BEGITU mudahkah menulis puisi? Ya, menulis saja mudah. Menyebut sembarang puisi sebagai Puisi juga tak pernah bisa dipersalah. Tetapi ada baiknya kita menyimak Subagio Sastrowardoyo. Dalam tulisan "Mengapa Saya Harus Menulis Sajak" (Keroncong Motinggo, Balai Pustaka, cetakan kedua, 1992) yang ia sebut sebagai sebuah striptease batin, ia mengingatkan bahwa seorang seniman adalah dia yang hendak menciptakan nilai-nilai seni yang kekal yang sanggup bertahan menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu.
SAYA menilai itu sebuah perumusan yang jitu, telak dan tepat. Kenapa karya Bethoven, Van Gogh, Davinci, Hemingway, Mark Twain, Chairil Anwar masih terus dikaji, dibaca, disimak dan dibicarakan hingga sekarang? Karena mereka telah berhasil menciptakan nilai-nilai seni yang kekal, seperti kata Subagio, yang sanggup menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik, masih menurut kata Subagio tadi, yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu, pas tuntas seperti dirumuskan Subagio.
KITA bisa bilang, ah peduli amat dengan keabadian. Pokoknya saya menulis puisi untuk menuntaskan kegelisahan saya saat ini. Besok apakah dia basi atau jadi kata-kata mati, saya tak peduli. Itu juga sebuah sikap yang tidak salah. Mencapai keabadian dan kekekalan memang tidak mudah. Melawan lahapan waktu memang tidak mudah. Tak semua bisa segagah Chairil Anwar yang berani bilang: "Aku mau hidup seribu tahun lagi".