PUISI, kadang hadir dalam sebuah peristiwa. Peristiwa itu harus istimewa. Tapi, tak harus dramatis. Bisa saja hanya sebuah peristiwa kecil, sebuah peristiwa yang biasa saja dalam penglihatan mata yang bukan mata penyair. Penyair harus menangkap keistimewaan itu. Dialah yang kadang harus membuatnya menjadi istimewa. Tanpa mengubah peristiwa itu. Hanya menambahkan sesuatu. Ya, menambahkan sesuatu tanpa merusak keutuhan peristiwa kecil itu. Makin banyak 'sesuatu' yang bisa kita tambahkan, makin bagus sajak yang tercipta dari peristiwa kecil tadi.
PERISTIWA kecil? Ya. Misalnya? Banyak. Sebagian sudah menjadi puisi di tangan penyair. Daun jatuh, gemericik air, detak detik jam, saat nyala korek menuju ujung rokok, coretan pada kartu nama, duduk di resotan cepat saji menyantap ayam goreng, memasang kancing baju yang copot, sehelai rambut yang tertinggal di kancing baju, aliran air di selokan, bunga layu gugur mahkota, burung hinggap di sebatang bunga di pot, hembus angin di spanduk, suara klakson mobil di pagi hari, kaus kaki, suara mikropon, gemerisik televisi yang tak dimatikan setelah habis jam siaran, suara gelombang, seprei yang kusut, kabut pada jendela kaca, onggokan sepasang sepatu.