PAKAI contoh saja agar tulisan ini lebih me... semua itu tadi. Saya bisa menjelaskan kenapa saya terharu ketika membaca sajak Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi (Aslan Abidin), Pada Sebuah Panti: Interlude (Goenawan Mohamad), Dalam Doaku (Sapardi Djoko Damono), atau Rumah Bertangga Lumut.
SAJAK yang terakhir itu bahkan saya lupa siapa penyair yang menggubahnya. Saya juga tidak hapal bait-baitnya. Keharuan yang timbul dalam diri saya ketika pertama kali membacanya dan ketika terus mengulang-ulang membacanya masih terasa sampai saat ini. Saya membaca sajak itu di Majalah Horison lebih dari sepuluh tahun lalu. Sajak itu berkisah --- ah, ini istilah yang salah, sajak sebenarnya bukan sekadar sebuah kisah, kan? --- tentang seorang 'aku' yang mengibaratkan 'kau' sebagai rumah. 'Aku' ingin pulang setelah sekian lama pergi. Tapi 'kau' adalah rumah yang bertangga lumut. Licin, dan membuat si 'aku' gamang menjejak. Karena pasti tergelincir jatuh.
KISAH yang biasa saja, bukan? Tapi karena saya yakin puisi itu ditulis berdasarkan "peristiwa rasa" dan dengan mengerahkan seluruh perasaan maka yang tersentuh juga adalah perasaan saya. Saya terharu. Keharuan yang panjang. Rasa haru itu yang justru terus bertahan, meskipun sajaknya sendiri detailnya saya tak bisa mempertahankan dalam ingatan.[hah]
NB: Siapa yang bisa mencarikan sajak Rumah Bertangga Lumut itu? Kira-kira terbit di Horison ketika majalah itu berkonflik dan sempat ganti pengelola. Mohon maaf untuk si penyair yang tak bisa saya ingat namanya dengan pantas.