku.
dikekalkan oleh dingin.
Dan bisu.
SIAPA melukis
tubuhku? Di kanvas itu.
Kafan itu.
ADA bisik.
Air gemerisik.
Siapa yang dimandikan?
Jasad telanjang. Bergeming.
Tanpa gelinjang.
DI dinding
Cermin beku itu
Ada mata nyalang.
Menatap menembus tubuhku.
Monday, July 17, 2006
Musim Bidadari, Musim Pelangi
DI negeri kami, ada musim pelangi.
Yakni ketika bidadari turun memeluk
dan mengecupi pipi-pipi. Mengajari
kaki-kaki kami menari. Menari. Menari.
Yakni ketika kami harus membuka pintu
dan menebarkan bunga-bunga di semua
lapangan sepanjang jalanan. Memekarkannya
jua di wajah kami, menyanyi. Dan Menyanyi.
"Bidadari jangan lekas tinggalkan kami."
Bidadari pun lupa pulang, sampai pelangi
menghilang. Dan langit yang telanjang
memanggil para bidadari kembali.
DI negeri kami, ada musim bidadari.
Yakni ketika langit tidak berpelangi
dan para perempuan memeluk dan dipeluk
para lelaki dengan sesungguhnya: Cinta.
Yakni ketika bidadari turun memeluk
dan mengecupi pipi-pipi. Mengajari
kaki-kaki kami menari. Menari. Menari.
Yakni ketika kami harus membuka pintu
dan menebarkan bunga-bunga di semua
lapangan sepanjang jalanan. Memekarkannya
jua di wajah kami, menyanyi. Dan Menyanyi.
"Bidadari jangan lekas tinggalkan kami."
Bidadari pun lupa pulang, sampai pelangi
menghilang. Dan langit yang telanjang
memanggil para bidadari kembali.
DI negeri kami, ada musim bidadari.
Yakni ketika langit tidak berpelangi
dan para perempuan memeluk dan dipeluk
para lelaki dengan sesungguhnya: Cinta.
Peti Wasiat dan Wasiat Peti
PULANGLAH segera. Ayah sudah dikuburkan
bersama peti mati kesayangan. Kami menunggumu
supaya kita bisa sama-sama membuka peti wasiat
yang ia wariskan. Bukankah kuncinya kau yang
membawa? Waktu itu kau pura-pura memakainya
sebagai mata kalung. Kau memang saudara kami
yang paling cerdik. Artinya kau memang amat licik.
WAKTU kecil, peti wasiat itu selalu menjadi pusat
perhatian kami: anak-anak yang mencari jati diri.
Tapi sampai kini, tak pernah ada yang pernah
melongok apa isinya. "Kalian semua adalah peti.
Tak usah memikirkan apa isi peti besar ini. Isilah
peti sendiri. Jangan mau hanya jadi peti kosong,"
kata ayah yang mengoleksi berbagai jenis peti.
TAPI dasar anak-anak, semakin dilarang, semakin
asyik kami main tebak-tebakan. Ada yang bilang
peti itu berisi naga kepala tiga: satu kepala selalu
tertawa, kepala kedua tidur saja kerjanya, dan yang
ketiga lapar senantiasa. Konon, naga itu sedang
menunggu tumbuh kepala yang keempat. "Kepala
yang akan tumbuh itu persis seperti kepala kita.
Penuh siasat dan muslihat," kata sahibulhikayat.
ADA juga yang mengira peti itu berisi kerangka
kakek kami. Kabarnya, peti itu dia yang membuat
sendiri menjelang ajal menjemputnya. Tiap malam dia
tidur di dalam peti itu supaya benar-benar pas
dan nyaman ukurannya, bila kelak ia harus berbaring
selamanya di sana. Kakek bangga sekali, ketika
teman-temannya mengagumi keindahan karyanya.
Maka diletakkannya di ruang tengah rumah. "Pada
suatu malam kakek menghilang dengan sebuah amanat,
jangan buka peti, kalau tak mau kualat. Padahal di
dalamnya dia sudah asyik mati sendiri," kata ahli riwayat.
KAKEK kami memang tak ada makamnya. Konon,
sebenarnya dia mati di medan peperangan, waktu zaman
perang melawan belanda. Ada peti kaca di kamarnya,
tempat menyimpan medali penghargaan: bintang gerilya.
Karena itu kami nyaris percaya dongeng peti wasiatnya
yang kalau dibuka akan membuat kami dikutuk kualat.
AKU tak tahu: segera pulang atau terus menggelandang.
KUNCI yang diduga sebagai pembuka peti wasiat, sudah
lama hilang. Setelah jauh pergi, aku tak tertarik lagi
melihat apa sebenarnya isi peti wasiat itu. Aku lebih
tergoda pada wasiat peti: Hidup sesungguhnya cuma
peralihan dari peti ke peti. Dari peti rahim hingga ke peti
mati. "Carilah petimu sendiri, simpanlah kuncimu sendiri.
Jinakkanlah naga di petimu sendiri," kata pemberi nasihat.
bersama peti mati kesayangan. Kami menunggumu
supaya kita bisa sama-sama membuka peti wasiat
yang ia wariskan. Bukankah kuncinya kau yang
membawa? Waktu itu kau pura-pura memakainya
sebagai mata kalung. Kau memang saudara kami
yang paling cerdik. Artinya kau memang amat licik.
WAKTU kecil, peti wasiat itu selalu menjadi pusat
perhatian kami: anak-anak yang mencari jati diri.
Tapi sampai kini, tak pernah ada yang pernah
melongok apa isinya. "Kalian semua adalah peti.
Tak usah memikirkan apa isi peti besar ini. Isilah
peti sendiri. Jangan mau hanya jadi peti kosong,"
kata ayah yang mengoleksi berbagai jenis peti.
TAPI dasar anak-anak, semakin dilarang, semakin
asyik kami main tebak-tebakan. Ada yang bilang
peti itu berisi naga kepala tiga: satu kepala selalu
tertawa, kepala kedua tidur saja kerjanya, dan yang
ketiga lapar senantiasa. Konon, naga itu sedang
menunggu tumbuh kepala yang keempat. "Kepala
yang akan tumbuh itu persis seperti kepala kita.
Penuh siasat dan muslihat," kata sahibulhikayat.
ADA juga yang mengira peti itu berisi kerangka
kakek kami. Kabarnya, peti itu dia yang membuat
sendiri menjelang ajal menjemputnya. Tiap malam dia
tidur di dalam peti itu supaya benar-benar pas
dan nyaman ukurannya, bila kelak ia harus berbaring
selamanya di sana. Kakek bangga sekali, ketika
teman-temannya mengagumi keindahan karyanya.
Maka diletakkannya di ruang tengah rumah. "Pada
suatu malam kakek menghilang dengan sebuah amanat,
jangan buka peti, kalau tak mau kualat. Padahal di
dalamnya dia sudah asyik mati sendiri," kata ahli riwayat.
KAKEK kami memang tak ada makamnya. Konon,
sebenarnya dia mati di medan peperangan, waktu zaman
perang melawan belanda. Ada peti kaca di kamarnya,
tempat menyimpan medali penghargaan: bintang gerilya.
Karena itu kami nyaris percaya dongeng peti wasiatnya
yang kalau dibuka akan membuat kami dikutuk kualat.
AKU tak tahu: segera pulang atau terus menggelandang.
KUNCI yang diduga sebagai pembuka peti wasiat, sudah
lama hilang. Setelah jauh pergi, aku tak tertarik lagi
melihat apa sebenarnya isi peti wasiat itu. Aku lebih
tergoda pada wasiat peti: Hidup sesungguhnya cuma
peralihan dari peti ke peti. Dari peti rahim hingga ke peti
mati. "Carilah petimu sendiri, simpanlah kuncimu sendiri.
Jinakkanlah naga di petimu sendiri," kata pemberi nasihat.
Percakapan di Sebuah Panti Jompo
SENJA semakin tua, matahari semakin mengantuk saja.
"Malam ini, kita tidur di atas peti atau di dalam peti?" kata
matahari kepada senja. Keduanya merasa semakin renta.
"Malam ini, kita tidur di atas peti atau di dalam peti?" kata
matahari kepada senja. Keduanya merasa semakin renta.
Toko Roti dan Toko Peti
WAKTU melancong ke kota itu, pemandu wisata
tua membawa kami singgah di toko peti. Letaknya
persis di sebelah toko roti, di seberang klinik pijat
refleksi. "Silakan memilih yang cocok di hati,"
katanya, "sementara saya mau menemui pemijat
langganan yang pasti sudah paling pas di kaki."
ENTAH saya yang sudah kelelahan, atau memang ini
semacam atraksi untuk wisatawan, di toko itu saya
merasa dipermainkan. Di toko roti yang dipajang peti.
Di toko peti yang ada cuma roti. Waktu saya mau
mengambil roti yang terpegang malah peti. Ketika
saya ingin membeli peti, eh kok yang dibungkus
malah roti. "Gimana sih ini?" kata saya mengajukan
keberatan. "Silakan tulis keluhan Anda di lembaran
resmi yang sudah disediakan. Masukkan ke dalam
peti saran," kata penjaga entah toko roti atau peti.
AKHIRNYA saya berhasil juga mendapatkan satu
paket roti berbentuk peti dan peti berbentuk roti.
"SUDAH selesai? Mari kita lanjutkan perjalanan,"
kata pemandu wisata tua menyengirkan senyuman.
"Selanjutnya kita akan singgah di pabrik patung."
"Huuuuuu," kata para wisatawan. Saya pun ikutan.
"Itu kan tidak ada dalam senarai acara kunjungan."
"WAH, sayang sekali kalau Tuan dan Puan tak
mampir di sana. Ini pabrik yang membuat patung
pesanan yang mirip sekali dengan si pemesan."
"Mauuuuu," serempak berseru serombongan. Kali
ini saya tak berani ikut-ikutan. Saya tiba-tiba ingat
kejadian di toko roti dan toko peti tadi, dan
menyadari betapa selama ini saya sangat asing
dengan diri saya sendiri. Berkenalan pun tak sempat
apatah lagi sampai berakrab-akraban. Saya takut
sekali, nanti tak bisa membedakan: mana diriku
yang mirip patung, mana patung yang mirip diriku.
tua membawa kami singgah di toko peti. Letaknya
persis di sebelah toko roti, di seberang klinik pijat
refleksi. "Silakan memilih yang cocok di hati,"
katanya, "sementara saya mau menemui pemijat
langganan yang pasti sudah paling pas di kaki."
ENTAH saya yang sudah kelelahan, atau memang ini
semacam atraksi untuk wisatawan, di toko itu saya
merasa dipermainkan. Di toko roti yang dipajang peti.
Di toko peti yang ada cuma roti. Waktu saya mau
mengambil roti yang terpegang malah peti. Ketika
saya ingin membeli peti, eh kok yang dibungkus
malah roti. "Gimana sih ini?" kata saya mengajukan
keberatan. "Silakan tulis keluhan Anda di lembaran
resmi yang sudah disediakan. Masukkan ke dalam
peti saran," kata penjaga entah toko roti atau peti.
AKHIRNYA saya berhasil juga mendapatkan satu
paket roti berbentuk peti dan peti berbentuk roti.
"SUDAH selesai? Mari kita lanjutkan perjalanan,"
kata pemandu wisata tua menyengirkan senyuman.
"Selanjutnya kita akan singgah di pabrik patung."
"Huuuuuu," kata para wisatawan. Saya pun ikutan.
"Itu kan tidak ada dalam senarai acara kunjungan."
"WAH, sayang sekali kalau Tuan dan Puan tak
mampir di sana. Ini pabrik yang membuat patung
pesanan yang mirip sekali dengan si pemesan."
"Mauuuuu," serempak berseru serombongan. Kali
ini saya tak berani ikut-ikutan. Saya tiba-tiba ingat
kejadian di toko roti dan toko peti tadi, dan
menyadari betapa selama ini saya sangat asing
dengan diri saya sendiri. Berkenalan pun tak sempat
apatah lagi sampai berakrab-akraban. Saya takut
sekali, nanti tak bisa membedakan: mana diriku
yang mirip patung, mana patung yang mirip diriku.
Dongeng Pengrajin Peti Mati
SETELAH gagal meraih cita-citanya menjadi ahli
otopsi, kawan lamaku itu menjadi pengrajin peti
mati. "Di tingkat akhir aku lari dari studi, karena
tak tahan harus praktek membedah tubuhku
sendiri," katanya padaku, pada suatu hari, ketika
kami bertemu, setelah sekian lama aku mengira
dia sudah mati, dan dia mengira aku pun sudah
tak hidup lagi. Kami pun tertawa, tergelak-gelak.
"KENAPA harus peti mati? Kau dulu paling takut
kalau ada orang mati," tanyaku penasaran sekali.
"SEBENARNYA saya membuat bermacam-macam
peti. Peti mata, peti hati, peti duka, peti kaki,
peti tawa, peti bayi, peti tua, peti sembunyi. Tapi,
sejauh ini, yang paling laku ya cuma peti mati."
"BETUL juga ya kata guru kita dahulu. Kau masih
ingat, kan? Setiap yang bernyawa pasti mati..."
"DAN setiap yang mati perlu peti mati. He he he."
IA bahkan pernah menerima pesanan, cendera
mata berbentuk peti mati mini. Konon itu pesanan
seorang bupati. Konon pula pesanannya itu disiapkan
untuk tamu-tamu kehormatan, para kolega, dan
para pengusaha yang suka bertamu mengajak kolusi,
dan ingin menjerumuskan dia ke jurang korupsi. Aku
bilang rasanya aku pernah wawancara dengannya
dan mendapat kado istimewa berisi miniatur peti mati.
"TAPI, aku sama sekali tak menyangka, kalau itu
produksi kawanku sendiri, yaitu orang yang dulu
harus bolos sekolah karena trauma, setelah guru biologi
mati mendadak di kelas waktu mengajarkan bab anatomi,"
kataku. Kami pun tertawa lagi, sampai tersedak-sedak.
IA juga pernah bekerja sama dengan biro jasa kematian
bayaran. "Pembunuhan bayaran?" tanyaku heran. "Bukan,
ini semacam jasa penyedia kematian, lengkap dengan
surat resmi dan upacara pemakaman. Si pemesan
kematian itu tentu saja masih ada di kehidupan. Ia hanya
ingin bertamasya keluar kefanaan. Sesekali jadi orang
mati konon asyik juga dilakoni sebagai selingan di dunia
yang semakin membosankan dan menegangkan," katanya.
SETIAP hari, puluhan peti mati yang harus ia persiapkan.
"Lumayan juga, orderan rutin, jaminan penghasilan," katanya.
Sampai pada suatu hari, tidak ada pesanan lagi,
karena si pemati bayaran membayar dirinya sendiri
untuk mematikan dirinya sendiri. Ini mati betulan.
"Konon itulah prestasi paling bergengsi di kalangan para
pengelola kematian bayaran," katanya. Aku cuma bilang,
ah, ada-ada saja hidup ini. Dia pun bilang, ah hidup-hidup
saja ada ini. Kami pun kembali tertawa, terbahak-bahak.
SETELAH menghabiskan masing-masing tiga gelas kopi,
kami pun berpisah. "Sudahkah kau buat peti mati untuk
dirimu sendiri?" tanyaku bercanda sambil meninju perutnya.
DIA mendadak tampak murung sekali. "Sudah lama
aku pasang iklan, perusahaan ini mau kulego saja.
Tapi, tidak ada peminat yang bisa menghargai kematian.
Aku sendiri sudah lama ingin merasakan nikmatnya
peti mati buatan sendiri," katanya. Kami tak tertawa lagi.
SEPANJANG jalan pulang, aku melewati beberapa
taman kuburan. Kupandangi kartu bisnis yang ia berikan.
Aku baca berulang kali namanya, di bawah gambar logo
perusahaannya: PT Keranda Hidup Jaya Abadi. Alamat
kantor dan pabrik, serta nomor teleponnya. Eh, kok
tiba-tiba saja, ingin sekali aku segera menghubunginya.
otopsi, kawan lamaku itu menjadi pengrajin peti
mati. "Di tingkat akhir aku lari dari studi, karena
tak tahan harus praktek membedah tubuhku
sendiri," katanya padaku, pada suatu hari, ketika
kami bertemu, setelah sekian lama aku mengira
dia sudah mati, dan dia mengira aku pun sudah
tak hidup lagi. Kami pun tertawa, tergelak-gelak.
"KENAPA harus peti mati? Kau dulu paling takut
kalau ada orang mati," tanyaku penasaran sekali.
"SEBENARNYA saya membuat bermacam-macam
peti. Peti mata, peti hati, peti duka, peti kaki,
peti tawa, peti bayi, peti tua, peti sembunyi. Tapi,
sejauh ini, yang paling laku ya cuma peti mati."
"BETUL juga ya kata guru kita dahulu. Kau masih
ingat, kan? Setiap yang bernyawa pasti mati..."
"DAN setiap yang mati perlu peti mati. He he he."
IA bahkan pernah menerima pesanan, cendera
mata berbentuk peti mati mini. Konon itu pesanan
seorang bupati. Konon pula pesanannya itu disiapkan
untuk tamu-tamu kehormatan, para kolega, dan
para pengusaha yang suka bertamu mengajak kolusi,
dan ingin menjerumuskan dia ke jurang korupsi. Aku
bilang rasanya aku pernah wawancara dengannya
dan mendapat kado istimewa berisi miniatur peti mati.
"TAPI, aku sama sekali tak menyangka, kalau itu
produksi kawanku sendiri, yaitu orang yang dulu
harus bolos sekolah karena trauma, setelah guru biologi
mati mendadak di kelas waktu mengajarkan bab anatomi,"
kataku. Kami pun tertawa lagi, sampai tersedak-sedak.
IA juga pernah bekerja sama dengan biro jasa kematian
bayaran. "Pembunuhan bayaran?" tanyaku heran. "Bukan,
ini semacam jasa penyedia kematian, lengkap dengan
surat resmi dan upacara pemakaman. Si pemesan
kematian itu tentu saja masih ada di kehidupan. Ia hanya
ingin bertamasya keluar kefanaan. Sesekali jadi orang
mati konon asyik juga dilakoni sebagai selingan di dunia
yang semakin membosankan dan menegangkan," katanya.
SETIAP hari, puluhan peti mati yang harus ia persiapkan.
"Lumayan juga, orderan rutin, jaminan penghasilan," katanya.
Sampai pada suatu hari, tidak ada pesanan lagi,
karena si pemati bayaran membayar dirinya sendiri
untuk mematikan dirinya sendiri. Ini mati betulan.
"Konon itulah prestasi paling bergengsi di kalangan para
pengelola kematian bayaran," katanya. Aku cuma bilang,
ah, ada-ada saja hidup ini. Dia pun bilang, ah hidup-hidup
saja ada ini. Kami pun kembali tertawa, terbahak-bahak.
SETELAH menghabiskan masing-masing tiga gelas kopi,
kami pun berpisah. "Sudahkah kau buat peti mati untuk
dirimu sendiri?" tanyaku bercanda sambil meninju perutnya.
DIA mendadak tampak murung sekali. "Sudah lama
aku pasang iklan, perusahaan ini mau kulego saja.
Tapi, tidak ada peminat yang bisa menghargai kematian.
Aku sendiri sudah lama ingin merasakan nikmatnya
peti mati buatan sendiri," katanya. Kami tak tertawa lagi.
SEPANJANG jalan pulang, aku melewati beberapa
taman kuburan. Kupandangi kartu bisnis yang ia berikan.
Aku baca berulang kali namanya, di bawah gambar logo
perusahaannya: PT Keranda Hidup Jaya Abadi. Alamat
kantor dan pabrik, serta nomor teleponnya. Eh, kok
tiba-tiba saja, ingin sekali aku segera menghubunginya.
Dongeng Pemimpi dan Peti Mimpinya
SETIAP kali selesai bermimpi, ia simpan hasilnya
di dalam peti. Mimpinya kini banyak sekali: berpeti-peti.
Berwarna-warni. Dia mencintai mimpi-mimpinya. Dia
merawat koleksi mimpinya telaten sekali. Semua dijilid
dan disampul rapi. Semua disiram, tumbuh subur sekali.
LALU, pada suatu hari di negeri itu ada larangan bermimpi.
Maka disembunyikannya peti-peti mimpinya jauh ke
pelosok malam. Tapi tiap kali tidur dia masih juga
bermimpi, meskipun sebelum lelap dia sudah membaca
doa penolak mimpi. Dia pun pasrah saja. "Biarlah, kalau
memang saya harus mati karena mimpi-mimpi...."
SUATU hari datang hujan besar. Lebat sekali. 40 hari.
Dia ingat, hujan ini pernah ada dalam satu mimpinya.
Tapi dia lupa, apakah dalam mimpi itu ada kisah tentang
Seorang Tua membuat perahu mimpi di gunung mimpi.
HUJAN mimpi itu mengakibatkan banjir mimpi. Peti-peti
mimpi yang ia sembunyikan hanyut terbawa arus mimpi.
Ia selamat karena perpegang pada sebuah peti mimpi
yang paling ia sayangi. Dia dan peti mimpinya pun
terdampar di sebuah pelatar istana. Dia pingsan. Dan
tanpa setahunya, seorang permaisuri memungut mimpinya
dari peti dan merawatnya seperti mimpi sendiri. Konon di
negeri itu sudah lama tidak ada mimpi. Sang Raja
membunuh setiap mimpi karena menurut sebuah nujum
yang ia temui dalam mimpi, akan ada sebuah mimpi yang
kelak menjatuhkannya dari puncak kekuasaannya.
DIA pun menggelandang ke sana kemari, berkelana mencari
mimpi yang hilang. Dia tak pernah lagi bermimpi. Usianya
rakus dilahap waktu. Dia harus bergegas menemukan lagi.
"Mimpi, mimpi, di mana kau mimpi..." katanya sambil
menyeret peti mimpi yang sudah lama tidak lagi berisi.
LALU sampailah di sebuah negeri yang makmur seperti
pernah ada dalam salah satu mimpinya. Dia bertemu
dengan Raja Muda yang tertarik melihat peti mimpinya.
Sepertinya pernah amat kukenali peti mimpi ini, kata Raja.
"Sepertinya pernah kumimpikan pertemuan ini," katanya.
Lalu dia pun ditawari untuk mengabdi di Negeri Mimpi. Ia
menerima saja ketika diminta menjadi perawat Taman Mimpi.
Dalam peti mimpinya bersemi bunga-bunga mimpi: Puisi.
di dalam peti. Mimpinya kini banyak sekali: berpeti-peti.
Berwarna-warni. Dia mencintai mimpi-mimpinya. Dia
merawat koleksi mimpinya telaten sekali. Semua dijilid
dan disampul rapi. Semua disiram, tumbuh subur sekali.
LALU, pada suatu hari di negeri itu ada larangan bermimpi.
Maka disembunyikannya peti-peti mimpinya jauh ke
pelosok malam. Tapi tiap kali tidur dia masih juga
bermimpi, meskipun sebelum lelap dia sudah membaca
doa penolak mimpi. Dia pun pasrah saja. "Biarlah, kalau
memang saya harus mati karena mimpi-mimpi...."
SUATU hari datang hujan besar. Lebat sekali. 40 hari.
Dia ingat, hujan ini pernah ada dalam satu mimpinya.
Tapi dia lupa, apakah dalam mimpi itu ada kisah tentang
Seorang Tua membuat perahu mimpi di gunung mimpi.
HUJAN mimpi itu mengakibatkan banjir mimpi. Peti-peti
mimpi yang ia sembunyikan hanyut terbawa arus mimpi.
Ia selamat karena perpegang pada sebuah peti mimpi
yang paling ia sayangi. Dia dan peti mimpinya pun
terdampar di sebuah pelatar istana. Dia pingsan. Dan
tanpa setahunya, seorang permaisuri memungut mimpinya
dari peti dan merawatnya seperti mimpi sendiri. Konon di
negeri itu sudah lama tidak ada mimpi. Sang Raja
membunuh setiap mimpi karena menurut sebuah nujum
yang ia temui dalam mimpi, akan ada sebuah mimpi yang
kelak menjatuhkannya dari puncak kekuasaannya.
DIA pun menggelandang ke sana kemari, berkelana mencari
mimpi yang hilang. Dia tak pernah lagi bermimpi. Usianya
rakus dilahap waktu. Dia harus bergegas menemukan lagi.
"Mimpi, mimpi, di mana kau mimpi..." katanya sambil
menyeret peti mimpi yang sudah lama tidak lagi berisi.
LALU sampailah di sebuah negeri yang makmur seperti
pernah ada dalam salah satu mimpinya. Dia bertemu
dengan Raja Muda yang tertarik melihat peti mimpinya.
Sepertinya pernah amat kukenali peti mimpi ini, kata Raja.
"Sepertinya pernah kumimpikan pertemuan ini," katanya.
Lalu dia pun ditawari untuk mengabdi di Negeri Mimpi. Ia
menerima saja ketika diminta menjadi perawat Taman Mimpi.
Dalam peti mimpinya bersemi bunga-bunga mimpi: Puisi.
Tuesday, July 11, 2006
Tulus Widjanarko
Tentang Kutukan di Kartupos-mu
         : pinang dan hah
barangkali akulah kota itu, setia menunggu musim
hikayat atau laknat kah yang ingin kau takik
di batang randumu.
sedang engkau tahu, begitu renta aku oleh ribuan kisah
yang menerobos gerbang—serupa takdir di
segenap alamat.
di rahimku setiap anak asyik meruda-paksa kemaluannya sendiri
hingga tanahku menjadi lembab menghuni pojok ingatanmu
tapi bukankah selalu tercecer mimpi di setiap genting malam
terayunkan cahaya traffic light ke dada para ibu
memastikan halaman kitab terbuka bagi segala siapa.
seorang lelaki dikhianati kartu pos
yang ditulisnya
seorang pengembara menera cuaca di
sela gedung, mengira musim tanam telah datang
seorang perempuan mengirim kabar, mengira
luka-lukanya telah puput
baiklah jangan cemaskan aku
seorang pemimpi sempat menitipkan salam padamu
barangkali kita masih di rakit yang sama
merindui ufuk yang sama
hanya memicing rasi berbeda.
sedang jejak kita bimbang di hulu kenangan.
0706
Tentang Kutukan di Kartupos-mu
         : pinang dan hah
barangkali akulah kota itu, setia menunggu musim
hikayat atau laknat kah yang ingin kau takik
di batang randumu.
sedang engkau tahu, begitu renta aku oleh ribuan kisah
yang menerobos gerbang—serupa takdir di
segenap alamat.
di rahimku setiap anak asyik meruda-paksa kemaluannya sendiri
hingga tanahku menjadi lembab menghuni pojok ingatanmu
tapi bukankah selalu tercecer mimpi di setiap genting malam
terayunkan cahaya traffic light ke dada para ibu
memastikan halaman kitab terbuka bagi segala siapa.
seorang lelaki dikhianati kartu pos
yang ditulisnya
seorang pengembara menera cuaca di
sela gedung, mengira musim tanam telah datang
seorang perempuan mengirim kabar, mengira
luka-lukanya telah puput
baiklah jangan cemaskan aku
seorang pemimpi sempat menitipkan salam padamu
barangkali kita masih di rakit yang sama
merindui ufuk yang sama
hanya memicing rasi berbeda.
sedang jejak kita bimbang di hulu kenangan.
0706
[Kamus] Eufoni, Epitalamium
eufoni, (euphony)
EFEK puitis berupa bunyi atau penyebutan yang terdengar nyaman dan indah yang didapat dari pengaturan huruf atau suku kata dalam sebuah puisi.
epitalamium (epithalamium)
ODE atau lagu yang liris yang digubah sebagai tanda hormat untuk mempelai perempuan dan mempelai lelaki.
EFEK puitis berupa bunyi atau penyebutan yang terdengar nyaman dan indah yang didapat dari pengaturan huruf atau suku kata dalam sebuah puisi.
epitalamium (epithalamium)
ODE atau lagu yang liris yang digubah sebagai tanda hormat untuk mempelai perempuan dan mempelai lelaki.
Monday, July 10, 2006
[Ruang Renung # 154] Menyahabati Kata
JADIKANLAH kata-kata dekat dengan kita. Akrabilah. Kawanilah. Sahabatilah. Kita tidak tahu kapan kita memerlukan dukungan mereka. Kata itu juga seperti kita. Ada yang letih terlalu sering dipekerjakan. Ada yang lama menganggur tak pernah dimanfaatkan tenaganya. Ada yang sudah dianggap mati. Ada yang tiba-tiba saja lahir. Ada yang jauh dan asing.
TIDAK semua kata siap pakai untuk puisi kita. Tidak semuanya ikhlas membantu kita menyusun sebuah puisi. Karena itulah keakraban itu perlu. Kata yang sudah menjadi sahabat, yang kita kenal pribadinya, yang kita tahu silsilahnya, pasti akan ikhlas mendukung kita bahkan menunggu kita untuk mengajak dia berpuisi. []
TIDAK semua kata siap pakai untuk puisi kita. Tidak semuanya ikhlas membantu kita menyusun sebuah puisi. Karena itulah keakraban itu perlu. Kata yang sudah menjadi sahabat, yang kita kenal pribadinya, yang kita tahu silsilahnya, pasti akan ikhlas mendukung kita bahkan menunggu kita untuk mengajak dia berpuisi. []
Awas, Pemulung Waktu!
: nanang suryadi
AKU belanja ke toko waktu. Mau beli sejumlah esok,
menggadaikan hari ini, dan meloakkan kemarin.
Memang beginilah nasib rutin. Penyair miskin.
AKU ingat kau ulang tahun, dan terakhir kau bilang
sedang kehabisan kata, jadi pengangguran puisi.
AKU belikan kau sebuah jam pasir, kalender abadi,
dan kaset lagu anak-anak: Selamat Ulang Tahun.
Oh ya, juga sebuah buku dongeng Pemulung Waktu.
SEBELUM kupaketkan, aku coba dulu hadiah ulang
tahun untukmu itu. Jam pasirnya memancur ke atas,
kalendernya tak mau menampilkan angka dan hari,
sementara kaset lagu anak-anak itu malah berbunyi
lagu broery: sepanjang jalan kenangan, kita selalu...
AKHIRNYA aku kirim saja buku dongengan, dengan
catatan: Awas pemulung itu, jangan siakan waktumu!
AKU belanja ke toko waktu. Mau beli sejumlah esok,
menggadaikan hari ini, dan meloakkan kemarin.
Memang beginilah nasib rutin. Penyair miskin.
AKU ingat kau ulang tahun, dan terakhir kau bilang
sedang kehabisan kata, jadi pengangguran puisi.
AKU belikan kau sebuah jam pasir, kalender abadi,
dan kaset lagu anak-anak: Selamat Ulang Tahun.
Oh ya, juga sebuah buku dongeng Pemulung Waktu.
SEBELUM kupaketkan, aku coba dulu hadiah ulang
tahun untukmu itu. Jam pasirnya memancur ke atas,
kalendernya tak mau menampilkan angka dan hari,
sementara kaset lagu anak-anak itu malah berbunyi
lagu broery: sepanjang jalan kenangan, kita selalu...
AKHIRNYA aku kirim saja buku dongengan, dengan
catatan: Awas pemulung itu, jangan siakan waktumu!
Komentar puitis dari TS Pinang
Bola HAH di Koran Tempo 9/7/2006
KALAU ada teladan yang baik untuk seorang penyair dalam mengerahkan segenap kemauannya menyelami puisi, ia adalah penyair Hasan Aspahani.
09/07/2006 - 09:57:09 PM
Koran Tempo memuat lagi sajak-sajak saya:
1. Dengan Demikian Sebuah Epitaf Telah Dituliskan
2. Gawang Masih Terbuka
3. Kau Tiup Saja Peluit Panjang
KALAU ada teladan yang baik untuk seorang penyair dalam mengerahkan segenap kemauannya menyelami puisi, ia adalah penyair Hasan Aspahani.
09/07/2006 - 09:57:09 PM
Koran Tempo memuat lagi sajak-sajak saya:
1. Dengan Demikian Sebuah Epitaf Telah Dituliskan
2. Gawang Masih Terbuka
3. Kau Tiup Saja Peluit Panjang
Sunday, July 9, 2006
Sepasang Kartu Pos
: Tulus Widjanarko & TS Pinang
DI puncak punggung, hanya jerami segunung, pematang
yang ia ikuti berujung pada jurang, bagai telunjuk hilang.
DUSUN, tertunjuk pada arah yang salah. "Jangan gegabah,
tinggalkan ladang, bila semua malai bakal rebah, Lelaki. Lihatlah,
jari-jariku berdarah. Semusim ini menyiangi gulma. Agar
kita tak lagi-lagi hanya memanen gundah," kata Perempuan.
Seperti sumpah. Aku: bocah menempa tanah, di kolong rumah.
"IBU," kataku pada Perempuan itu, "Kenapa kau larang aku ikut
berburu dengan Lelaki itu? Aku sudah pandai menebang bambu.
Meruncingkannya jadi anak panah. Aku benci layang-layang itu!"
"PERGILAH ke kota!" kata Perempuan itu. Perintah. Atau petuah.
MAKA bila kutebak musim panen tiba, kukirim sepasang kartu pos,
Untuk si Lelaki, kulunasi janji: hewan buruan telah kubuat lumpuh.
Untuk si Perempuan, kuulangi doa: luka jarimu, lekaslah sembuh.
DI puncak punggung, hanya jerami segunung, pematang
yang ia ikuti berujung pada jurang, bagai telunjuk hilang.
DUSUN, tertunjuk pada arah yang salah. "Jangan gegabah,
tinggalkan ladang, bila semua malai bakal rebah, Lelaki. Lihatlah,
jari-jariku berdarah. Semusim ini menyiangi gulma. Agar
kita tak lagi-lagi hanya memanen gundah," kata Perempuan.
Seperti sumpah. Aku: bocah menempa tanah, di kolong rumah.
"IBU," kataku pada Perempuan itu, "Kenapa kau larang aku ikut
berburu dengan Lelaki itu? Aku sudah pandai menebang bambu.
Meruncingkannya jadi anak panah. Aku benci layang-layang itu!"
"PERGILAH ke kota!" kata Perempuan itu. Perintah. Atau petuah.
MAKA bila kutebak musim panen tiba, kukirim sepasang kartu pos,
Untuk si Lelaki, kulunasi janji: hewan buruan telah kubuat lumpuh.
Untuk si Perempuan, kuulangi doa: luka jarimu, lekaslah sembuh.
Friday, July 7, 2006
Sesuatu Sapardi: Anda Bahagia Menulis Puisi?
Oleh Hasan Aspahani
        SAYA mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku "DukaMu Abadi". Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya.
        Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis.
        Dari sastrawan Kurnia Effendi alias Kang Kef, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu. "Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa ngobrol dengan beliau," pesan Kang Kef. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006, akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanya-jawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat. Berikut ini dialog tanya jawab itu:
        HASAN ASPAHANI (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan dengan sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi.
        SAPARDI DJOKO DAMONO (SAPARDI): Sila.
        HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa yang paling Anda cemaskan sekarang?
        SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit berkepanjangan.
        Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul McCartney itu berjudul "When I Am Sixty Four" dalam album "Sgt Pepper Lonely Heart Club Band".
        Dalam sajak "Pada Suatu Magrib" (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang kerepotan usia tua. "Susah benar menyebarang di Jakarta ini;/hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib./Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip//.
        HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang ingin masih ingin Anda capai?
        SAPARDI: Tidak. Tapi sulit cari waktu menulis puisi.
        Saya lantas teringat sajak "Yang Fana adalah Waktu" (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya, waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
        HASAN: Kapan saat Anda sangat subur puisi?
        SAPARDI: Tidak tentu.
        HASAN: Maksud saya pada usia berapa?
        SAPARDI: Usia likuran paling subur.
        HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk?
        SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius. Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas.
        Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.
        HASAN: Khusus saya tanya tentang Jokpin. Di buku pertamanya Anda bilang dia layak dapat perhatian kita.
        SAPARDI: Itu jelas. Dia bikin "bahasa baru".
        Buku puisi pertama Joko Pinurbo "Celana" (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: ia berhak mendapat perhatian kita.
        HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang menemukan penyair?
        SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa.
        HASAN: Masih menerjemahkan puisi luar kan?
        SAPARDI: Menerjemahkan itu latihan menulis.
        HASAN: Kalau tak salah tangkap Nirwan Dewanto menandai ada "faktor Sapardi" , penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.
        SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri.
        HASAN: Nirwan menulis itu dengan nada cemas.
        SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang "mengubah" bahasa saya. Jokpin ada usaha ke situ.
        HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat? Orang yang dekat sekali dengan Anda?
        SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi.
        Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku "DukaMu Abadi" (Pustaka Jaya, 1969, 1975; Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah "Saat Sebelum Berangkat" (Waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti), "Berjalan di Belakang Jenazah" (...angin pun reda/jam mengerdip/....tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan "Sehabis Mengantar Jenazah" (pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/....barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya). "Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih," tulis Teeuw.
        HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil?
        SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca.
        HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain?
        SAPARDI: Tidak pernah.
        HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah?
        SAPARDI: Anda benar.
        HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?
        SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi.
        HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang mana?
        SAPARDI: Puisi siapa?
        HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?
        SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS.
        HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca.
        SAPARDI: "Topeng".
        HASAN: "Topeng"? ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang ada nama Danarto di bawah judulnya itu kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra?
        SAPARDI: Tentu boleh.
        HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum puitik?
        SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto.
        Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya / wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. "Aku / ingin memainkannya," kata seorang sutradara.
        HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu saya itu ada di Amerika.
        SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra.
        HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit wabah puisi cinta ya?
        SAPARDI: Ya, ada. Tapi tidak penting.
        HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda "Tuan". Saya baca tafsiran Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi ingin sekali saya, Anda sendiri yang buka rahasia tentang sajak itu.
        SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He he he.
        HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya ganggu lagi. Masih boleh ya?
        SAPARDI: Sila.
        Saya kira sajak "Tuan" adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum Bachri mengurai kertaskerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji membahas sajak-sajak Sapardi dari buku "Perahu Kertas" (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis: Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak "Tuan" dan menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.
        HASAN: Semalam saya ingat "Dalam Doa", membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda. ...'Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.
        SAPARDI: Terima kasih.
        HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he.
        SAPARDI: Ha ha ha. Terima kasih buaanyak.
        HASAN: Hasif menyebut "Pada Suatu Hari" ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994) sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman cita-cita dari seluruh puisi Anda. ...dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus kusiasati.
        SAPARDI: Semua tafsir memperkaya sajak.
        HASAN: Dan sajak yang baik mengundang tafsir yang kaya?
        SAPARDI: Itu intinya.
        HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu?
        SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya "Aku Ingin" ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha ha.
        HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan "Aku Ingin" di undangan perkawinan, tanpa mencantumkan nama Anda.
        SAPARDI: Ya, saya ikhlas saja.
        Sajak "Hujan Bulan Juni" bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana.
        HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja.
        SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.
        HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku "Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro?" itu bukan yang terakhir, kan?
        SAPARDI: Bukan.
        HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke.
        SAPARDI: Begitulah.
        HASAN: "Ayat-ayat Api" adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga bersikap?
        SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha.
        HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu. Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan?
        SAPARDI: Sindiran.
        HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu.
        SAPARDI: Beberapa tahun lagi, Insyaallah.
        HASAN: Anda tidak terlalu ikut-ikut angkatan-angkatan sastra itu ya?
        SAPARDI: Nggak ikut angkatan, takut sama angkatan bersenjata. Ha ha ha.
        HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi.
        SAPARDI: Anda bahagia menulis puisi?
        HASAN: Ya, saya bahagia. He he.
        BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajak-sajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya.
Anda Bahagia Menulis Puisi?
MAKA datanglah padanya sebuah dusta. Memintanya.
"Sebutkan aku dalam puisimu," katanya. "Sebentar,"
jawabnya. Lalu dituliskannya beberapa kalimat. "Itu
bukan aku," kata dusta. "Nah, dengan demikian
maka sudah kujelaskan siapa dirimu, bukan?" katanya.
DUSTA pun berlalu. Tinggal dia sendirian. Dan satu
pertanyaan: "Apakah Engkau bahagia menulis puisi?"
LALU datanglah padanya sebuah tanya. Mendesaknya.
"Keluarkan aku dari dalam puisimu," katanya. "Tunggu,"
jawabnya. "Sejak kapan kau ada di dalam sana?"
Lalu dilepasnya kunci, dikuaknya pintu. "Keluarlah,"
katanya. "Ah, mungkin lebih baik aku di sini saja,"
kata tanya. Dia pun pasrah. "Terserahlah," katanya.
TANYA pun berdiam saja. Di dalam puisi. Tak juga bisa
menjawab: "Apakah Engkau bahagia menulis puisi?"
Batam, 7 Juli 2006
        SAYA mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku "DukaMu Abadi". Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya.
        Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis.
        Dari sastrawan Kurnia Effendi alias Kang Kef, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu. "Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa ngobrol dengan beliau," pesan Kang Kef. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006, akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanya-jawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat. Berikut ini dialog tanya jawab itu:
        HASAN ASPAHANI (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan dengan sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi.
        SAPARDI DJOKO DAMONO (SAPARDI): Sila.
        HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa yang paling Anda cemaskan sekarang?
        SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit berkepanjangan.
        Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul McCartney itu berjudul "When I Am Sixty Four" dalam album "Sgt Pepper Lonely Heart Club Band".
        Dalam sajak "Pada Suatu Magrib" (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang kerepotan usia tua. "Susah benar menyebarang di Jakarta ini;/hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib./Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip//.
        HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang ingin masih ingin Anda capai?
        SAPARDI: Tidak. Tapi sulit cari waktu menulis puisi.
        Saya lantas teringat sajak "Yang Fana adalah Waktu" (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya, waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
        HASAN: Kapan saat Anda sangat subur puisi?
        SAPARDI: Tidak tentu.
        HASAN: Maksud saya pada usia berapa?
        SAPARDI: Usia likuran paling subur.
        HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk?
        SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius. Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas.
        Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.
        HASAN: Khusus saya tanya tentang Jokpin. Di buku pertamanya Anda bilang dia layak dapat perhatian kita.
        SAPARDI: Itu jelas. Dia bikin "bahasa baru".
        Buku puisi pertama Joko Pinurbo "Celana" (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: ia berhak mendapat perhatian kita.
        HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang menemukan penyair?
        SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa.
        HASAN: Masih menerjemahkan puisi luar kan?
        SAPARDI: Menerjemahkan itu latihan menulis.
        HASAN: Kalau tak salah tangkap Nirwan Dewanto menandai ada "faktor Sapardi" , penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.
        SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri.
        HASAN: Nirwan menulis itu dengan nada cemas.
        SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang "mengubah" bahasa saya. Jokpin ada usaha ke situ.
        HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat? Orang yang dekat sekali dengan Anda?
        SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi.
        Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku "DukaMu Abadi" (Pustaka Jaya, 1969, 1975; Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah "Saat Sebelum Berangkat" (Waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti), "Berjalan di Belakang Jenazah" (...angin pun reda/jam mengerdip/....tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan "Sehabis Mengantar Jenazah" (pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/....barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya). "Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih," tulis Teeuw.
        HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil?
        SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca.
        HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain?
        SAPARDI: Tidak pernah.
        HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah?
        SAPARDI: Anda benar.
        HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?
        SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi.
        HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang mana?
        SAPARDI: Puisi siapa?
        HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?
        SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS.
        HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca.
        SAPARDI: "Topeng".
        HASAN: "Topeng"? ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang ada nama Danarto di bawah judulnya itu kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra?
        SAPARDI: Tentu boleh.
        HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum puitik?
        SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto.
        Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya / wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. "Aku / ingin memainkannya," kata seorang sutradara.
        HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu saya itu ada di Amerika.
        SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra.
        HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit wabah puisi cinta ya?
        SAPARDI: Ya, ada. Tapi tidak penting.
        HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda "Tuan". Saya baca tafsiran Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi ingin sekali saya, Anda sendiri yang buka rahasia tentang sajak itu.
        SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He he he.
        HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya ganggu lagi. Masih boleh ya?
        SAPARDI: Sila.
        Saya kira sajak "Tuan" adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum Bachri mengurai kertaskerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji membahas sajak-sajak Sapardi dari buku "Perahu Kertas" (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis: Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak "Tuan" dan menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.
        HASAN: Semalam saya ingat "Dalam Doa", membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda. ...'Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.
        SAPARDI: Terima kasih.
        HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he.
        SAPARDI: Ha ha ha. Terima kasih buaanyak.
        HASAN: Hasif menyebut "Pada Suatu Hari" ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994) sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman cita-cita dari seluruh puisi Anda. ...dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus kusiasati.
        SAPARDI: Semua tafsir memperkaya sajak.
        HASAN: Dan sajak yang baik mengundang tafsir yang kaya?
        SAPARDI: Itu intinya.
        HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu?
        SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya "Aku Ingin" ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha ha.
        HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan "Aku Ingin" di undangan perkawinan, tanpa mencantumkan nama Anda.
        SAPARDI: Ya, saya ikhlas saja.
        Sajak "Hujan Bulan Juni" bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana.
        HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja.
        SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.
        HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku "Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro?" itu bukan yang terakhir, kan?
        SAPARDI: Bukan.
        HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke.
        SAPARDI: Begitulah.
        HASAN: "Ayat-ayat Api" adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga bersikap?
        SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha.
        HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu. Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan?
        SAPARDI: Sindiran.
        HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu.
        SAPARDI: Beberapa tahun lagi, Insyaallah.
        HASAN: Anda tidak terlalu ikut-ikut angkatan-angkatan sastra itu ya?
        SAPARDI: Nggak ikut angkatan, takut sama angkatan bersenjata. Ha ha ha.
        HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi.
        SAPARDI: Anda bahagia menulis puisi?
        HASAN: Ya, saya bahagia. He he.
        BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajak-sajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya.
Anda Bahagia Menulis Puisi?
MAKA datanglah padanya sebuah dusta. Memintanya.
"Sebutkan aku dalam puisimu," katanya. "Sebentar,"
jawabnya. Lalu dituliskannya beberapa kalimat. "Itu
bukan aku," kata dusta. "Nah, dengan demikian
maka sudah kujelaskan siapa dirimu, bukan?" katanya.
DUSTA pun berlalu. Tinggal dia sendirian. Dan satu
pertanyaan: "Apakah Engkau bahagia menulis puisi?"
LALU datanglah padanya sebuah tanya. Mendesaknya.
"Keluarkan aku dari dalam puisimu," katanya. "Tunggu,"
jawabnya. "Sejak kapan kau ada di dalam sana?"
Lalu dilepasnya kunci, dikuaknya pintu. "Keluarlah,"
katanya. "Ah, mungkin lebih baik aku di sini saja,"
kata tanya. Dia pun pasrah. "Terserahlah," katanya.
TANYA pun berdiam saja. Di dalam puisi. Tak juga bisa
menjawab: "Apakah Engkau bahagia menulis puisi?"
Batam, 7 Juli 2006
Thursday, July 6, 2006
[Ruang Renung # 153] Melongok ke Dalam, Menjenguk ke Luar
SESEKALI orang hidup perlu melongok ke dalam dirinya. Seperti halnya dia harus menyelingi longokan itu dengan jengukan ke luar dirinya. Longokan ke dalam dan jengukan ke luar itu mungkin hanya menemukan kekosongan. Hanya menemukan ruang gelap atau gambar-gambar yang tak jelas bentuknya. Atau hanya menemukan gambar yang itu-itu saja.
MESTINYA longokan dan jengukan itu tak jatuh menjadi sia-sia. Setiap kali dilakukan keduanya harus menghasilkan perangah, menghasilkan sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang Makna. Meski dilakukan berulang-ulang ia harusnya tidak jatuh menjadi sesuatu senantiasa, sesuatu yang niscaya, sesuatu yang rutin.
SAJAK yang baik seharusnya membuat siapa saja sipembaca - orang yang secara pribadi berjarak dengan si penulis - tiba-tiba seperti sedang menjenguk ke dalam diri si penyair dan eh kok dia tiba-tiba juga ingin melongok ke dalam dirinya sendiri.
MESTINYA longokan dan jengukan itu tak jatuh menjadi sia-sia. Setiap kali dilakukan keduanya harus menghasilkan perangah, menghasilkan sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang Makna. Meski dilakukan berulang-ulang ia harusnya tidak jatuh menjadi sesuatu senantiasa, sesuatu yang niscaya, sesuatu yang rutin.
SAJAK yang baik seharusnya membuat siapa saja sipembaca - orang yang secara pribadi berjarak dengan si penulis - tiba-tiba seperti sedang menjenguk ke dalam diri si penyair dan eh kok dia tiba-tiba juga ingin melongok ke dalam dirinya sendiri.
Sunday, July 2, 2006
Singgah Tersanggah
ADA jejak merah di pot mawarku di rumah.
"Bukan, itu bukan darahku. Pupuk tumpah.
Lama tak menyentuh tanah. Aku gegabah."
ADA duri di kakimu. Mawarku di tanganmu.
"Tidak, saya bukan pencuri. Hanya diam-diam
kutanam benih mawar liarku di tepi halamanmu."
ADA sepatu tertinggal di pintu pagarku.
"Aku pengembara. Lama tak tahu kepulangan.
Kukira tadi ada namaku di pintu rumahmu."
"Bukan, itu bukan darahku. Pupuk tumpah.
Lama tak menyentuh tanah. Aku gegabah."
ADA duri di kakimu. Mawarku di tanganmu.
"Tidak, saya bukan pencuri. Hanya diam-diam
kutanam benih mawar liarku di tepi halamanmu."
ADA sepatu tertinggal di pintu pagarku.
"Aku pengembara. Lama tak tahu kepulangan.
Kukira tadi ada namaku di pintu rumahmu."
Coming Soon: Sapardi!
DARI sastrawan Kurnia Effendi, saya dapat nomor telepon genggam Sapardi Djoko Damono. Benar-benar Sapardi? Benar-benar Sapardi. Dia adalah hantu penunggu beringin di depan rumah puisi saya yang dengan menyebut namanya saja bulu kuduk puisi saya sudah merinding.
Terima kasih Kang Kef. Dua hari ini saya ngobrol lewat SMS dengan beliau. Saya akan posting hasil tanya jawabnya nanti, setelah saya lengkapi dengan beberapa puisinya yang kami bincangkan.
Hasan Aspahani
Terima kasih Kang Kef. Dua hari ini saya ngobrol lewat SMS dengan beliau. Saya akan posting hasil tanya jawabnya nanti, setelah saya lengkapi dengan beberapa puisinya yang kami bincangkan.
Hasan Aspahani
Subscribe to:
Posts (Atom)